Satu hal yang unik dari praktek keagamaan umat Hindu adalah adanya ketidak seragaman meskipun untuk satu jenis kegiatan seperti tata cara sembahyang. Dikatakan unik, karena di situlah letaknya “kebebasan” dalam mengekspresikan rasa bhakti melalui sembah dan puja ke pada objek-objek yang disembah atau dipuja. Bias juga dikatakan “kurang pembinaan” karena walaupun sudah cukup lama disebar edarkan buku-buku pedoman Kramaning Sembah oleh PHDI, bentuk-bentuk ketidak seragaman masih terjadi. Contoh : dalam melaksanakan Panca Sembah di pura A, sembah yang dilakukan bisa sampai 7, 9 atau 11 kali, disesuaikan dengan jumblah palinggih. Lalu di pura B sudah menerapkan Panca Sembah kendatipun banyak juga terdapat palinggih.
Belum lagi dalam hal posisi tinggi rendahnya tangan saat ngaturang sembah sesuai objek sembah bahkan termasuk penggunaan sarana persembahyangan, kapan memakai bunga dan bilamana menggunakan kuwangen. Pemakaian bija juga begitu, dimana saja sepatutnya mengenakan bija, kesemuanya masih serba tidak seragam. Tetapi lepas dari ketidak seragaman itu agama Hindu yang memang bersifat luwes tetap tidak menyalahkan bentuk-bentuk ketidak seragaman itu. Sebab bahasa hati atau bunga hati yang dilandasi oleh niat yang bersih suci, tulus ikhlas dan tanpa pamrih jauh sebih utama dari pada sekedar keseragaman yang bersifat fisik material.
Sesuai dengan buku pedoman Kramaning Sembah yang diterbitkan oleh PHDI Bali tahun 1989/1990 yang bersumber dari Ketetapan Mahasabha PHDI VI telah dijelaskan perihal C berupa urutan-urutan sembah yang hanya meliputi lima sembah (Panca Sembah) untuk mencakup keseluruhan objek sembah atau yang dipuja, walaupun di dalam sebuah pura ada lebih dari lima palinggih. Princiannya :
1. Sembah puyung
2. Menyembah Sang Hyang Widhi sebagai Sanghyang Aditya
3. Menyembah Tuhan sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan
4. Menyembah Tuhan sebagai Pemberi Anugrah
5. Sembah Puyung
Untuk sembah yang ke- 1, 2, 4, dan 5 bersifat baku, matranya sudah umum dan sama bunyinya dimanapun kita sembahyang. Sedangkan sembah yang ke-3 bersifat situasional artinya harus disesuaikan dengan Ista Dewata yang dipuja, hari atau rerainan apa di pura mana dilakukan persembahyangan itu.
Jadi objek yang dipuja dan matra yang digunakan akan terus berubah menyesuaikan dengan hari atau rerainan dan pura yang bersangkutan. Contoh : pada hari Saraswati, yang dipuja Dewi Sarswati dan mantranya saraswati puja.
Terakhir, sikap tangan menyembah Kawitan atau Pitara adalah ujung jari agar di ujung hidung, mantranya : “Om Brahma Wisnu Iswara dewam, jiwatmanam trilokam, sarwa jagat pratistanam, sudha klesa winasanam, Om Guru Paduka Bhyonamah swaha.
Panca Sembah Mencakup Semua Objek
Agama Hindu Berkiblat ke India
Kalau kita sepakat bahwa agama pada dasarnya “hanya” merupakan “jalan” dalam mencapai Tuhan di mana didalamnya diberikan keleluasaan kepada umatnya untuk mencari dan menemukan jalan sendiri, maka sesungguhnya tidak ada seorang pun dan dengan dalih peraturan manapun untuk berhak “mempermasalahkan” jalan itu, maka tumbuh kembangnya bermacam pusat studi spiritual atau aliran-aliran keagamaan dalam intern suatu agama tidak lain merupakan evolusi rohani atau semacam pendakian spiritual. Ibarat uap air laut, meninggi menggumpal di dalam awan untuk nantinya jatuh menjadi hujan dan kemudian mengalir sesuai dengan alur yang dilalui dan pada akhirnya setelah melalui perjalanan waktu yang panjang, sampai juga ke “tujuan” laut, samudra luas. Itu berarti kiblat aliran air adalah laut (samudra).
Begitupun dengan agama Hindu, adalah wajar dan benar kalau berkiblat ke India. Karena India atau yang dikenal dengan nama Hindustan adalah tempat asal muasal kelahiran agama Hindu. Tak seorang pun dapat mengungkiri kenyataan histories ini. Termasuk ajaran agama Hindu itu sendiri mutlak harus berkiblat kepada kitab Weda sebagai sumber dari segala sumber agama Hindu.
Permasalahannya sekarang, mungkin yang acapkali dipertanyakan (dipermasalahkan) adalah cara atau praktek suatu aliran keagamaan yang mentah-mentah meniru gaya tradisi atau budaya India, padahal di Bali (Indonesia) sudah mempunyai tradisi atau budaya yang mengakar. Seperti model atau cara berbusana ala India, kekidung dan kekawin diganti dengan nyanyian rohani India, bentuk-bentuk upacara ritual ala Bali dikesampingkan lalu memulai tradisi ritual gaya India.
Terhadap serba ala India yang berkaitan dengan tradisi atau budaya (unsure penampakan) sebenarnya boleh-boleh saja asal hanya untuk komunitas kelompoknya. Jadi tidak mengarah pada suatu gerakan untuk merevolusi segala tradisi atau budaya Bali menjadi India sentries. Begitu pula agama Hindu tetap memberi tempat yang layak untuk semua tradisi keagamaan yang benar tentunya. Dengan kata lain, jika misalnya seorang umat masuk atau mengikuti suatu kelompok atau aliran spiritual Hindu model India dan berhasil mendapatkan kebahagian batin serta meningkatnya spiritual yang bersangkutan, jangan lantas kacang lupa kulitnya. Apa yang sudah berhasil dicapai terus ditingkatkan dan apa ditinggalkan leluhur atau kawitan jangan dilupakan. Sang Dasaratha menjadi amat bijaksana, tidak saja karena mumpuni di bidang agama, bhaktinya kepada Tuhan, tetapi juga karena tetap “ngaturang sembah” kepada leluhur atau kawitan.
