E-mail : pasek.trunyan@gmail.com
=

Budaya Agama bukan Agama Budaya

Budaya Agama bukan Agama Budaya
Seperti halnya seekor sapi yang diberi kacamata hijau agar mau memakan rumput kering, begitulah seseorang yang menggunakan kacamata subyektif dalam menilai praktek keberagaman umat lain. Hasilnya hanya berupa penilaian dan atau penafsiran yang bersifat “seolah-olah”. Seperti sapi berkacamata hijau disodori rumput kering, seolah-olah rumput itu “hijau” namun begitu menyentuh lidah tidak mengena diselera, hambar.

Terhadap seseorang yang bertindak selaku “penilai atau penafsir” ajaran dan praktek umat beragama lainnya pun tak luput dari “kesalahan kacamata”. Karena tolak ukur, acuan pijakan, referensi pedoman yang digunakan adalah “kitab suci lain” yang jelas berbeda theologinya tentu akan menghasilakan penilaian yang tidak saja berbeda tetapi juga sering keliru, salah besar bahkan terjebak ke dalam sikap atau tindakan pelecehan, penodaan atau penghinaan terhadap agama lain.

Tak terkecuali terhadap penilaian orang yang mengatakan bahwa agama Hindu itu adalah “agama budaya”, yang dianggap dihasilkan dari cipta, rasa dan karsa manusia pada zaman agama itu diturunkan (dibuat). Sungguh hebat bin ajaib ada manusia yang mampu membuat suatu “ajaran” yang dapat diikuti, dipercaya dan diyakini oleh ratusan juta manusia dan sudah berlangsung selama kurun waktu ribuan tahun. Siapakah gerangan sosok manusia super hebat bin ajaib itu? Ternyata di dalam kitab Weda tidak ada disebutkan siapa nama manusia itu. Yang dinyatakan dengan tegas hanyalah sebait sloka yang berbunyi “mantras drstah iti rsih” yang artinya yang menerima wahyu itu adalah rsi. Rsi-rsi penerima wahyu itulah yang kemudian mengumpulkan, menghimpun, menyuratkan dan menyebarkan ajaran wahyu Tuhan tersebut. Jadi sama sekali tidak ada disebutkan bahwa rsi itu pencipta menurut rasa dan karsa kemanusiaannya. Para rsi inilah dalam kenyataannya memang merupakan sosok “manusia bernama” dengan kehebatan dan keajaibannya mampu menangkap, menghimpun dan menyiarkan wahyu Tuhan yang kemudian dikenal sebagai ajaran agama Hindu untuk dipedomani oleh umat pemeluknya.

Soal dalam pengamalam agama Hindu lebih menonjolkan penampakkan unsure budaya tidaklah lantas memberi arti bahwa agama Hindu itu sebagai agama budaya. Justru ajaran agama Hindu memperlihatkan sifatnya yang selalu “toleran” dengan kondisi social budaya setempat yang kemudian melahirkan konsep “desa-kala-ptra”, “Negara mawa tata” dan “desa mawa cara”. Artinya kehadiran agama Hindu dimanapun tidak untuk “mematikan” unsure kebudayaan setempat melainkan justru digunakan untuk mendukung dan menopang pelaksanaan ajaran agama Hindu itu sendiri. Jadilah praktek keberagamaan umat Hindu begitu beraneka ragam di mana pun umat pemeluknya berada. Kesemua bentuk praktek agama itu bukanlah sebagai “agama budaya” melainkan hanya sebatas sebagai “budaya agama”.

No comments:

Post a Comment