E-mail : pasek.trunyan@gmail.com
=

Jumlah Kuda dan Arti Sugihan Bali

Arjuna dan Kreshna

Sebagaimana disuratkan di dalam kitab suci Bhagawadgita, I.14 cukup jelas dinyatakan bahwa: “Kemudian setelah berdiri di atas kereta megah yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, Krishna dan Arjuna meniup terompet dewata meraka”.

Mengacu pada bunyi sloka ini sudah pasti jumlah kuda yang menarik kereta yang dinaiki oleh Arjuna dengan sais utama Sri Kreshna berjumlah dua ekor kuda putih. Tetapi dalam media lain di luar transkripsi Bhagawadgita seperti dalam gambar-gambar atau lukisan lepas terutama yang bersumber dari tanah India umumnya kereta yang ditumpangi Arjuna menjelang pecahnya perang keluarga Bharata digambarkan ditarik oleh empat ekor kuda putih.

Berpijak pada pemahaman filosofis tentang jumlah kuda tidaklah begitu penting. Yang paling penting justru keberadaan kuda itu sendiri dengan tidak perlu lagi menyebutkan jumlahnya. Penggunaan kereta lengkap mulai dari kusir sampai kudanya mengandung makna filosofis yang teramat dalam. Perinciannya: kereta adalah lambang manusia, pemilik adalah lambang atma, kusir adalah lambang budhi (kebijaksanaan), tali kekang lambang pikiran dan kuda lambang indria.

Pendeknya, kereta lengkap itu menggambarkan hakikat manusia itu sendiri. Soal kereta itu mau dibawa kemana, dengan cara apa, atau kapan kuda itu hendak dilarikan dengan kencang atau pelan kesemuanya terpulang pada sang pemilik yang dengan kelengkapan badan, pikiran dan budhi bisa mengarahkan kereta menuju tujuan sejati. Jadi soal jumlah kuda dalam pengertian filosofis mungkin tidak begitu penting. Sebab berapa pun jumlahnya, tetapa faktor kuda sebagai lambang indria yang perlu dikendalikan itu yang agaknya lebih penting. Lebih-lebih kalau dikaitkan dengan kebebasan seniman dalam menggambarkan/melukiskan atau memahatkan maka bisa saja jumlah kuda menjadi sangat bervariasi.

Lalu soal Sugihan Jawa dan Sugihan Bali seperti pernah diungkap, maknanya adalah sebagai penyucian Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit atau alam semesta dan diri kita masing-masing dalam rangka menyongsong hari suci Galungan sehingga dharma benar-benar dapat ditegakkan di atas adharma. Terakhir mengenai tujuan penggunaan “lis” tidak lain sebagai sarana/upakara pembersihan atau penyucian sehingga segala noda atau mala sirna adanya.

Read More......

Kebaya Transparan dan Etika Berbusana

Yang namanya mode selalu mengikuti perkembangan zaman. Dan perkembangan zaman pun cenderung mengikuti selera pasar. Mungkin karena kecendrungan dunia sekarang menonjolkan transparansi (keterbukaan), maka mode pakaian/busana pun cenderung yang serba “terbuka”. Muncullah mode rok mini bahkan super mini, pakaian ketat, busana setengah dada, termasuk baju kebaya tipis tembus pandang . sebenarnya sebatas sebagai mode yang dikenakan para model di atas panggung tidaklah soal. Tetapi baru akan dipersoalkan kalau untuk ke pura dengan tujuan melakukan persembahyangan . mungkin bagi si pemakai itu bagus, indah, jika sudah mengarah pada munculnya “negative thingking” bagi para pemerhati terutama kaum jaka-teruna jelas akan membawa efek pada kesucian pikiran. Paling tidak konsentrasi menjadi terganggu, karena disuguhkan pemandangan yang mengandung “nafsu”. Dalam keadaan normal saja, masih sulit untuk konsentrasi, apalagi setelah disajikan penampolan para wanita berkebaya tembus pandang, tentu bisa membawa alam pikiran ke “dunia lain”.

Dalam bahasa orang iseng “yen sing tolih jelek asane, yen tolih jug luung asane”. Kalau sudah sampai demikian gelagatnya, maka apalah arti ke pura, kalau dalam pikiran, konsentrasinya terarah pada hal-hal yang tidak suci. Karena menurut ucap sastra, pikiran itulah yang akan mengantarkan sembah bhakti kita, artinya, jika dalam sembahyang pikiran terfokus pada Hyang Widhi, maka puja bhakti kita akan sampai pada-Nya. Lalu, kalau pikiran terpusat pada “sesuatu” yang tidak patut, maka ke sana jugalah angan kita di bawa. Jadi, dalam melakukan suatu kegiatan ke agamaan (persembahan atau persembahyangan) selain diisyaratkan ketulus-ikhlasan, tanpa pamrih juga yang teramat penting adalah kesucian pikiran yang merupakan landasan dari konsentrasi (pikiran terpusat pada-Nya).

Sikap kita menghadapi trend mode kebaya tembus pandang ini adalah mengembalikan persoalan ini kepada “Atmanasthusti” (suara hati nurani) dari si pemakai. Tentunya dengan bertanya pada diri sendiri, patutkah jenis busana tipis tembus pandang itu dikenakan ke pura? Jika menurut diri sendiri enak dan indah dipakai, tidaklah bisa mengganggu bahkan merusak konsentrasi pemedek laki lainnya? Jika jawaban dari pertanyaan itu berasal dari kejujuran suara hati nurani, maka lain waktu kita akan melihat lagi pemandangan di pura yang menampilkan para wanita berkebaya tipis tembus pandang. Diperlukan kesadaran semua umat untuk turut mensucikan pura antara lain dengan menjaga kesucian pikiran saat melakukan persembahyangan di pura.

Read More......

Arti Garuda dan Angsa di Padmasana

Naga Anantabhoga dan Naga Basuki

Padmasana berasal dari kata “padma” yang berarti bunga dan “asana” yang artinya tempat duduk. Padmasana berarti tempat duduk dari bunga teratai. Dalam pandangan Hindu, Padmasana merupakan simbolis dadi sthana Hyang Widhi yang berbentuk bangunan menjulang tinggi. Sebagai suatu bangunan atau palinggih, padmasana dilengkapi dengan sebagai atribut. Di antaranya lukisan atau pahatan garuda dan angsa.

Burung garuda adalah lambang dari perjuangan untuk mendapatkan kebebasan dengan mencari air kehidupan (tirtha amertha). Cerita tentang burung garuda ini terungkap di dalam kisah Adi Parwa, di mana garuda yang tidak lain adalah anak dari Dewa Winata berjuang untuk membebaskan ibunya dari perbudakan sang naga. Garuda ini kemudian dipergunakan sebagai simbol perjuangan manusia di alam raya ini dalam mencari amertha atau kebebasan yang abadi. Dalam bahasa agama Hindu, palinggih Padmasana ini merupakan simbol pendakian umat dalam ikhtiarnya mendekatkan diri dan akhirnya dapat memperoleh kebebasan dalam persatuan dengan-Nya.

Begitu pun dengan burung angsa yang keberadaanya di belakang Padmasana dilukiskan dalam keadaan mengembangkan kedua belah sayapnya. Sebagaimana disebutkan di dalam lontar Indik Tetandingan, lukisan angsa merupakan simbol “Ongkara”. Di mana kedua sayapnya yang mengembang melukiskan “ardha Chandra” (bulan sabit), lalu badanya yang bulat melukiskan “windhu” dan lebar serta kepalanya yang mendongak ke atas adalah simbol “nada”. Makna lainya, burung angsa juga merupakan lambang kebijaksanaan dan kewaspadaan. Sebab angsa selain dapat memilah dan memilih yang terbaik juga sangat peka terhadap keadaan. Dengan demikian keberadaan burung angsa di palinggih Padmasana merupakan simbolis di mana umat Hindu dalam pemujaan kehadapan-Nya berharap untuk memperoleh kebijaksanaan dan selalu bersikap waspada atas tuntunan dan lindungan-Nya.

Sebenarnya, selain burung garuda dan angsa, pada bagian bawah (dasar) dari Padmasana juga dilukiskan keberadaan dua ekor naga yaitu Naga Anantabhoga (symbol kesejahteraan) dan Naga Basuki (simbol kerahayuan) yang lazim disebut sebagai Bedawangnala dengan mebelit seekor kura-kura (simbol api bumi) sehingga disebut juga Bedawang Api (kurmagni).

Secara menyeluruh Padmasana itu tidak lain dari simbol alam semesta di mana Hyang Widhi bersthana guna memberikan tuntunan dan perlindungan kepada umat manusia yang bhakti kepada-Nya.