Lima Cara Beryadnya
Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini kebanyakan umat lebih memahami yadnya itu sebagai suatu persembahan yang bersifat material. Misalnya menghaturkan banten, memberikan sumbangan uang, membangun atau memperbaiki pura. Meski di dalam perbuatan itu sudah mengandung segi-segi non material tetapi tetap ada anggapan bahwa apa yang dilakukan itu sebagai wujud yadnya material. Maka tidak jarang umat merasa belum beryadnya kalau belum terbukti telah mempersembahkan sesuatu yang berwujud material. Padahal menurut ajaran yadnya itu sendiri, apapun perbuatan kita yang dilakukan secara tulus iklas dan tanpa pamrih untuk kebahagiaan orang lain atau sesama makhluk itu sudah merupakan yadnya. Artinya jika suatu saat sempat menolong orang walau dengan sepatah kata tetapi bisa membuat orang terselamatkan dari mara bahaya, maka itulah yadnya namanya.
Berbicara tentang cara melaksanakan yadnya, sebenarnyaah ada lima cara melakukan secara garis besarnya, yaitu :
1. Drwya Yadnya, artinya beryadnya dengan persembahan benda atau materi baik diwujudkan dalam bentuk banten, dana punia dan yang lainnya. Yadnya yang satu ini dalam kenyataannya dipandang sebagai sutu-satunya cara beryadnya sebagaimana diuraikan diatas.
2. Tapa Yadnya, lebih bersifat individual. Karena dalam pelaksanaanya lebih menekankan usaha seseorang untuk melatih diri guna membangunkan sikap pengendalian diri yang pada akhirnya bertujuan untuk mempersatukan kembali Atma dengan Brahma. Caranya dengan selalu membersih sucikan diri (angeseng malaning sarira), mengatasi suka duka kehidupan, menjauhkan segala macam godaan, mengendalikan nafsu, menenangkan pikiran yang kesemuanya diarahkan menuju persatuan dengan-Nya.
3. Yoga Yadnya, juga bersifat individual karena berisi usaha dari seseorang untuk menghubungkan atau menyatukan diri dengan Hyang Widhi. Cara yadnya ini memerlukan latihan dan disiplin yang tinggi yaitu dengan menjalankan atau memperaktekkan ajaran yoga sesuai aturan baik Sadangga yoga maupun Astangga yoga.
4. Swadhyaya Yoga, merupakan bentuk yadnya dengan cara mengorbankan diri demi kepentingan yang lebih besar, mulia atau utama. Cara yadnya begini relative lebih mudah dari pada cara no. 3 dan 4. sebab dengan melakukan Suci Laksana setiap hari, bertrisandhya tiga kali sehari sudah termasuk Swadhyaya Yadnya.
5. Jnana Yadnya, yaitu bentuk yadnya yang berupa persembahan ilmu pengetahuan baik yang bersifat duniawi maupun rohani. Pengamalannya tidak begitu sulit karena hanya dengan mempersembahkan pengetahuan yang dimiliki untuk kesejahteraan dan kebahagiaan oran lain sudah merupakan yadnya juga.
Putu Surya Yudistira (1 Tahun 2 Bulan)
Nama : Putu Surya Yudistira
Tempat Tgl Lahir : Singaraja (Desa Tamblang) 31 Mei 2007
>
Hari Raya Galungan
Sesuai dengan hukum Rta (hukum alam) waktu bergerak memutar roda kehidupan bukanlah istimewa. Justru akan menjadi teramat sangat istimewa jika tiba-tiba sang waktu berhenti berputar. Sebab itu pertanda pralaya tiba. Tetapi kita tak pernah tahu kapan dan dengan cara bagaimana perputaran waktu akan berhenti. Hanya Hyang Widhi Sang Perencana Segalanya.
Begitupun perihal kedatangan era millennium baru yang dimulai tahuun 2000 yang pada minggu pertamanya justru ditandai dengan peringatan sekaligus perayaan hari suci Galungan semuannya berjalan sesuai kehendak semesta alam. Barangkali yang menjadikan Galungan pada saat itu terasa istimewa lantaran terjadi di saat berlangsungnya pergantian abad menuju millennium baru (ketiga) dimana keadaan dunia baik Bhuwana Agung (alam semesta) maupun Bhuwana Alit (manusia) sedang mengalami krisis di berbagai bidang. Mulai dari krisis ekonomi (krismon), krisis kepercayaan, krisis social, krisis politik, krisis budaya, krisis moral, mental dan spiritual. Keadaan krisis berkepanjangan itu menjadikan umat manusia berada pada situasi “gamang” termasuk kegamangan dalam, menterjemahkan nilai luhur ajaran agama ke dalam perilaku keseharian.
Manusia sekarang cenderung menempatkan agama hanya sebatas sebagai suplemen (pelengkap) bukan pondamen (dasar kokoh). Artinya bila keadaan hidupnya normal-normal saja manusia cenderung “melupakan-Nya”. Tetapi tiba-tiba tertimpa sesuatu yang membuatnya berduka, maka sekonyong-konyong nama “Dewa Ratu, Ratu Bhatara, Duh Hyang Widhi” baru akan terucapkan. Padahal menurut Widhi Tattwa dan Atma Tattwa, Hyang Widhi tidak pernah “lepas dan lupa” pada umatnya, sebab Beliau ada dan hadir pada setiap manusia dalam nama Sang Atma/Sang Jati Diri. Hanya lantaran manusia lebih ingat dengan pekerjaan rutin yang menghasilkan uang untuk memenuhi segala keinginan (kama) maka menjadikan manusia serakah (lobha). Keinginan yang dimanjakan untuk menjadi serakah itulah yang membuat manusia lupa pada hakikat dirinya yang sesungguhnya adalah untuk mengabdi kepada-Nya bukan pada benda-benda material. Akibatnya cahaya diri/pancaran sinar suci Sang Atma menjadi terselubung oleh kabut Awidya – kegelapan. Hidup manusia menjadi seolah-olah seperti “tidak hidup” – mati dalam hidup, akibat ketiadaan “sinar” Sang Atma.
