E-mail : pasek.trunyan@gmail.com
=

Syarat-syarat Wiwaha

Upacara Wiwaha (Perkawinan) adalah suatu Samskara dan merupakan lembaga yang tidak terpisah dari hukum Agama (Dharma).

Menurut ajaran agama Hindu, sah atau
tidaknya suatu perkawinan terkait dengan sesuai atau tidak dengan persyaratan yang ada dalam agama. Suatu perkawinan dianggap sah menurut Hindu adalah, sebagai berikut :


1. Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan Hukum Hindu.

2. Untuk mengesahkan perkawinan menurut Hukum Hindu harus dilakukan oleh Pendeta/Rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.

3. Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut Agama Hindu.

4. Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan
dikatakan sah setelah melaksanakan upacara Byakala/Biakaonan sebagai rangkaian Upcara Wiwaha.

5. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.

6. Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan rohani.

7. Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun.

8. Calon mempelai tidak mempunyai darah dekat atau sepinda.

Read More......

Tujuan Wiwaha

Bagi masyarakat Hindu soal perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia kehidupan mereka. Istilah perkawinan sebagaimana terdapat didalam sastra dan kitab hukum Hindu (Smrti), dikenal dengan nama wiwaha. Peraturan-peraturan yang mengatur tata laksana perkawinan pembinaan hukum agama Hindu di bidang perkawinan.


Berdasarkan Kitab Manusmrti, perkawinan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan jalan melahirkan seorang "putra". Kata putra berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya "ia yang menyebrangkan/menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka".

Wiwaha dalam agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwa Wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya bersifat wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang dialami normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh seseorang demikian pula oleh para leluhur akan dapat dikurangi bila memiliki keturunan. Penebusan dosa seseorang akan dapat dilakukan oleh keturunannya seperti dijelaskan dalam ceritera/Itihasa.

Jadi tujuan utama dari wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang Suputra. Yaitu anak hormat kepada orang tua. Cinta kasih terhadap sesama, dan berbakti kepada Tuhan. Suputra sebenarnya berarti anak yang mulia yang mampu menyebrangkan orang tuanya dari neraka ke surga. Seorang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat dan martabat orang tuanya. Mengenai keutamaan suputra dijelaskan dalam kitab Nitisastra berikut :


Orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaanya dibandingkan oleh orang yang mampu membuat satu yadnya secara tulus ikhlas, dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah keutamaanya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang saputra. Demikian keutamaan seorang anak yang saputra.


Lebih jauh dijelaskan oleh Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha itu disamakan dengan Samskara yang menempatkan kedudukan perkawinan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan yang erat dengan Agama Hindu. Oleh karena itu semua persyaratan yang ditentukan hendaknya dipatuhi oleh umat Hindu.

Dalam upacara Manusia Yadnya, wiwaha Samskara (Upacara Perkawinan) dipandang merupakan puncak dari upacara Manusa Yadnya, yang harus dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya. Wiwaha bertujuan untuk membayar hutang kepada orang tua atau Leluhur, maka itu disamakan dengan Dharma.

Wiwaha Samskara diabadikan berdasarkan Weda, karena ia merupakan salah satu sarira samskara atau penyucian diri melalui perkawinan. Sehubungan dengan itu Manawa Dharmasastra menjelaskan bahwa untuk menjadikan bapak dan ibu maka diciptakanlah wanita dan pria oleh Tuhan, dan karena itu Weda akan diabadikan oleh Dharma yang harus dilaksanakan oleh pria dan wanita sebagai suami istri.

Dalam berumah tangga ada beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan yaitu :
1. Melanjutkan keturunan
2. Membina rumah tangga
3. Bermasyarakat
4. Melaksanakan Panca Yadnya

Read More......

Wiwaha

Pengertian Wiwaha

Dalam masyarakat Hindu ada empat jenjang/tahapan kehidupan yang disebut Catur Asrama. Tahap pertama, yaitu tahap belajar/menuntut ilmu yang disebut Brahmacari. Tahap yang kedua adalah Grhasta, yaitu berumah tangga. Tahap ketiga disebut Wanaprastha, yaitu mulai melepaskan diri dari ikatan Duniawi dan tahap keempat adalah Bhiksuka/Sanyasin, yaitu menyebarkan ilmu kerohanian kepada umat, dan dirinya sepenuhnya diabdikan kepada Tuhan, Wiwaha/Perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki arti dan kedudukan khusus dan penting sebagai awal dari masa berumah tangga atau grhastha asrama.


suatu transaksi dianggap sah bila ada saksi, dalam Upacara Wiwaha (Byakala) tersebut sudah terkandung Tri Upasaksi (Tiga Saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa saksi adalah Saksi Dewa (Ida Sang Widhi Wasa) yang di mohon untuk menyaksikan upacara pawiwahan tersebut, Manusa Saksi adalah Saksi Manusia. Dalam hal ini semua orang yang hadir pada saat dilaksanakan upacara utamanya, seperti Pemangku dan Perangkat Desa (Bendesa Adat, Kelian Dinas dan sebagainya). Bhuta Saksi adalah saksi para Bhuta Kala.

Pada saat dilaksanakan Upacara Byakala kita membakar tetimpug (beberapa potongan bambu yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbul suara ledakan. Suara ledakan tersebut merupakan simbul memanggil Bhuta Kala untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhan dengan harapan tidak mengganggu jalanya upacara tersebut.

Setelah selesainya Upacara Wiwaha (Byakala). Maka pasangan pria dan wanita tersebut telah resmi menjadi suami istri (Dampati) dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang Grhastin.

Read More......