Read More......

Apa Ciri-ciri Karang Panes

Ajaran agama Hindu dengan konsep kesemestaan alamnya senantiasa menekankan betapa perlu dan pentingnya diciptakan suatu kondisi harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Kondisi yang harmonis itulah yang akan mengantarkan umat Hindu pada tujuan hidupnya – jagadhita dan moksha. Berpijak dadi pandangan demikian maka terhadap penggunaan suatu lingkungan (palemahan/pekarangan) patut juga memperhatikan segi-segi yang diyakini akan turut membuat kondisi harmonis. Karena itu lontar Ling Ira Bhagawan Wiswakarma telah menyuratkan perihal pekarangan atau tanah yang baik dan yang tidak baik dipergunakan untuk mendirikan suatu bangunan, baik perumahan, gedung, kantor, sekolah, tempat suci, dan lain-lain.

Pekarangan yang baik digunakan antara lain disebut: di timur (pascima) menemu labha (penghuninya akan mendapat untung), di utara: paribhoga wredhi (sejahtera dan bahagia), palemahan asah: sedang-sedang saja, palemahan inang: ceria dan asri serta berisi manik, palemahan mambu: sihin (dikasihi sahabat).

Selanjutnya pekarangan yang tidak baik dipergunakan lazim disebut sebagai “karang panes” dengan ciri-ciri berupa risiko yang diterima oleh si penghuni tanah tersebut yaitu: sering jatuh sakit, marah-marah tidak karuan, mengalami kebingungan , mudah bertengkar, dan sejenisnya. Ada pun jenis-jenis tanah yang tergolong karang panes ini di antaranya:

1. Karang Karubuhan
Karang yang berhadap-hadapan atau berpapasan dengan “pempatan” atau “pertigaan” atau persimpangan jalan.

2. Karang Sandanglawe
Karang yang memiliki pitu masuk berpapasan dengan pintu masuk pekarangan orang lain.

3. Karang Kuta Kabanda
Karang yang di apit oleh dua ruas jalan raya.

4. Karang Sula Nyupi
Karang yang berpapasan dengan jalan raya atau numbak marga atau numbak rurung.

5. Karang Gerah
karang yang terletak di hulu Pura/Parahyangan.

6. Karang Tenget
Karang bekas setra (sema), pura, pertapaan, dan lain-lain.

7. Karang Buta Salah Wetu
Karang dimana di tempat tersebut pernah atau sedang terjadi keanehan-keanehan (ketidak lumbrahan) seperti: kelahiran babi berkepala gajah, pohon kelapa bercabang, pisang berbuah melalui batangnya.

8. Karang Boros Wong
Karang yang memiliki dua pintu masuk yang sama tinggi dan berjajar.

9. Suduk Angga
Karang yang dibatasi oleh pagar hidup dimana akar dan tunasnya masuk ke pekarangan lain.

Terhadap jenis pekarangan/tanah di atas bisa saja digunakan asal sudah melalui upacara upahayu halaning palemahan seperti Caru Karang Panes. Tetapi akan lebih rahayu lagi jika tidak dipergunakan.

Read More......

Apa tiap Umat Hindu harus Punya Pura Dadya

Palinggih Kamulan

Bagi masyarakat Bali, terutama yang beragama Hindu sudah menjadi kewajiban (bukan keharusan) untuk mendirikan tempat suci keluarga di mana mereka dapat mensthanakan, memuliakan sekaligus menghaturkan puja bhakti dan sembah kepada roh suci leluhurnya yang sudah menjadi atau berkedudukan sebagai Dewa Pitara. Kewajiban ini bersumber pada ajaran Pitra Puja yang didasari atas adanya Pitra Rna yang kemudian direalisasikan melalui pelaksaan Pitra Yajna.

Dalam khazanah pura, Pura Keluarga ini lazim disebut atau dikelompokkan ke dalam status Pura Kawitan yaitu pura yang ciri keberadaanya ditentukan oleh adanya ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis kelahiran (genealogis). Di dalam lontar Siwagama, 328 dinyatakan bahwa setiap 1 keluarga batih (inti) patut membuat pelinggih Kamulan, setiap 10 keluarga batih supaya membuat palinggih Pratiwi/Gedong, setiap 20 keluarga batih petut mendirikan Pura Ibu dan setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, yang mana kesemuanya itu adalah untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci.

1. Walaupun sudah mempunyai palinggih Kamulan dengan Rong Tiganya yang multi fungsi, keberadaan Pura Dadya tetap menjadi kenyataan yang lumbrah diadakan. Karena terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan suatu generasi ke generasi yang memiliki ikatan leluhur yang sama. Jika pelinggih Kamulan hanya disungsung oleh satu keluarga batih (atau beberapa keluarga dalam satu pekarangan) maka yang namanya Pura Dadya sudah berkembang penyungsungnya untuk beberapa klen kecil (beberapa keluarga inti) sampai klen besar (beberapa klen kecil) dengan sebutan dadya agung (merajan agung)

2. Boleh-boleh saja, malah diperkotaan hal itu sudah menggejala yaitu dengan hanya mendirikan padmasari saja akibat lahan pekarangan sangat sempit. Jadi tidak lagi mendirikan Rong Tiga, cukup Padmasari saja, yang juga berfungsi sebagai “penghayatan” pada semua “beliau” yang ingin disembah, mulai dari Bhatara-Bhatari sampai Hyang Widhi.

3. Sepanjang berstatus Pura Kawitan, apakah itu Marajan, Panti sampai Pedharman yang dimuliakan /dipuja sama yaitu Bhatara-Bhatari Kawitan. Tentang palinggih, terutama yang pokok ada berupa gedong atau meru.

4. Ibarat sebuah pohon, maka Pura Padharman itu adalah pokok (bongkol) yang menyebabkan adanya cabang, anak cabang, ranting, anak ranting dan seterusnya. Maka keberadaannya menjadi penting dalam rangka umat sujud bhakti kepada Beliau sebagai “Sang Mulajadi”.

Read More......

Beda Arca dengan Togog

Arca

Bagi umat Hindu terutama yang masih berada dalam tingkatan Karma dan Bhakti Marga, apa yang namanya simbol-simbol merupakan cara mudah dan alamiah dalam menjembatani alam pikiran sekala (nyata) menuju ke alam pikiran niskala (abstrak). Kewangen misalnya merupakan salah satu contoh simbol Hyang Widhi sebagai Ardhanareswari. Begitu juga gambar Acintya yang sering disebut Sanghyang Licin juga merupakan simbol Hyang Widhi yang tak terpikirkan. Sistem pemujaan dengan simbolisasi ini lazim disebut dengan istilah Murti Puja. Dan yang acapkali digunakan sebagai simbol dalam Murti Puja ini adalah patung.

Dalam wacana Hindu di Bali apa yang disebut patung sebenarnya dapat dibedakan atas beberapa istilah seperti: arca, pratima, togog, bedogol, dan lain-lain. Secara fisik material sesungguhnya benda tersebut memiliki persamaan terutama dilihat dari segi bahan yang digunakan, yaitu umumnya memakai batu, katu dan logam. Kecuali pratima yang bisa juga dibuat dari bahan permata, batu indah, uang kepeng dan lain-lain.

Yang membedakan arca, pratima, togog, dan bedogol itu adalah dari segi proses pembuatan, fungsinya dan lokasi penempatannya. Arca dan pratima kedua-duanya adalah patung perwujudan dari Hyang Widhi (Dewa) atau Bhatara-Bhatari. Dalam pembuatannya, arca dan pratima melalui proses sakralisasi (penyucian) dan pasupati (menjadikan “berjiwa”). Karena arca dan pratima itu akan berfungsi sebagai media penuntun bhakti umat ke hadapan Hyang Widhi, para Dewa dan Bhatara-Bhatari.

Dalm fungsinya begini, di alam pikiran seorang yang bhakti, bukan fisik material dari simbol itu yang dituju melainkan “zat” yang ada dan telah hidup padanya. Karena arca dan pratima merupakan simbol sakral, maka penempatannya pun tidak boleh sembarangan. Arca dan pratima sudah lumrah disthanakan pada tempat suci (pura). Dan pada waktu piodalan biasanya biasanya disthanakan di Bale Pengaruman. Sebutan lain yang memiliki arti dan fungsi tidak jauh berbeda dengan pratima adalah pralingga dan patapakan.