Oleh karena itu, dikesempatan Galungan ini, kita patut mengidupkan kembali “Api Sang Atma” agar kehidupan yang penuh dengan tantangan itu bisa di lalui dengan tetap berada pada perlindungan cahaya-Nya. Panji Galungan yang bermakna menegakkan dharma tetap menyala di dalam hati sanubari kita masing-masing. Galungan kali ini memang tidak sekedar rutinitas ritual tetapi membawa pesan untuk kembali berpijak pada dharma dalam menjalani kehidupan yang dominant diwarnai adharma. Satyam eva jayate.
Raga, Rasio dan Rasa Agama
Memang benar kata orang bijaksana bahwa melalui tuntunan agama, kehidupan ini bisa di arahkan untuk mencapai kesejahteraan, kebahagian dan kedamaian. Dengan catatan, jika setiap umat yang mengaku beragama secara sadar dapat mengetahui, menghayati dan kemudian mengamalkan nilai-nilai luhur dari ajaran agama itu. Kata kuncinya adalah “pengamalan” bukan sekedar kata-kata dalam pernyataan. Agama bukanlah semacam ilmu pengetahuan biasa yang cukup hanya di ketahui dengan hafalan. Agama juga bukan sejenis mode yang hanya untuk diperagakan. Singkatnya, agama tidak menekankan penampakan fisik (raga) dan pengetahuan (rasio) semata, tetapi lebih menuntut kearah tumbuh kembangnya emosi (rasa) agama yang penuh penghayatan sehingga pengamalannya pun selaras (sinkron) dengan petunjuk agama.
Kenyataan sekarang di antara factor “Tiga Ra” umat beragama cenderung lebih mengedepankan unsure “Raga” (penampilan/peragaan fisik material), “Rasio” (pengetahuan/teori/hafalan) dari pada “Rasa” agama. Maka jangan heran apalagi keburu berbangga diri kalau hanya melihat : kemegahan bangunan pura, “kegairahan umat pedek tangkil”, kemeriahan/kemegahan upakara banten atau kesemarakan upacara yajna. Semua itu boleh jadi baru sebatas “Raga” (fisik-material).
Begitu juga jangan terkagum dulu dengan munculnya orang-orang yang begitu pandai berbicara agama, ratusan sloka kitab suci mudah diucapkan, sering diundang berceramah dan selalu hadir disetiap kegiatan diskusi agama. Mungkin saja penampilan tokoh ahli agama ini baru sebatas “Rasio” (teori/hafalan). Kendati tidak bermaksud meragukan kemampuan mereka yang sementara ini lebih menekankan “Raga” dan “Rasio” tetapi paling tidak dapat dikatakan bahwa “Rasa” agama kita masih belum teralisasi dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sepertinya antara penampakan perilaku beragama (raga), dan pernyataan melalui pengetahuan agama (rasio) tidak sinkron dengan “Rasa” agama yang dituntut ajaran agama. Contoh kecil, ketika seorang umat melakukan persembahyangan di sebuah pura dengan penampilan busana dan tata rias serta “haturan” bernilai mahal ditambah berlatar belakang pelajar/intelektual, tetapi begitu tahu dompetnya hilang di areal pura langsung misuh dan memedih. Atau pada saat seorang yang dianggap ahli/pakar agama diundang menyampaikan dharmawacana, begitu tidak tahu ada honor atau honornya tidak sesuai harapan kontan protes.
Ini baru contoh kecil. Ketika ada contoh besar seperti kejahatan kian merajalela, korupsi bertambah hebat, kemorosotan moral semakin ngetrend, dan dilakukan oleh orang beragama, maka bukan salahnya ajaran agama tetapi kekeliruan kita yang lebih senang menonjolkan “Raga” dan “Rasio” sehingga ibarat makanan sama sekali tidak ada “rasa”, hambar atau campah.
The Religion culture not the Culture Religion
As in the case of a cow that was given the green spectacles in order to want to eat hay, such was someone who used the subjective spectacles in considering the practice various other group. Results only took the form of the assessment and or the interpretation that was “way of doing thing”. As cattle wore glasses green was offered hay, as if the grass “green” but like that touched the tongue not be connected canape, insipid.
Against someone who acted as “penilai or penafsir” the teaching and the practice of other religious groups then did not escape from “blunder eyeglasses”. Because denied measured, the space reference, the guide's reference that was used was “holy book other” that was clear different his theology certainly would produce the assessment that not only different but also often wrong, blunder in fact was trapped in the attitude or the insulting action, penodaan or the insult to the other religion.
Including towards the assessment of the person who said that the Hindu religion was “culture religion”, that it was considered was produced from being creative, the feeling and the human desire were in the religious time reduced (was made). It was really great that Bin miraculous had humankind that could make some “theory” that could be followed, believed and believed in by hundreds of millions of humankind and has taken place for the period thousands of years. Who gerangan Bin's great human noose miraculous that? Evidently in the Weda book was not it was mentioned what is the name of the humankind. That was stated clearly only a verse sloka that sounded “mantras drstah iti rsih” that meaning that that accepted the revelation was rsi. Rsi-rsi the revelation recipient so that afterwards gathered, assembled, incribe and spread this teaching of the Lord's revelation. So in no way was it was mentioned that rsi that the creator according to the feeling and his human desire. Rsi this in fact indeed was the noose “human so called” with the intensity and the miracle him could catch, assemble and broadcast the Lord's revelation
The matter in paganism the Hindu religion more featured apperance unsure the culture not then gave the meaning that the Hindu religion as the cultural religion. Precisely the Hindu religious teaching showed his characteristics that always “tolerant” with the condition social the local culture that afterwards produced the concept “desa-Kala-patra”, “Negara mawa tata” and “desa mawa cara”. Meaning that the presence of the Hindu religion anywhere not to “kill” unsure local culture but precisely was used to support and support the implementation of the Hindu religious teaching personally. Be the practice various Hindu group so multitudinous anywhere his adherent's group was. every other the form of the practice of the religion not as “culture religion” but only be limited by “religion
culture”.
Budaya Agama bukan Agama Budaya
Seperti halnya seekor sapi yang diberi kacamata hijau agar mau memakan rumput kering, begitulah seseorang yang menggunakan kacamata subyektif dalam menilai praktek keberagaman umat lain. Hasilnya hanya berupa penilaian dan atau penafsiran yang bersifat “seolah-olah”. Seperti sapi berkacamata hijau disodori rumput kering, seolah-olah rumput itu “hijau” namun begitu menyentuh lidah tidak mengena diselera, hambar.
Terhadap seseorang yang bertindak selaku “penilai atau penafsir” ajaran dan praktek umat beragama lainnya pun tak luput dari “kesalahan kacamata”. Karena tolak ukur, acuan pijakan, referensi pedoman yang digunakan adalah “kitab suci lain” yang jelas berbeda theologinya tentu akan menghasilakan penilaian yang tidak saja berbeda tetapi juga sering keliru, salah besar bahkan terjebak ke dalam sikap atau tindakan pelecehan, penodaan atau penghinaan terhadap agama lain.
Tak terkecuali terhadap penilaian orang yang mengatakan bahwa agama Hindu itu adalah “agama budaya”, yang dianggap dihasilkan dari cipta, rasa dan karsa manusia pada zaman agama itu diturunkan (dibuat). Sungguh hebat bin ajaib ada manusia yang mampu membuat suatu “ajaran” yang dapat diikuti, dipercaya dan diyakini oleh ratusan juta manusia dan sudah berlangsung selama kurun waktu ribuan tahun. Siapakah gerangan sosok manusia super hebat bin ajaib itu? Ternyata di dalam kitab Weda tidak ada disebutkan siapa nama manusia itu. Yang dinyatakan dengan tegas hanyalah sebait sloka yang berbunyi “mantras drstah iti rsih” yang artinya yang menerima wahyu itu adalah rsi. Rsi-rsi penerima wahyu itulah yang kemudian mengumpulkan, menghimpun, menyuratkan dan menyebarkan ajaran wahyu Tuhan tersebut. Jadi sama sekali tidak ada disebutkan bahwa rsi itu pencipta menurut rasa dan karsa kemanusiaannya. Para rsi inilah dalam kenyataannya memang merupakan sosok “manusia bernama” dengan kehebatan dan keajaibannya mampu menangkap, menghimpun dan menyiarkan wahyu Tuhan yang kemudian dikenal sebagai ajaran agama Hindu untuk dipedomani oleh umat pemeluknya.
Soal dalam pengamalam agama Hindu lebih menonjolkan penampakkan unsure budaya tidaklah lantas memberi arti bahwa agama Hindu itu sebagai agama budaya. Justru ajaran agama Hindu memperlihatkan sifatnya yang selalu “toleran” dengan kondisi social budaya setempat yang kemudian melahirkan konsep “desa-kala-ptra”, “Negara mawa tata” dan “desa mawa cara”. Artinya kehadiran agama Hindu dimanapun tidak untuk “mematikan” unsure kebudayaan setempat melainkan justru digunakan untuk mendukung dan menopang pelaksanaan ajaran agama Hindu itu sendiri. Jadilah praktek keberagamaan umat Hindu begitu beraneka ragam di mana pun umat pemeluknya berada. Kesemua bentuk praktek agama itu bukanlah sebagai “agama budaya” melainkan hanya sebatas sebagai “budaya agama”.
Filsafat Mana yang Banyak Berpengaruh di Indonesia
Sad Darsana berarti enam system filsafat. Filsafat itu sendiri merupakan aspek rasional dari agama. Karenanya filsafat tidak bisa dipisahkan dari agama. Dengan filsafat kita didorong untuk mencari kebenaran melalui pencarian rasional. Filsafat juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan diri penderitaan serta memperoleh kekekalan atau kebahagian abadi. Melalui filsafat akan muncul pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang diri, tentang hakikat manusia, alam, penciptaan, kematian dan sebagainya. Dengan banyak bertanya melaui filsafat disertai perenungan yang dalam maka akan terlahir kesadaran akan kebenaran sejati. Maka apa yang disebut sebagai Sad Darsana tidak lain merupakan enam system filsafat India yang bersifat ortodox dan sepenuhnya mempercayai sekaligus mendasarinya pada kebenaran Weda (Astika).
Kebalikannya adalah system filsafat heterodox yang tidak mempercayai otoritas Weda (Nastika) seperti filsafat Carwaka, Jaina dan Bhuda. Tentang filsafat Sad Darsana sendiri meliputi : Nyaya, Waisesika, Sankhya, Yoga, Mimamsa dan Wedanta.
Kesemua aliran filsafat yang terkelompok dalam Sad Darsana ini menyajikan pandangan masing-masing secara berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan. Seseorang bisa saja mencapai melalui yoga misalnya atau dengan cara wedanta, tetapi akhir dari pencariannya adalah mencapai pengetahuan tentang Tuhan. Soal perbedaan metoda dan cara pendekatan yang berbeda-beda pada setiap filsafat itu hanyalah bentuk penyesuaian dengan temperamen kemampuan dan kualitas mental setiap individu. Dan pada dasarnya pula, setiap system filsafat merupakan tahapan atau anak tangga di jalan spiritual. Yang jelas, filsafat yang tergolong ke dalam Sad Darsana mempunyai keterkaitan amat erat dengan Weda, maka tentu dapat dikatakan keenam system filsafat India itu merupakan bentuk praktis dalam upaya umat untuk melakukan pencarian kebenaran dan atau pendakian spiritual.