Selanjutnya mengenai togog dan bedogol. Dari segi proses pembuatannya togog umumnya tidak melalui sakralisasi, karena hanya berfungsi sebagai dekorasi semata. Penempatannya pun boleh sesuka hati yang empunya, contohnya: togog pohon kelapa, togog penari janger, dan lain-lainnya. Sedangkan bedogol yang biasanya dibuat dari ukuran agak lebih besar dari togog memiliki fungsi ganda. Bias berfungsi magis (melalui pasupati) dan dapat pula berfungsi dekoratif (hiasan). Penempatannya biasanya di depan candi bentar, pura, palinggih, dan tempat-tempat yang dipandang tenget.

Read More......

Arti “Jro” Dalam Jro Mangku

Jro Mangku atau Jero Mangku

Istilah “jro” sebenarnya berarti “dalam”. Di jro (jero) misalnya berarti “di dalam”, misalnya di dalam puri, di dalam pura (jeroan). Dari istilah “Jro” yang berarti “dalam” itu nantinya bisa juga diberi makna sebagai suatu sebutan untuk seseorang yang “mendalami” atau bergerak atas dasar keahlian di bidang tertentu. Maka lahirlah sebutan “Jro Mangku” untuk seseorang yang mendalami sekaligus bergerak di bidang kepemangkuan. Kemudian Jro Gede yang bisa bermakna ganda seperti untuk menyebut seseorang yang dipandang lebih senior. Contohnya seorang pemangku yang karena lebih dulu menjalani status kepemangkuan atau lebih mendalami sehingga jauh lebih ahli dari pemangku lainnya sering disebut “Jro Mangku Gede”.

Kemudian “Jro Balian” berlaku bagi orang yang bergerak sekaligus ahli di bidang pengobatan alternative (tradisional). Sedangkan istilah “Jro Dalang” digunakan untuk dilekatkan pada seseorang yang bergerak sekaligus ahli di bidang pedalangan.

Karena sebutan “Jro” untuk contoh-contoh di atas itu sudah melekat sebagai bagian dari identitas diri seseorang maka seperti halnya menyebut atau memanggil nama seseorang, maka dimanapun dan kapanpun kita akan bisa menyebutnya dengan panggilan “Jro”. Kecuali di kemudian hari bersangkutan sudah tidak lagi dipandang ahli di bidangnya dan atau tidak lagi menjalani keahlian itu. Misalnya seorang pemangku, karena sesuatu dan lain hal lalu berhenti atau diberhentikan sebagai pemangku, maka yang bersangkutan tidak akan lagi disebut dengan sebutan “Jro Mangku”, begitu juga sebutan “Jro” yang diperoleh karena keahlian dan bidang tugas lainnya akan mengalami nasib yang sama.

Perihal proses seseorang untuk bisa disebut sebagai “Jro” cukup banyak macamnya. Di antaranya, karena keahlian dan atau bergerak di bidang tertentu seperti Jro Mangku, Jro Balian, Jro Dalang, dan lain-lain. Juga bisa diperuntukkan bagi seseorang yang karena statusnya “orang dalam” misalnya sebagai pengayah di puri, bisa disebut “panyeroan”. Kadang-kadang bagi seseorang yang karena belum dikenal pun bisa dipanggil dengan sebutan “Jro” contohnya: “Jro lanang atau Jro istri”. Bahkan terhadap binatang tertentu tidak aneh diberi sebutan “Jro” misalnya terhadap tikus, acapkali dipanggil “Jro Ketut”.

Kesimpulannya, istilah “Jro” cukup bervariasi arti dan maksud pemberian sebutan itu, yang kalau dikelompokkan setidaknya mempunyai dua (2) pengertian yaitu sebagai profesi dan bentuk penghormatan terhadap seseorang.

Read More......

Pengertian Pura Kawitan

Pura Kawitan Pasek Terunyan

Dilihat dari segi fungsinya, Pura sebenarnya ada dua yaitu: sebagai tempat memuja Hyang Widhi (Dewa Pratistha) dan sebagai tempat memuja roh suci leluhur (Atma Pratistha). Lalu ditinjau dari segi karakternya, pura di bagi lagi menjadi empat kelompok yaitu: Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina dan Pura Kawitan.

Khusus untuk Pura Kawitan, tidak lain dari tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Jadi Pura Kawitan ini bersifat spesifik atau mengkhusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya. Contoh-contoh pura yang termasuk ke dalam kelompok Pura Kawitan antara lain: Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman dan yang sejenisnya.

Perihal Pura Panti dan Pura Dadia sebenarnya berada dalam kelompok pura yang sama dan juga mempunyai pengertian yang tidak berbeda pula. Artinya apa yang disebut Pura Panti itu dapat pula disebut dengan Pura Dadia. Sama halnya dengan sebutan Sanggah dapat pula disebut dengan istilah Merajan. Yang membedakannya hanyalah terletak pada jumblah penyiwi atau pemujanya. Sebagaimana tersurat di dalam Lontar Siwagama bahwa: “Bhagawan Manohari beliau beraliran Siwa dengan tugas disuruh oleh Sri Gondarapati, memelihara dengan baik Sad Kahyangan kecil, sedang dan besar, sebagai kewajiban semua orang, dan lainnya lagi ialah asal penjelmaan seseorang. Setiap 40 pekarangan rumah (keluarga) disuruh mendirikan Panti, adapun setengah bagian dari itu yakni 20 pekarangan rumah supaya mendirikan Palinggih Ibu, kecilnya 10 pekarangan rumah mendirikan Pelinggih Pratiwi (pertiwi) dan pada setiap pekarangan rumah supaya didirikan Pelinggih Kemulan (sanggah/merajan)

Di luar yang tersurat di atas tetapi masih termasuk ke dalam kelompok Pura Kawitan adalah Pedharman yang dipandang sebagai tempat pemujaan tertinggi untuk memuja leluhur. Jika dipersamakan dengan pepohonan mungkin Pedharman ini termasuk bagian bongkol atau akar atau asal mula dari kelahiran para keturunannya. Sehingga jangan heran jika suatu waktu melakukan persembahyangan di Pedharman boleh jadi walaupun berasal dari leluhur yang satu/sama tetapi ternyata kita tidak saling mengenal. Berbeda halnya jika kita bersembahyang di lever Pura Kawitan yang tergolong sanggah sampai Pura Panti masih terasa lebih dekat “menyama” karena lebih mudah dicari hubungan dalam susunan keturunannya. Apalagi belakangan ini tengah menjadi fenomena bagi hampir setiap umat Hindu untuk mencari jejak silsilah atau asal muasal leluhurnya sampai keberadaannya seperti sekarang ini. Hal itu amat baik untuk menumbuhkembangkan ajaran Pitra Puja di mana kita diwajibkan untuk selalu berbhakti kepada para leluhur yang telah berkeadaan suci (Atma Sidha Dewata).

Read More......

Masiwa-Ratri Menebus Dosa

Masiwa-Ratri menebus dosa

Malam Siwa Ratri atau Siwa Ratri Kalpa sebenarnya berarti “malam penghormatan Siwa” bukan malam penebusan dosa. Munculnya pendapat bahwa malam Siwa Ratri itu adalah sebagai malam penubusan dosa lebih didasarkan atas pemahaman Siwa Ratri sebagai “satua”(naratif/cerita) bahwa seorang tokoh pendosa seperti Lubdhaka yang keseharian hidupnya selalu melakukan pembunuhan (Himsa Karma) hanya dengan “tidak tidur” pada saat Siwa beryoga di malam Siwa Ratri sudah cukup menghantarkan ke sorga.

Pemahaman begini teramat dangkal untuk dijadikan pedoman bahwa dengan “begadang” saat malam Siwa Ratri seseorang akan terbebaskan dari dosa. Pemahaman yang diharapkan lahir dari perayaan hari suci Siwa Ratri itu adalah tumbuhnya penghayatan Siwa Ratri sebagai “Sattwa” (hakikat/kebenaran) bahwa malam Siwa Ratri tidaklah sekedar cerita biasa melainkan sebuah konsep “penyadaran” bagi umat yang senantiasa dalam keadaan “tidur”

Di dalam ajaran Siwaisme dinyatakan bahwa Dewa Siwa adalah Dewa tertinggi pengendali perputaran jagat raya. Menurut paham Siwais, semua umat manusia harus terus bergerak dan berputar mengikuti irama putaran bhuwana. Orang yang tidak turut larut dalam “gerakan Siwa” alias “diam” inilah yang dipandang sebagai “tidur” (aturu) karena dibelenggu oleh “raga” dan “indria” sehingga selalu “lali-lipya” (tak berkesadaran). Dan orang yang “tidak sadar” ini kemudian disebut “papa”. Untuk melenyapkan keadaan “papa” ini ajaran Siwa Ratri memberi tuntunan dengan “jagra” (tan aturu, tan mrema, atanghi atau atutur). Jadi hakikat Siwa Ratri adalah membangkitkan/menyadarkan umat manusia (Hindu) yang terlelap dalam “tidur” (Siwaratri wijneya sarwapapa paharini).