Lalu perihal filsafat atau darsana mana yang banyak mempengaruhi Hindu di Indonesia tidaklah bisa di jawab dengan prosentase. Sebab sebagai suatu aliran filsafat yang bisa dengan bebas dipilih dan dijadikan jalan hidup oleh setiap individu, tertentu setiap orang akan berbeda-beda prosentasenya. Tetapi soal pengaruhnya di Indonesia keseluruhan Sad Darsana diterima oleh umat Hindu dengan tidak lagi memilah-milah pada darsana mana filsafat itu terkelompok.
Miskin Rohani lebih Bahaya Ketimbang Miskin Harta
Yang namanya miskin keadaannya sama saja yaitu sama-sama kekurangan. Bedanya, kalau miskin materi berhubungan dengan kekurangan hal-hal yang bersifat materi atau kebendaan, misalnya pengasilan (uang) sedikit sampai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum, rumah tidak punya, pakaian seadanya. Sedangkan miskin rohani (meski belum tentu miskin materi) yang kekurangan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat non materi atau bukan benda seperti asusila, amoral, tidak pernah angayu bagia atas waranugraha-Nya, tidak mau ngaturang dana punia, tidak berusaha meningkatkan kehidupan spiritualnya.
Dalam kenyataannya, walau sebenarnya cukup banyak orang yang miskin materi, tetapi ternyata jauh lebih banyak lagi orang-orang yang miskin rohani. Dan orang-orang yang miskin rohani inilah yang sesungguhnya lebih berbahaya keberadaannya dari pada hanya miskin materi. Dan keadaan akan sangat berbahaya lagi jika terjadi sinergi antara kemiskinan materi dan kemiskinan rohani. Jika sudah pada tingkat sinergi dua kemiskinan, maka runtuhlah harkat, martabat dan derajat kemanusian yang beradab, berbudaya dan beragama.
Kalau sebatas miskin materi yang disebut “daridra” tetapi rohaninya masih terjaga pada kesadaran sradha dan bhakti, maka meski hidup serba kekurangan, moralitas kemanusiannya dijamin akan tetap terpelihara. Lain halnya dengan miskin rohani yang disebut “dinabuddhi”, kendati mungkin hidupnya serba berkecukupan bahkan mungkin berlebihan tetapi “karma” (keinginan) dan “indria” (nafsu) tak pernah merasa terpuaskan. Misalnya, walaupun ditempat bekerja sudah diberi gaji lebih dari cukup tetapi tetap saja korupsi. Atau meskipun harta bendanya berkelimpahan namun tidak sekalipun pernah digunakan untuk berdana punia. Tidak jarang jua orang-orang yang miskin rohani ini begitu tega merampas hak milik orang lain. Baginya, pemenuhan ego diri sendiri adalah di atas segala-galanya. Maharsi Wararuci dalam kitab Sarasamuscaya mengatakan, orang yang miskin rohani (dinabuddhi) digambarkan sebagai orang mati (walau masih hidup) dan akan mengalami penderitaan lebih dari yang diterima orang melarat.
Tentu akan lebih dan sangat berbahaya lagi jika seseorang mengalami dua kemiskinan sekaligus, sudah miskin materi ternyata rohaninya juga miskin. Orang-orang yang mengalami kemiskinan ganda ini kehidupannya akan lebih banyak diwarnai dengan segala perbuatan yang adharma dengan segala bentuknya. Dan akibatnya tidak saja menyusahkan orang lain tetapi juga menyengsarakan dirinya. Karena itu bagi umat Hindu, meski kemiskinan itu ada dan mungkin saja kita alami, hendaknya tetap tidak sampai terjerebab kedalam kemiskinan rohani (dinabuddhi). Kunci pengentasan kemiskinan apapun ada pada “dharma” yang merupakan pijakan untuk mendapatkan “artha” guna memenuhi “karma” dalam mencapai “jagadhita” (sejahtera lahir) dan “moksa” (sejahtera batin).
Kebutuhan dan Keinginan yang Mana Harus Dipenuhi
Kata “kebutuhan” dan “keinginan” sepintas tidak menunjukkan makna yang berbeda karena kedua kata itu sama-sama bersifat “memerlukan sesuatu”. Hanya saja jika dicermati dalam konteks “apa yang diperlukan” itu dapat dijalaskan bahwa ternyata “kebutuhan” itu lebih menunjuk pada “barang apa yang diperlukan” sedangkan “keinginan” lebih meluas dan melebar sifatnya, bisa memerlukan barang (benda) bisa juga berupa “hasrat”, “kehendak” yang non kebendaan. Konkretnya, suatu yang bersifat “kebutuhan” itu cendrung kebendaan/material. Misalnya perihal kebutuhan dasar manusia yang tidak lain dari makan minum (pangan), pakaian (sandang) dan perumahan (papan). Sementara yang namanya “keinginan” bisa lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan dasar.
Oleh karena cenderung bersifat kebendaan/meteria, maka “kebutuhan” itu ada dan bisa dibatasi pemenuhannya. Contoh, bila makanan yang disantap sudah membuat kita kenyang, selesailah pemenuhan rasa laparnya, setidaknya untuk saat itu. Sedangkan yang namanya “keinginan” apalagi jika kemauan, kesempatan dan kemampuan memungkinkan maka keinginan itu tak pernah bisa dibatasi pemenuhannya. Singkatnya, “kebutuhan” dapat dibatasi sesuai dengan tingkat kesanggupan seseorang untuk memenuhinya. Sedangkan “keinginan” semakin diikuti kian menjadi-jadi pemenuhannya.