Apakah dosa bisa ditebus/dihapus? Konsep sradha Karmapala tidak mengajarkan tentang hal itu. Sesuai konsepnya, “karmaphala ngaran ika phalaning gawe hala hayu” (karmaphala itu adalah akibat dari sebab baik buruknya suatu perbuatan). Hukum karmaphala ini bersifat “rta” (hukum Tuhan) yang berjalan absolut tak terhalangi oleh apapun juga. Artinya setiap gerak/perbuatan manusia mutlak mendatangkan/menghasilkan buah – baik ataupun buruk. Yang bisa dilakukan sebagaimana disuratkan di dalam kitab Sarasamuscaya 2 hanyalah “melebur” perbuatan buruk (asubhakarma) kedalam perbuatan baik (subhakarma). Seperti halnya air garam di dalam gelas, semakin banyak kandungan garamnya maka akan kental rasa asinnya, tetapi bila kandungan airnya diperbanyak terus maka rasa asin makin berkurang sampai terasa tawar, meski kandungan garam tetap ada.

Begitulah perumpamaannya, air sebagai subhakarma dan garam/asin sebagai asubhakarma. Tinggal tugas kita, unsur mana yang ingin diperbanyak. Tak kecuali melakukan doa, sembahyang dan beryajna merupakan usaha “melebur” yang berphahala (bukan sia-sia) agar asubhakarma yang telah diperbuat dapat “larut” dalam dominasi subhakarma. Sehingga prosentase karmanya mayoritas subhakarma yang berphahala bagi kita mencapai alam-Nya.

Read More......

Dewi Saraswati

Dewi Saraswati

Kata Saraswati berasal dari urat kata “Sr” yang artinya sesuatu yang mengalir, percakapan atau kata-kata. Di dalam kitab suci Weda, Saraswati dikenal pula sebagai nama sungai (Dewi Sungai) yang dipuja dengan permohonan agar mendapat kekuatan hidup atau kesehatan. Saraswati juga disebut sebagai Dewi Ucap (pengetahuan dan kebijaksanaan). Sebagai wach atau Dewi Kata-kata Saraswati ditemui di dalam kitab-kitab Brahmana, Ramayana dan Mahabrata. Lain lagi di dalam Purana, Dewi Saraswati juga ditempatkan sebagai “sakti” Dewa Brahma. Nama-nama lain yang diperuntukkan bagi Dewi Saraswati ini adalah; Sarada, sebagai Dewi yang memberikan sari-sari kehidupan; Wangiswari, sebagai Dewi kata-kata dan kebijaksanaan; Bhatari, sebagai Dewi kebudayaan; Brami, sebagai sakti Dewa Brahma.

Meski dikenal dengan banyak nama, rupanya untuk masyarakat kebanyakan, Dewi Saraswati lebih dipandang sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan. Bahkan seorang pujangga Jawa Kuno, Mpu Tanakung dalam karyanya Wrettasancaya menjadikan Saraswati sebagai Istadewatanya sebagai tersurat :

Sanghyang Wangiswari ndah lihati satata bhaktingku I jong Dhattredewi/ pinrih ring citta munggwing sarasija ri dalem twas lanenastawangku/ nitya weha ng waranugraha kaluputa ring duhka sangsara wighna/ lawan tastu wruheng sastra sakala gunaning janma tapwan haneweh//

Artinya :
Sang Hyang Saraswati (Wagiswari), lihatlah senantiasa bhaktiku yang tak hentinya kepadaMu, O Dewi Pencipta Alam/hamba mengaharapkanMu bersemayam dalam padma hatiku, yang senantiasa hamba puja/agar senantiasa menganugrahi kemuliaan, sehingga luput dari duka nestapa dan halangan/dan semoga hamba dapat memahami sastra, serta memiliki keterampilan sebagai manusia, dan tidak ditimpa kesulitan//

Demikianlah Dewi Saraswati ternyata telah menjadi ista dewata dari para pemujanya. Dan khusus bagi kalangan terpelajar atau siapapun dari umat Hindu yang memuja Dewi Saraswati pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung tentunya patut menyadari bahwa betapa pun yang namanya hari raya hanyalah sebagai media ritual yang senantiasa mengingatkan kita bahwa pada akhirnya yang membuat kita pandai, bijaksana, pintar berkata-kata, memperoleh kerahayuan hidup adalah diri kita sendiri atas waranugraha-Nya. Karenanya, memperingati hari piodalan Saraswati tidak cukup dengan “ngotonin buku” tetapi lebih jauh dari itu selalu berupaya dengan penuh kesadaran meningkatkan kualitas sradha dan bhakti kita tidak saja kepada Hyang Widhi tetapi juga kepada sesama insani.

Read More......

Brata Nyepi Perlu Kesadaran Umat

Sesungguhnya hakikat agama adalah “kesadaran” dimana umat secara sadar mematuhi ajaranNya dan menghindari laranganNya. Kesadaran itu tidak dengan serta muncul melainkan memerlukan disiplin diri untuk atas dasar sradha berbhakti kepada-Nya. Karena itu agama seyognyanya diletakkan sebagai “pondamen hidup” bukan “suplemen kehidupan”. Untuk itu pertama-tama, agama sepatutnya dipandang sebagai “kebutuhan” bukan sekedar “kewajiban” apalagi sebagai suatu “keharusan”

Dengan menempatkan dan memandangnya sebagai “kebutuhan” maka beragama atau menjalankan kehidupan beragama akan melahirkan sikap religius yang alamiah bahkan otomatis sifatnya. Kalau manuasia lapar membutuhkan makan , jika haus membutuhkan minum, bila mengantuk membutuhkan tidur, maka begitu pula halnya dengan “kebutuhan agama” akan selalu melahirkan sikap “membutuhkan-Nya” kapan saja, di manapun dan bagaimanapun keadaannya.

Begitupun dengan pelaksanaan Catur Brata Penyepian, sebagai suatu bentuk ajaran pengendalian diri, yang dapat dilakukan umat adalah berusaha secara sadar untuk sebatas kemampuan mencoba dan atau melatih diri untuk mematuhinya. Pasti ada yang bisa dan tidak sedikit pula yang tidak mampu melaksanakannya. Tidak perlu dipaksa atau memaksakan diri. Kuncinya adalah memebangkitkan kesadaran diri untuk “mebrata”. Amati Karya misalnya sebenarnya yang dimaksud lebih tertuju pada “kegiatan tanpa aktivitas rutin” bukan semua gerak/langkah/kerja dilarang. Mandi, makan, minum untuk yang tidak melaksanakan “upawasa” tentu boleh-boleh saja. Yang tidak di benarkan adalah melaksanakan pekerjaan/profesi keseharian baik di dalam maupun di luar rumah. Misalnya pegawai negeri, tentara, polisi, sopir, petani, tidak pergi meninggalkan rumah ke tempat kerjanya masing-masing.

Lagi pula sebagaimana sudah diketahui bersama, ajaran Hindu termasuk yang berhubungan dengan “pebrataan” meski ada ketentuan yang mengatur, tetap dapat dilaksanakan dengan fleksibel, tanpa paksaan dan menuntut kesadaran. Mungkin karena begitu luwesnya pelaksanaan ajaran Hindu menyebabkan sebagian umat mengganggapnya sebagai sesuatu yang boleh-boleh saja. Efeknya justru melahirkan sikap yang cuek terhadap ajaran, masa bodo dengan pedoman, dan kurang menghargai agama sendiri. Adanya permainan ceki, tajen, ramai-ramai keluar sumah, saat Nyepi adalah contoh kongkret ketidak sadaran umat terhadap hakikat Nyepi yang adalah merupakan media ritual untuk meningkatkan moral dan spiritual sebagai umat manusia yang beragama.

Yang pasti, masalah pelaksanaan Brata Penyepian bukan terletak pada adanya ketentuan/aturan detail yang memuat segudang larangan melainkan lebih menekankan pada aspek “kesadaran Sang Diri” untuk memperoleh “pencerahan” dari-Nya.

Read More......