Oleh karena itu bagi umat beragama, yang patut diwaspadai perkembangan kebutuhannya adalah bukan pada “kebutuhan” tetapi pada “keinginan”. Sebab jika keinginan selalu dipenuhi apalagi keinginan untuk memenuhi kebutuhan yang diluar batas-batas yang sifatnya wajar dan mendasar, maka seperti ucap kata Bhagavadgita II. 62 dan 63 ditegaskan : “dengan memikirkan benda jasmani, maka orang terbelenggu padanya, daripadanya lahir keinginan dan dari keinginan ini timbullah amarah, dari amarah timbul kebingungan, dari kebingungan hilang ingatan, dari hilang ingatan menghancurkan pikiran dan dari kehancuran pikiran ia pun musnah”.
Begitulah, bermula dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan mendasar berkembang menjadi keinginan yang melebihi kebutuhan itu sendiri. Akhirnya keinginan tidak melahirkan kebutuhan, melainkan menumbuhkan keinginan yang terus menerus mengalir seperti berjuta-juta aliran air sungai yang memenuhi samudra luas namun tak pernah “terpenuhi” atau “kepenuhan”. Filosof benar Mahatma Gandhi pernah berucap, “ Bumi sanggup memenuhi segala kebutuhan manusia tetapi tidak keinginannya”. Dan suratan kitab suci Bhagavadgita II. 71 mengamanatkan : “orang yang membuang semua nafsunya dan melangkah bebas tanpa keinginan, bebas dari perasaan “aku” dan “punyaku” ia mencapai kedamaian”.
Hidup Ini Diatur Oleh Hyang Widhi ?
Kitab suci Bhagavadgita, XVIII. 61 menyuratkan : “Iswarah sarwabhutanam, hriddese Arjuna tistati, bhramayam sarwabhutani, yantrarudhani mayaya” yang artinya kurang lebih : Yang Maha Esa bersemayam di dalam hati (jiwa) setiap makhluk, oh Arjuna, mengakibatkan mereka berputar (bergerak) oleh Sang Maya (kekuatan-Nya), ibarat makhluk-makhluk ini diletakkan di atas suatu alat (yang berputar).
Suratan sloka Bhagavadgita ini dengan tegas menyiratkan makna bahwa semua makhluk ciptaan-Nya bergerak atau berputar dengan “diatur” oleh gerakan-Nya. Gerakan-Nya itulah yang menyebabkan dunia dan kehidupan ini terus berputar dan makhluk hidup penghuninya berbuat. Itu artinya tanpa gerakan yang diatur oleh-Nya dunia ini akan berhenti berputar dan makhluk ciptaan-Nya pun berhenti kehidupannya (pralaya). Dengan demikian sesungguhnya tidak salah jika dikatakan bahwa gerak perbuatan manusia adalah gerakan-Nya juga. Sehingga timbul penafsiran, seakan-akan manusia “bergerak tanpa gerakan” atau “berbuat tanpa perbuatan”. Sebab semuanya serba “diatur” dan dikendalikan oleh-Nya. Tak ubahnya seorang dalang, Tuhan telah membuatkan scenario di mana setiap orang atau makhluk hidup lainnya mendapat peran yang berbeda satu sama lain dan wajib dilakoni sesuai aturan.
Dan ini berarti juga, setiap gerakan perbuatan yang dilakoni manusia, sebagai apapun sebagai maling, adalah sebuah proses “menjalani” peran diri-Nya. Mengapa harus diberi peran sebagai “maling”, tentunya harus dikaitkan dengan “pengalaman” perbuatan masa lalunya (karma wasana) yang boleh jadi “sangat menguasai” peran itu. Dalam konteks sradha karmaphala yang memberi imbas terhadap peran lanjutan yang akan diterima dalam episode kehidupan mendatang. Yang pasti, peran apapun yang didapat, baik atau buruk kesemuanya harus dikembalikan pada proses “penyadaran diri” untuk terus meningkatkan kedekatan pada-Nya.
Seorang penafsir kitab suci Weda khususnya Bhagavadgita, Shri Sadhu T.L. Waswani terhadap bunyi sloka diatas, memberi penjelasan bahwa “sebenarnya semua yang kita perbuat adalah perbuatan atau kehendak Yang Maha Esa itu sendiri yang bersemayam di dalam jiwa kita dan dalam jiwa setiap makhluk lainnya. Tuhanlah yang “membolak-balikkan” kita tanpa kita bisa berdaya atau menentang kehendak-Nya sedikitpun. Yang Maha Esa adalah ibarat dalang pertunjukkan. Yang mengatur segala-galanya baik segi kostum, tata ruang, penampilan dan semua gerak gerik dan dialog kita”.
Jika memang demikian adanya tentu kita tak dapat membantah kebenaran bahwa hidup kita adalah “diatur” oleh-Nya dan tentunya kita hanya wajib menjalankan sesuai peran yang didapat dengan tujuan akhir kembali pada Sang Pengatur itu sendiri.br />
Pengaruh Lagu Saat Memuja Tuhan
Menurut kodratnya manuasia adalah makhluk “bernyanyi”. Sejak zaman purba hingga memasuki millinieum ketiga ini manusia tetap sebagai “penyanyi”. Dan nyanyian bagi manusia merupakan ekpresi curahan hati, cetusan jiwa dan gambaran perasaan. Maka ketika seorang ibu merasa susah menidurkan buah hatinya, spontan dia menyanyikan lagu lembut penuh kasih sayang untuk menidurkannya.
Ketika seorang senang senang maka nyanyian gembira menjadi judul lagu yang dilantunkan. Begitu pula ketika seseorang memerlukan dorongan semangat dalam perjuangan, maka lagu-lagu mars heroic yang bernuansa perjuangan di kobarkan. Anak-anak muda yang penuh dinamika, gairah hidupnya meledak-ledak, maka lagu-lagu yang beraliran rock yang keras menggelegar yang pilihannya. Tak terkecuali dengan seorang umat hamba Tuhan yang hendak mengekspresikan rasa rindu kepada-Nya akan memilih lagu-lagu rohani sebagai media bhaktinya.
Pendeknya, lagu atau nyanyian dengan tema dan nuansa apapun tetap akan memberi pengaruh terhadap si penyanyi dan juga yang mendengarkannya. Seorang ibu yang sedang melantunkan lagu pengantar tidur anak, bukan hanya sang anak yang bisa tidur, si ibu pun tidak jarang ikut ketiduran. Ketika menonton pertunjukan musik dangdut, tidak hanya si penyanyinya yang bergoyang, penonton dan pendengar pun terbius untuk ikut-ikutan bergoyang. Mendengarkan lagu-lagu rock apalagi, tidak jarang membuat pendengarnya harus berjingkrak-jingkrak mengikuti irama beraliran keras tersebut. Lain lagi bagi kaum berumur yang lebih senang dengan lagu-lagu berirama lembut seperti keroncong dan juga tembang-tembang kenangan untuk bernostalgia.
Begitulah, lagu atau nyanyian dapat memberi pengaruh yang luar biasa bagi yang melagukannya dan juga bagi yang mendengarkannya. Dan apabila lagu dan nyanyian itu berhubungan dengan tema-tema rohani atau bernuansa religius maka perlahan tetapi pasti jika dilakukan terus berulang-ulang akan dapat menumbuh kembangkan rasa kedekatan kepada-Nya yang berarti juga akan dapat meningkatkan kadar rohani dan spiritualnya. Bagi agama Hindu, kitab suci Weda bagian Sama Weda merupakan kumpulan dari lagu-lagu atau nyanyian pujian dan pujaan kepada Tuhan.
Di kalangan masyarakat Hindu (Bali) melantungkan kidung atau kekawin dalam aktivitas ritualnya merupakan media untuk menciptakan suasana religius baik suasana upacaranya maupun suasana batinnya. Di dalam istilah sansekertanya sebutan untuk menyanyikan lagu atau kidung suci ini disebut kirtanam atau bhajan. Apa pun istilahnya termasuk versi mana pun lagu yang dikumandangkan (Bali atau India) tetap memiliki nilai dan makna yang sama, asalkan dilakukan dengan penuh bhakti. Dan vibrasi atau getaran sukma lagu dilantunkan berulang-ulang itu diyakini akan dapat semakin mendekatkan kita pada-Nya yang berarti pula Tuhan akan selalu dekat (memberi perlindungan) kepada kita. Dan itu bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan tentunya dilakukan dengan penuh rasa bhakti.
Tri Guna dan Apa Cirinya Jika Menguasai Pikiran
Tri Guna artinya tiga sifat, bakat atau pembawaan yang meliputi : Sattwa (Sattwam), Rajas (Rajah) dan Tamas (Tamah). Sattwa memancarkan sifat tenang, bahagia, tulus, bijaksana, tanpa pamrih. Rajas mewujudkan sifat-sifat gelisah, dinamis, ambisius, mengharap imbalan. Sedangkan Tamas memperlihatkan sifat-sifat pasif, malas, bersenang-senang.
Ketiga guna itu dalam kenyataannya tidaklah berdiri sendiri melainkan merupakan satu kesatuan yang utuh dimana satu sama lain akan saling mendominasi. Guna mana yang berhasil mendominasi guna lainnya maka begitulah sifat-sifat yang dipancarkannya. Di dalam kitab suci Bhagavadgita, XIV sloka 10, 12 dan 13 berturut-turut digambarkan dominasi dari setiap guna yaitu :
“(Bila) Sattwa mengatasi Rajah dan Tamah, O Arjuna, (Maka) Rajah dan Tamah ada dalam kebaikan sebagaimana juga adanya Tamah pada Sattwa dan Rajah”, “Lobha, giat dalam usaha, gelisah dalam kerja dan nafsu adalah apabila Rajah bertambah kuasa, O Arjuna”, “Kekurang cerahan, tidak aktif, keteledoran dan juga kebingungan, semua ini timbul dari sifat Tamah yang semakin bertambah kuat O Arjuna”.
Demikian, secara lengkap disuratkan perihal pengaruh Tri Guna dengan pancaran sifat yang saling mendominasi. Di mana sesungguhnya pada setiap orang sudah mempunyai bakat bawaan dengan segala potensi sifat-sifatnya. Sekarang tinggal setiap umat beragama untuk mengarahkan potensi Tri Guna itu agar lebih mendominasi oleh sifat Sattwa, meski sifat Rajah dan Tamah tak mungkin dapat dilenyapkan. Setidaknya sifat Sattwa akan menguasai diri, sehingga potensi kemenonjolan sifat Rajah dan Tamas tidak akan nampak.
Hanya saja karena ini menyangkut sifat, dan sifat itu cenderung bisa berubah-ubah tergantung banyak factor seperti situasi, kondisi, emosi, pribadi, dll, maka perubahan-perubahan yang terjadi haruslah tetap diarahkan pada sifat sattwa. Caranya : sattwa kekuatan, rajah dikendalikan dan tamah ditaklukkan. Menguatkan sattwa antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran akan kesejatian Sang Diri sebagai insane beragama yang senantiasa berbhakti hendak mencapai-Nya. Lalu mengendalikan Rajah dengan jalan menekan berbagai kepentingan berlebihan atas dasar prinsip bahwa setiap karma adalah kewajiban. Sedang menaklukkan Tamah dapat dilakukan dengan menguasai pikiran agar terus berkarma.
Apa yang dikemukakan di atas memang baru sebatas teori. Prakteknya terpulang kembali pasa kesadaran diri masing-masing. Hendak menampilkan Guna yang manakah diri kita ini?.