Upacara Potong Gigi

Upacara potong gigi yang tergolong Manusa Yajna merupakan tahapan ritual yang patut dilakukan meskipun tidak bersifat mutlak. Sebab sebagian umat Hindu di tempat lain tidak melaksanakan upacara potong gigi. Tetapi bagi umat Hindu di Bali pada umumnya menempatkan upacara potong gigi ini sebagai bagian yang tidak boleh diabaikan sebagai wujud pelaksanaan kewajiban meyajna. Terutama kewajiban orang tua terhadap anaknya untuk menenukan hakikatnya manusia yang sejati.

Karena merupakan kewajiban orangtua, maka sudah tentu pelaksanaan upacara potong gigi itu dilakukan oleh dan dirumah orang tua (asal). Sebab dalam pelaksanaanya akan ada kegiatan ritual di Sanggah/Marajan seperti mohon penugrahan kepada Hyang Widhi,
Menyembah ibu dan bapak, nunas tirtha, dan lain-lain. Khusus untuk nunas tirtha bagi wanita yang kawin “merabian” lantaran wangsanya mengikuti sang suami dengan status “dadi Jero” maka biasanya tirtha yang ditunas dimohonkan di Merajan sang suami.

Soal keinginan untuk melaksanakan upacara potong gigi di Geria pihak suami sebenarnya bukan tidak boleh. Apalagi yang namanya Sang Medwijati tentu punya wewenang penuh untuk “muput” segala upacara Panca Yajna. Tetapi karena persoalan potong gigi masih menjadi bagian dari kewajiban orang tua maka mau tidak mau akan sangat baik dan sekaligus merupakan sikap bhakti anak kepada orang tua bila mengikuti dresta yang sudah berjalan. Lain halnya dengan kematian, orang tua sendiri tidak tahu sekalipun upacara kematian tetap bisa dilaksanakan. Sebab soal kematian beban kewajiban sudah beralih pada pihak keluarga Purusa. Sedang upacara potong gigi masih menjadi “tanggungan” kewajiban orang tua. Dan kewajiban itu apabila belum/tidak dilaksanakan masih dianggap sebagai “hutang”.

Mengenai pengaruh niskala memang susah untuk dikatakan. Pengaruh demikian hanya bisa dirasakan, setidaknya muncul perasaan seolah-olah Anda diabaikan. Jika perasaan itu berkepanjangan akan merusak pikiran dan jika pikiran seorang ibu sudah rusak (bingung) tentu akan berpengaruh buruk bagi anak.

Read More......

Keberuntungan yang Paling Menguntungkan

Oleh : Gede Prama

“ kalau keberuntungan tidak lagi berlawankan kerugian, keberuntungan bias diraih dengan mudah hanya dengan mengatakan, ya, pada kehidupan. Bukankah ini bentuk keberuntungan abadi yang paling menguntungkan “

Mengelola keberuntungan, itulah sebagian gambar-gambar kehidupan yang banyak dilukis dalam kekinian. Larisnya buku, majalah, acara televisi sekaligus radio yang membahas feng shui, tidak kecilnya honor konsultan feng shui, dan bahkan ada yang mengatakan kalau sebagian di antara mereka yang memiliki daftar panjang antrean klien, merebaknya demikian banyak sekolah bisnis dari Amerika, Eropa sampai dengan Asia yang berujung pada satu hal: membuat perusahan beruntung. Di Prancis (sebuah Negara di mana sejumblah pengetahuan berbasiskan rasionalitas dari dulu banyak lahir) bahkan pernah ditemukan data yang mengjutkan: peramal keberuntungan di pinggir jalan termasuk dalam kelompok penyetor pajak yang menentukan.

Digabung menjadi satu, keberuntungan adalah salah satu cabang kehidupan yang menguras tidak sedikit energi hidup. Ini sama dengan cerita Nasruddin yang juga termasuk salah seorang dari kelompok pemulung keberuntungan. Di suatu waktu, Nasruddin berjalan-jalan bersama istrinya. Sebagaimana biasa, begitu melihat wanita cantik, ia pun melirik. Sadar akan hal ini, istri Nasruddin protes, “itulah kerugian laki-laki, selalu merasa wanita lain lebih cantik dan istrinya.” Merasa dirinya terpojok, Nasruddin tidak mau kalah , “malah terbalik, di situlah latak keberuntungan laki-laki. Selalu sadar akan perlunya mengagumi keindahan. Bukankah keindahan adalah bahasa Tuhan?”

Entahlah, yang jelas demikianlah manusia di zaman ini dipermainkan oleh pikirannya. Cirinya sederhana, selalu mencari-cari alasan agar keinginan, hawa nafsu, dan perbuatan memperoleh kebenaran. Dan lebih hebat lagi, tatkala alasan-alasan ini ketemu, ada yang meng-claim diri obyektif, alias bebas dari kepentingan serta vasted interest, hasilnya mudah di tebak: keberuntungan bersifat datang dan pergi. Apa pun (termasuk keberuntungan) hasil produksi pikiran senantiasa bersifat datang dan pergi. Kebahagiaan di usir kesedihan, kesedihan lalu di usir kebahagiaan. Keberuntunagn digantikan kesialan, kesialan lalu diganti keberuntungan. Kekayaan ditakut-takuti kemiskinan, dan kemiskinan pun bisa diusir kekayaan.

Ia semacam perlombaan hidup yang tidak mengenal kata henti. Berganti, berganti dan terus berganti. Tidak sedikit yang sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Kemudian dikunjungi stress dan sakit-sakitan. Seorang sahabat bahkan ada yang berbisik , “dimana-mana occupancy rate (tingkat hunian) rumah sakit gila melebihi seratus persen.” Sadar akan resiko hidup yang berkejaran seperti ini, bisa memaklumi kalau ada pencinta kejernihan yang menentukan mantra sederhana: “ini pun akan berlalu.” Apa dan siapa saja yang datang, selalu disambut dengan mulut yang bergumam dengan matra ini pun akan berlalu.

Indahnya, siapa saja yang rajin bergumam dalam tentang mantra ini pun akan berlalu, mudah sekali memasuki wilayah-wilayah bushido. Seperti bunga di taman. Ia tumbuh, mekar, layu, gugur ke atas tanah dan tumbuh lagi. Dalam cahaya-cahaya bushido seperti ini, tentu mudah dipahami kalau Steve Nobel dalam Freeing the Spirit pernah mengutip sebagian Tao Te Ching: “When opposites no longer damage one another, both are benefited through the attainment of Tao”. Tatkala semua dualitas (benar-salah, baik-buruk, sukses-gagal) berhenti tarik-menarik, keduanya bermanfaat dalam mencapai kebenaran.

Entah ada sahabat yang menelusuri jalan-jalan bushido seperti ini atau tidak. Yang jelas, banyak pejalan kaki di jalan-jalan ini sering bertutur kalau kemanapun mata menoleh yang tersisa hanya satu: keindahan. Bukan karena sedang berlibur ke Bali atau ke Swiss. Bukan juga karena baru saja memenangkan lotere miliaran rupiah. Bukan juga karena baru mendapatkan pacar baru. Melainkan sudah berpelukan rapi dengan hidup dan kehidupan. Tidak ada penolakan atau pemaksaan disana. Tidak ada dorongan-dorongan disana. Yang tersisa hanya satu: seni berkata, “ya” pada kehidupan. Ini mirip dengan apa yang ditulis Pema Chodron dalam The Wisdom of No Escape: “Hell is just resintance to life.” Neraka hanya muncul ketika terjadi penolakan terhadap kehidupan. Diluar penolakan pada hidup, neraka menghilang entah kemana.

Bedanya dengan pengertian banyak orang yang mempertentangkan neraka dengan surga, dalam seni hidup yang hanya mengenal kata, ya, tidak ada lagi hal yang layak dipertentangkan atau diperlawankan. Yang ada hanya mulut yang bergumam dalam, “ini pun akan berlalu!” ada yang menyebut hidup seperti ini dengan pasrah tidak bergairah. Ada juga yang menyebutnya sebagai awal bersinarnya cahaya-cahaya kesucian di sana sini. Entahlah, yang jelas ada yang bertanya, “kalau keberuntungan tidak lagi berlawankan kerugian, keberuntungan bisa diraih dengan mudah hanya dengan mengatakan, “ya” pada kehidupan. Bukankah ini bentuk keberuntungan abadi yang paling menguntungkan?”

Tentu saja kembali siapa anda. Bila anda seorang accountant yang lagi bersemangat mencari uang, tentu jawabannya lebih dekat ke negative. Bila anda adalah seorang pencari kedamaian, bisa jadi pisitif jawabannya. Kalau anda seorang spiritual traveller yang sudah berjalan jauh, anda tidak memerlukan baik jawaban maupun pertanyaan. Bahkan judul hening pun tidak perlu lagi.