Mantra yang Diucapkan Saat Memotong Binatang
Hakikat hidup adalah melangsungkan kehidupan dengan cara saling menghidupkan. Manusia bisa hidup, tumbuh dan berkembang dengan sehat dengan mengkonsumsi makhluk hidup lainnya binatang dan tumbuh-tumbuhan atau salah satu di antarannya. Bagi umat Hindu, mengkonsumsi binatang tentunya dengan terlebih dahulu menyembelih atau memotongnya tidaklah dilarang, kecuali bagi sebagian umat yang telah secara sadar menempuh cara hidup sebagai vegetarian jelas tidak akan melakukannya. Apalagi jika binatang itu diperuntukkan bagi keperluan upacara agama (yajna) selain dibenarkan juga merupakan proses “penyupatan” bagi binatang kurban untuk meningkatkan status kemakhlukannya kelak.
Oleh karena itu digunakan untuk apapun asal sudah sesuai dengan dharma, penyembelihan atau pemotongan binatang dapat dilakukan. Memang dikalangan umat persoalan boleh tidaknya menyembelih binatang masih menjadi perdebatan yang pada prinsipnya melahirkan pro kontra yang sama-sama memiliki dasar pijakan yang benar. Paling tidak praktek penyembelihan untuk konsumsi manusia dan kepentingan yajna masih berlangsung sesuai acuan kitab suci yang telah dijabarkan ke dalam banyak lontar antara lain lontar Widhi Sastra, Yama Tattwa, Lebur Sanga, Bomakertih, Indik Caru. Di dalam kitab Manusmrti V.39 dan 40 juta telah ditegaskan : “Swayambu (Tuhan) telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara-upacara kurban yang telah di atur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara akan lahir dalam tingkatan yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang”.
Sementara itu bagi kaum vegetarian cukup kuat juga pijakannya untuk tetap kukuh tidak mengkonsumsi makanan yang berasal dari makhluk hidup yang memiliki “bayu dan sabda” (binatang/hewan). Tujuannya tidak lain untuk membersih sucikan jasmani dari pengaruh makanan yang bersifat tamasik yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap peningkatan mental-spiritualnya. Dengan cara hidup vegetarian termasuk melakukan upacara yajna tanpa kurban binatang diharapkan konstruksi bhuwana agung dan bhuwana alit yang terbangun adalah atas dasar rasa cinta kasih tanpa pamrih di mana satu sama lain makhluk hidup terjalin siklus kehidupannya secara harmonis dan damai.
Meski begitu, apapun posisi kita sebagi pemakan daging atau vegetarian sepatutunya dapat saling menghargai bukan justru saling menyudutkan. Dan bagi umat yang hendak menyembelih binatang mantranya adalah : “ Om pacupacaya wihmahe, ciraccedaya dhimahi, tanno jiwah pracodayat”, artinya “ Ya Tuhan kami menyembelih binatang, memotong kepalanya dengan hati suci, semoga jiwa dan raganya mendapat kemajuan ke tingkat yang lebih tinggi”.
Vijaksara Om Mengakhiri Setiap Mantra
Meski hanya terdiri atas tiga huruf A + U + M yang kemudian bersandhi menjadi OM, Vijaksara Om yang juga disebut Omkara atau Pranava boleh dikatakan sebagai Vijaksara yang gaib yang mewakili Weda dan seluruh alam semesta. Vijaksara OM juga bisa disebut ajaib karena seperti dikatakan dalam Brahmopanisad, hanya dengan melalui pengucapan Om akan mengajarkan seseorang untuk melihat Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam Aitreya Brahmana pun dinyatakan bahwa Vijaksara Om merupakan symbol Brahman yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
Lain lagi disuratkan di dalam Katha Upanisad bahwa : “suku kata ini sesungguhnya mempunyai semangat yang tidak kunjung habis. Dan suku kata (Vijaksara) ini adalah tujuan yang maha tinggi. Dengan mengerti Vijaksara ini apapun yang diinginkan seseorang akan terwujud”. Bahkan dengan bermeditasi pada Om seseorang akan dapat merealisasikan kebenaran Tuhan Yang Maha Esa (Amrtabindu Upanisad).
Dengan mengutip beberapa suratan singkat dari berbagai kitab suci, nyatalah pemahaman kita bahwa Vijaksara Om tidaklah sekedar aksara tanpa makna. Di dalam Vijaksara Om ada sabda sekaligus wujud Brahman Yang Maha Esa. Karenanya Vijaksara Om tidaklah sekedar symbol belaka yang hanya sebatas dihafal dan dihafalkan tanpa penjiwaan.
Lebih jauh di dalam Mundaka Upanisad II.2.6. dianjurkan : “bermeditasilah atas Om sebagai atman. Semoga dikau berhasil menyebrang kearah yang lebih jauh dari kegelapan”. Kitab Yajurveda XL.15.17 juga mengingatkan dengan jelas : “Oh jiwa yang aktif, pada saat kematian, ingatlah Omkara, ingatlah Tuhan Yang Mahakuasa yang memberi kehidupan dan keabadian, ingatlah karya dan ajaran-Nya. Sadarilah bahwa atma adalah bersifat kekal abadi dan tidak terikat oleh badan yang pada akhirnya lebur menjadi abu. Oh umat manusia, oleh-Ku, Pelindung Cemerlang, telah ku tutupi wajah-Ku yang abadi. Kekuatan yang menjadikan matahari bersinar di sana adalah Aku membentang di angkasa raya, Om nama-Ku”.
Sedemikian mulianya makna filosofi dai Vijaksara Om itu, maka tidaklah aneh bila setiap mengawali dan mengakhiri suatu mantram akan selalu diisi dengan pengucapan Omkara yang tidak lain merupakan kepala dari mantram-mantram Weda yang juga adalah wujud alam semesta. Dan yang keluar merupakan intisari dari Yang Maha Abadi, saripati dari kitab suci Veda (S. Sankaracarya).
Singakat kata, meski Vijaksara Om terbilang pendek tetapi kandungan filososfinya amat dalam dan agung. Karena itu dalam hal pengucapannya pun kita tidak boleh salah apalagi asal-asalan. Vijaksara Om diucapkan dengan “OM” bukan “UM” yang tentunya disertai dengan penjiwaan hati atas dasar sraddha dan bhakti yang tulus dan mantap.