Read More......

Kewajiban Orang Tua

Kewajiban Orang Tua
Keinginan untuk menjadikan keluarga Hindu yang Sradha dan bhakti memang mulia. Tetapi keinginan demikian meski terdengar mudah namun untuk mewujud-nyatakannya sungguh teramat sulit. Lebih-lebih di saat dunia sekarang ini yang sudah larut dalam era Kaliyuga, dimana hampir sebagian besar penghuni mayapada ini terbawa oleh arus Asubhakarma atau Adharma. Maka pertama-tama diperlukan adanya “kesadaran diri” untuk dalam situasi bagaimanapun tetap berpegang pada ajaran dharma. Ibarat sebongkah batu besar yang kokoh, walau berada di arus sungai yang deras keadaannya tidak akan pernah berubah. Atau bagaikan seekor singa yang ditimpa kelaparan, meski tidak ada makanan, singa tidak akan mau mengganti makannya dengan rumput muda dan hijau sekalipun. Kesadaran diri yang kuat, kepercayaan dan keyakinan yang kokoh dan sradha serta bakti yang mantap itulah modal untuk membina dan atau membentuk keluarga Hindu yang dharma (Kuladharma)

Untuk itu, sebagaimana dinyatakan di atas, pemahaman tentang kewajiban seseorang selaku orang tua (bapak-ibu perlu ditanam tumbuhkan untuk kemudian dilaksanakan sebagaimana patutnya. Adapun perihal kewajiban orangtua menurut Hindu antara lain diungkap dalam Nitisastra VIII.3 yang disebut Panca Vida yaiutu:

Kesatu, “Sang Ametwaken”, artinya melahirkan anak sesuai kodrat untuk meneruskan generasi umat manusia.

Kedua, “ Sang Nitya Maweh Bhinojana”, maksudnya setelah anak-anak di lahirkan orang tua wajib memeliharanya dengan memberikan makan dan minum, tentunya sesuai dengan kebutuhan gizi anak.

Ketiga, “Sang Mangu Padyaya”, artinya setelah anak diberikan cukup makan dan minum yang hakikatnya menumbuhkembangkan fisiknya, maka kemampuan akal, nalar atau otaknya perlu ditumbuh-cerdaskan yaitu dengan memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan sampai batas kemampuan orangtua menyekolahkannya.

Keempat, “Sang anyangaskara”, merupakan kewajiban yang berhubungan dengan pemenuhan nonfisik anak yaitu pembinaan mental-spritualnya dengan cara mengkodisikan anak untuk selalu berada dalam nuansa hidup yang religius. Misalnya sesuai dengan tahapan perkembangan anak, selalu dibuatkan upacara ritual atas diri anak seperti “Nelubulanin”, “Ngotonin”, “Menek Kelih”, “Mepades”, dan seterusnya. Selain itu sejak dini sang anak dibuat untuk senantiasa berpijak pada ajaran agama, tentunya sebelumnya kepada sang anak diberikan “Piteket” dan “Pitutur Rahayu” yang bisa dijadikan sebagai “sesuluh” dalm hidupnya.

Dan yang Kelia, “Sang Matulung Urip Rikalaning Baya”, artinya sebagai orang tua harus siap memberikan jaminan keamanan kepada sang anak sehingga si anak selalu merasa tentram, tenang dan damai yang merupakan modal bagi pengembangan jiwa dan mental anak yang positif dan konstruktif.

Demikian dengan ringkas dapat disampaikan mengenai kewajiban orangtua kepada anak-anaknya yang tentunya memerlukan kesadaran tinggi untuk melaksanakannya.

Read More......

Makna Tumpek Wayang

Tumpek Wayang
Dalam rerainan umat Hindu, khususnya di Bali dikenal ada enam macam Tumpek yang jatuhnya selalu pada Sapta Wara dan Panca Wara yang sama yaitu Saniscara (sabtu) Kliwon, sedang wukunya berbeda-beda. Kalau jatuh pada wuku Landep disebut Tumpek Landep (rerainan untuk benda-benda lancip yang dibuat dari logam) seterusnya disebut menurut wukunya : Tumpek Wariga (rerainan untuk tanem-tuwuh), Tumpek Kuningan (rerainan Kuningan), Tumpek Klurut (rerainan untuk kesenian), Tumpek Uye (rerainan untuk sarwa unbuan) dan Tumpek Wayang yang tidak lain merupakan rerainan untuk memohon kerahayuan kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya segala dewanya segala jenis tetabuhan (alat musik tradisional) dan wayang kulit, yaitu Dewa Iswara.

Yang di mohonkan kerahayuan pada rerainan Tumpek itu adalah semua jenis “reringgitan” seperti wayang termasuk juga arca, pratima serta jenis tetabuhan yang menyertai seperti gong, gender, di tambah dengan gambang, genta, gendongan. Kesemua itu dilakukan sebagai sibol bahwa umat manusia sebenarnya tidak ubahnya seperti wayang dengan berbagai tokoh serta dinamika peran dalam layar pementasan atau panggung sandiwara. Dengan diiringi berbagai jenis tetabuhan manusia melakoni berbagai peran untuk akhir dari segala tujuan berikhtiar mencapai-nya, yang tidak lain dari Dalang dari segala sang Dalang. Karena itu melaksanakan rerainan Tumpek Wayang sesungguhnya bermakna mengingatkan kembali untuk selanjutnya dengan kesadaran tinggi manusia memahami hakikat Sang Diri.

Memang rerainan Tumpek Wayang ini diumumkan terbatas dilakukan di kalangan dalang atau pemilik wayang. Meski begitu melalui reraianan Tumpek Wayang ini umat selalu diajak bercermin pada wayang dengan segala tokoh dan peranannya. Adakah kita seperti Darmawangsa, Arjuna, Bima, atau masih seperti Sekuni, Duryadana. Bercermin pada wayang itu penting untuk memperbaiki citra diri atau penyempurnaan karma masing-masing.

Mengenai arti filosofi dari setiap perangkat dalam pementasan wayang, antara lain dapat disebutkan :

1. Kelir (layar) Wayang : merupakan simbol ruang, alam permukaan bumi. Juga dapat dikatakan sebagai lambang badan jasmani yang akan menampakkan bayangan hati dan menggambarkan gejolak Tri Guna.

2. Lampu Belencong : melambangkan matahari yaitu sinar hidup yang terpancar dari Hyang Widhi. Juga merupakan sinarnya Jiwatma yang memberikan sinar kepada Tri Guna.

3. Dalang : simbol dari Hyang Widhi yang berkuasa atas segala tokoh dan peran yang dimainkan manusia. Dalang juga merupakan jiwatma yang memberikan sinar/kekuatan melalui suksma sarira sehingga sthula sarira menjadi hidup dan dinamis.

4. Wayang : tidak lain merupakan lambang makhluk-makhluk ciptaannya: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, masing-masing lahir hidup-mati sesuai kehedak-Nya. Gedog (tempat wayang) sendiri merupakan simbol Tri Kona (lahir hidup-mati)

5.gender : merupakan irama dinamis dari perjalanan zaman. Juga merupakan suara suksma tentang kehidupan kematian.

Read More......

Lahir di Tumpek Wayang

Lahir di Tumpek Wayang
Tumpek Wayang berasal dari dua kata yaitu “tumpek” dan “Wayang”. Seperti sudah di ketahui , istilah Tumpek lahir saat bertemunya hitungan terakhir dari dua wewaran yaitu “Saniscara” (Akhir Sapta Wara) dan “Kliwon” (akhir dari Panca Wara). Setiap pertemuan saniscara dan Kliwon disebutlah “Tumpek” (“tu” berarti metu atau lahir dan “Pek” berate putus/berakhir). Sedangkan kata “wayang” selain merupakan bagian dari “wuku” juga mengandung arti sebagai “bayang” atau “bayang-bayang”.

Sementara itu kalau dikaji secara filosofis-ritual pelaksanaan upacara “Tumpek Wayang” itu ditujukan kehadapan Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai Dewa Iswara dengan permohonan berupa keselamatan dan atau kerahayuan umat. Dalam prakteknya, upacara Tumpek Wayang ini diperuntukkan bagi semua jenis “reringgitan” seperti wayang, termasuk juga arca, tetabuhan (gong, gender,gambang, genta gendongan). Hakekat lahir-batin yang ingin dicapai dari rerainan Tumpek Wayang ini adalah ; secara lahir merupakan bentuk permohonan bagi meraka yang menjalani profesi pewayangan sehingga dapat menjadi Dalang Metaksu yang mampu menjembatani alam wayang yang abstrak kedalam alam nyata melalui pementasan tokoh-tokoh pewayangan yang dipertontonkan untuk diambil nilai-nilai tuntunannya.

Sedangkan secara batin, melalui perayaan Tumpek Wayang kita akan selalu disadarkan bahwa hidup ini sebenarnya merupakan poanggung wayang dimana keberadaan kita, peranan yang didapat dan dilakukan dan kemana akhirnya tujuan kita sudah diatur dan ditentukan oleh Sang Dalang Agung yaitu Hyang Widhi. Karena itu kita diingatkan untuk senantiasa mendekatkan diri pada Hyang Widhi agar memperoleh jagadhita dan moksa; kesejahtraan lahir dan kebahagian batin.

Kemudian mengenai orang yang lahir di Tumpek Wayang lalu minta tebusan wayang (ngupah wayang) kiranya dapat dikaitkan dengan mitilogi Dewa Kala yang secara singkat dapat diceritakan: Ketika Dewa Kala menanyakan perihal makanan yang bisa disantap, Dewa Siwa ayahandanya menunjuk orang yang lahir di wuku wayang dan orang yang berjalan tepat ditengah hari. Kebetulan putra Dewa Siwa yaitu Rare Kumara lahir tepat pada waktu wuku wayang, maka Dewa Kala hendak memakan saudaranya itu. Namun tidak berhasil, sampai pada suatu ketika Rare Kumara tiba disebuah pementasan wayang lalu berbunyi di bungbung gender. Di tempat itu Dewa Kala tidak menjumpai Rare Kumara sementara itu ia sendiri perlu makan. Akhirnya Dewa Kala menyantap segala sesajen yang tersedia untuk pertunjukan wayang itu. Lalu oleh Ki Dalang, Dewa Kala dinasehati agar tidak meneruskan niatnya memakan Rare Kumara, sebab Dewa Kala telah mendapatkan pengganti berupa banten wayang.

Dari kisah ini kemudian lahir kepercayaan untuk “ngupah wayang” bagi anak-anak yang dilahirkan, tepat pada saat jatuhnya Tumpek Wayang. Tujuan utamanya tidak lain untuk memohon kerahayuan, sekaligus agar dianugrahi kesejahtraan dan kebahagian lahir dan batin.

Read More......

Keberuntungan melalui kebaikan

Oleh : Gede Prama

“ Dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan yang bergerak seimbang menciptakan keberuntungan, ia sering di respons dengan anggukan kepala oleh kehidupan “

Menciptakan dan mengelola keberuntungan adalah tema hidup begitu ganyak orang. Dari bersekolah belasan tahun, bekerja puluhan tahun, berdoa seumur hidup, sampai dengan menata rumah sesuai dengan dalil-dalil feng shui. Semuanya bermuara pada yang satu: keberuntungan hidup! Dan ternyata, kendati waktu yang dialokasikan sangat panjang, materi yang dihabiskan tidak sedikit, bahkan doa pun sudah diucapkan dalam jumblah tidak terhingga, namun yang bisa meraih keberuntungan ternyata jumblahnya amat terbatas.

Cobaan datang ke pinggir jalan yang ramai, Tanya orang-orang yang lewat tentang berapa puas mereka tentang hidupnya, perhatikan ekspresi wajahnya. Hitung berapa kali meraka tersenyum penuh rasa syukur setiap harinya. Dan seorang sahabat yang pernah melakukan semua ini secara serius, berbisik pelan, “Kebanyakan orang merasa kurang beruntung!” Dan pengakuan seperti ini tidak saja datang dari pengemis yang berpenampilan kumuh, tetapi juga dari manusia-manusia yang berdasi sekaligus mengendarai mobil mentereng.

Bagi pemula-pemula kehidupan yang masih memendam banyak keheranan akan kekayaan materi, tentu ada yang tidak mendapat dan lalu bertanya, “berdasi dan bermobil mentereng namun merasa kurang beruntung? Demikian juga yang merasa hidup senantiasa di bawah lebih heran lagi, sesudah demikian kaya masih juga menyebut diri kurang beruntung?” Ah, begitulah manusia, belum percaya kalau belum mengalaminya sendiri.

Salah seorang pejalan kaki kehidupan yang berjalan cukup jauh tidak saja didunia materi, namun juga di dunia non materi bernama Lillian Too. Menapak karir di dunia bisnis yang bergemilang uang sampai ke tingkat yang amat tinggi. Namun setelah berjalan demikian jauh, sampai dalam urgensi untuk mengembangkan inner feng shui, yakni keberuntungan di dalam diri.

Belum apa-apa Lillian Too sudah memulai dengan kalimat indah di bagian paling awal dari bukunya: “ Feng shui is an art and science that teaches us how to live in harmony with the earth.” Keberuntungan adalah seni sekaligus ilmu hidup penuh harmony bersama Ibu pertiwi. Terdengar indah, karena belum apa-apa sudah mulai dengan kata hidup penuh harmoni. Tentu saja sangat berbeda dengan kosep keberuntungan Barat yang bermula dari persaingan, perbaikan, dan semua hal yang didorong untuk senantiasa serba ‘lebih’.

Tidak mentang-mentang lahir dan tumbuh di Timur kemudian menyebut semua yang datang dari barat sebagai tidak tepat, sekali lagi bukan. Cumin kehidupan Lilian Too seperti sedang terbentur pelan, “Setelah sejumblah lautan materi didalui, setelah sejumblah gelimang uang dilampui, ada yang lebih berguna semuanya: ‘ hidup penuh harmoni’. “Ah, tidak semua orang bisa mengerti penjelasan seperti ini. Seperti anak kecil yang diberitahu ‘jangan memegang api,’tapi toh, memegang juga.

Dalam terang cahaya seperti ini, tidak semua orang cocok dengan keharmonian, dengan keselarasan. Namun, tatkala batas-batas keheranan akan materi mulai melampui, embusan-embusan angin harmoni terasa demikian sejuknya. Bill Gates adalah contoh lain. Setelah berada duduk lama dalam tangga salah satu manusia terkaya di dunia karena membangun dan memiliki Microssoft, kemudian ia harus back to basic berupa menyalurkan beasiswa, memikirkan anak terlantar. Bisa saja ada orang menyebutnya upaya menutupi wajah kapitalitas yang buruk, namun penampilan Bill Gates yang tidak pernah berdasi, mobil dan pesawat yang ia tumpangi bisa-biasa saja, serta penampilan luar lainnya yang serba sederhana seperti bertutur hal yang sama: harmoni. Seorang sahabat yang pernah menjadi Country manager Microsoft Indonesia bahkan teramat kagum dengan kesederhanaan hidup seorang Bill Gates. Bob Sadino adalah seorang sahabat sekaligus guru dekat. Dari zaman yang teramat dulu, penampilan luarnya tidak berubah: celana pendek dan baju yang lengannya dipotong tanpa di jahit. Demikian sederhananya, sampai-sampai mengirim dan membalas SMS pun tidak bisa.

Dengan tidak bermaksud menyebut kehidupan lain jelek apalagi buruk, ternyata kehidupan yang dibimbing kesederhanaan rupanya indah sekaligus menyejukkan. Dan apa yang disebut Lillian Too dengan Inner Feng Shui terkait erat dengan mankind luck. Keberuntungan yang tercipta melalui tiga mesin pencipta besar: pikiran, kata-kata, dan perbuatan. Dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan yang bergerak seimbang menciptakan keberuntungan, ia sering direspons dengan anggukan kepala oleh kehidupan. Dan karena keberuntungan terkait erat dengan kualitas interaksi kita bersama orang lain, tentu mudah dipahami kalau manusia-manusia yang pikirannya baik, perbuatannya baik mudah sekali mendapat keberuntungan.

Bukan karena selalu bergelimbang uang, bukan karena selalu memegang piala, bukan karena selalu dupuja, sekali lagi bukan. Namun dalam setiap hidup yang pikiran, kata-kata, dan tindakan baik, mudah sekali muncul keharmonian yang amat menyejukkan. Coba perhatikan salah satu ringkasan Lillian Too tentang Inner feng shui: “Lets look at the state of your luck. You can make your self feel lucky by thinking of all the good things that happen in your life.” Perhatikan hidup anda. Dan anda bisa membuat hidup penuh keberuntungan hanya dengan melihat segi-segi baik dari apa-apa yang telah terjadi. Dalam terang seperti ini, adakah keberuntungan yang lebih mengagumkan dari kehidupan yang serba baik?

Read More......

Rumah Kehidupan Penuh Keberuntungan


Oleh : Gede Prama

“ Bedanya dengan rumah-rumah fisik manusia yang mengenal pagar-pagar dan tembok tinggi. Rumah-rumah kehidupan semuanya tanpa pagar. Semuanya menyatu jadi satu dalam serangkaian jejaring yang saling mempengaruhi “

Pelabuhan terakhir, inilah sebutan yang kerap di berikan untuk rumah. Serupa dengan kapal laut, di pelabuhan terakhir semua yang diteliti dan apabila ada kerusakan diperbaiki. Badan kapal yang bocor di tambal, cat-cat yang rusak mengelupas dicat ulang, mesin yang kedengaran kasar dihaluskan, dan seterusnya. Hal yang sama terjadi dalam kehidupan manusia. Orang tua pernah bergumam, “setinggi-tinggi bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga.” Sejauh-jauhnya manusia pergi atau merantau, akhirnya pulang kerumah juga.

Pandangan tentang rumah seperti ini membuat fungsi rumah demikian penting. Perhatikan wanita yang sudah lama meninggalkan rumah, sesampainya dirumah ia menumpahkan segudang cerita. Lihat pria yang pergi beberapa waktu jauh dari rumah. Begitu tiba dirumah ia juga memerlukan penyegaran-penyegaran ulang di rumah. Dengan demikian, bisa dimengerti kalau ada yang berpendapat jika rumah berfungsi seperti sabuk pengaman yang terakhir, sekaligus penentu wajah kehidupan.

Agak sulit membayangkan kehidupan pria maupun wanita yang tidak punya tempat untuk menumpahkan cerita dan melakukan penyegaran. Ia mirip dengang orang-orang yang hanya tinggal di hotel. Sehari, dua hari, tiga hari, masih terasa indahnya pelayanan dan kebersihan hotel. Lebih lama daripada itu, tidak sedikit yang merasa “dipenjara” jika tinggal terlalu lama di hotel. Ini semua menghadirkan sebuah kemendesakan baru dalam hidup: membangun dan menata rumah.

Ada beberapa pengertian sehubungan dengan rumah. Ada rumah fisik yang terbuat dari tembok, kayu, batu, dan lain-lain. Ada tubuh dimana jiwa sementara berteduh. Ada rumah persahabatan yang diisi kegiatan saling berbagi. Ada rumah pernikahan yang tidak saja dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan tetapi juga menjadi tempat saling melengkapi. Ada rumah keluarga tempat anak-anak bertumbuh. Ada rumah yang amat dirindukan jiwa sekaligus menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi banyak sekali jiwa manusia.

Ini bedanya dengan rumah-rumah fisik manusia di Desa dan di kota yang mengenal pagar-pagar dan tembok tinggi. Rumah-rumah kehidupan semuanya tanpa pagar. Semuanya menjadi satu kesatuan dalam jalinan jejaring yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Sebutlah tubuh yang sedang sakit, ia memberi pengaruh pada rumah persahabatan, rumah pernikahan, serta rumah keluarga. Demikian juga, kalau ada guncangan didalam rumah keluarga, rumah-rumah yang lain ikut terguncang.

Dalam ekologi rumah yang tanpa pagar ini, manusia memerlukan sejumblah kepekaan, terutama sebelum rumah-rumahnya berbagai persoalan dan guncangan. Entah adakah sahabat yang pernah belajar kecerdasan kosmik. Dalam kecerdasan kosmik ini, manusia mendidik diri senantiasa terhubung dengan ciptaan-ciptaan yang lain. Dengan pohon, batu, rumput, matahari, langit, bintang, bulan, binatang, dan tentu saja manusia. Dalam keterhubungan ini, ciptaan-ciptaan yang berlimpah ini sebenarnya memberikan tanda-tanda.

Boleh percaya boleh tidak, boleh menyebutnya sebagai takhayul atau menyebutnya dengan kepekaan. Taman di halaman rumah adalah cermin jujur tentang apa yang terjadi di sebuah rumah adalah cermin jujur tentang apa yang terjadi di sebuah rumah dalam kurun waktu lama. Binatang-binatang yang suka berkunjung ke rumah sedang memberikan feedback tentang sifat-sifat keseharian manusia yang tinggal disana. Tamu-tamu yang sering berkunjung juga serupa. Ia cermin terang benderang pemilik atau penunggu rumahnya. Demikian juga, dengan beberapa sering dan seberapa gembira burung-burung liar yang berkunjung rumah. Semuanya sedang memberitahu kualitas keterhubungan kita dalam ekologi rumah-rumah kehidupan. Dan kwalitas keterhubungan inilah yang juga menjadi faktor menentukan bagi kehidupan manusia kini.

Entah ada hubungan atau tidak, atau hubungannya alami atau dibuat-buat, dalam ekologi rumah kehidupan yang terhubung rapi, keberuntungan seperti datang dengan sendirinya.

Chao-Hsiu Chen dalam Bamboo Oracle pernah menulis: “Look at your own life and know that your roots, your trunk, your branches and your leaves will live as long as your character is noble. Therefore you can be lucky.” Perhatikan hidup anda sendiri yang seperti pohon dan ketahuilah bahwa akar anda, batang anda, dan dedaunan anda akan bertumbuh selama karakter anda mulia. Dan anda pun bisa hidup penuh keberuntungan. Ini memberikan pengertian sederhana, kacamata hidup yang penuh keberuntungan. Lebih mudah didapatkan oleh orang-orang yang hidup dalam kemuliaan. Perhatikan pendapat seseorang yang pernah hidup dalam kemuliaan: “We find good people good, bad people good, if we are good enough.” Kita menemukan orang baik terlihat baik, orang buruk juga terlihat baik kalau kita cukup baik. Bukankah ini serangkaian rumah keberuntungan?

Orang-orang yang hidup dalam kemuliaan, ada yang merindukannya di rumah. Di rumah keluarga, anak-anak kecil yang sudah agak lama ditinggal ibunya pergi untuk suatu urusan, akan berteriak girang ketika ibunya pulang, “mama cinta!” seorang bapak yang berulang tahun, mendapat surat ucapan ulang tahun dari putra-putrinya, “whoever you are, whatever you have done, I just have one thing to say: “we love you” di rumah persahabatan, di rumah pernikahan, di rumah jiwa ia juga merindukan. Ah, andaikan ada sahabat lain yang memiliki rumah kehidupan yang berindung ini. Bila pelabuhan terakhirnya seperti ini, bukankah lebih mudah melakukan perbaikan-perbaikan? Dalam ekologi rumah hidup seperti ini, bukankah semua arah adalah arah keberuntungan?

Read More......

Mempersembahkan Keindahan dan Wewangian ke Atas

Mempersembahkan Keindahan dan Wewangian ke Atas
Oleh : Gede Prama

“ setelah semua kesedihan dan kesakitan ini berlalu,
baru terasa kalau kesedihan juga hadiah kehidupan yang menawan “

Selamat datang di rumah intelektual yang ke-18, sebuah rumah keberuntungan. Di sebut rumah keberuntungan, karena ketika kebaikan, kebahagiaan, kedamaian, dan keheningan diselami dan diselami, tidak ada hal lain yang tersisa kecuali keberuntungan. Kemanapun mata melirik, kemanapun kaki melangkah, kemanapun tangan menunjuk, kemanapun leher menoleh yang ada hanya keberuntungan. Namun, ini semua tidak datang begitu saja. Ini adalah sebuah hasil dari perjalanan panjang yang melelahkan.

Bagaimana tidak melelahkan, tujuh belas rumah intelektual telah berlalu, ratusan buku telah lewat didepan mata, pujian sekaligus makian sudah sama tingginya, demikian juga suka sekaligus duka. Menyakitkan, karena tidak sedikit godaan dan cobaan yang telah dilewati. Sebagian orang malah bersimpah air mata. Cuman setelah semua kesedihan dan rasa sakit itu berlalu, baru terasa kalau semua itu adalah hadiah kehidupan yang sangat indah.

Di atas tangga-tangga kelelahan sekaligus kesedihan ini, rupanya kita manusia tidak mempunyai pilihan lain kecuali terus-menerus menapakinya. Terutama karena dalam menapakkan kaki inilah, kita mengalami pendewasaan jiwa.

Sebagai salah satu rangkaian perjalanan jiwa inilah, kemudian rumah intelektual yang ke-18 ini berada ditangan anda public pembaca. Arsitekturnya memang dibikin seperti rumah. Di awali dengan taman depan, lalu diikuti oleh beberapa ruangan (ruangan kebaikan, ruangan kebahagiaan, serta ruangan kedamaian dan keheningan). Setiap selesai memasuki sebuah ruangan, anda sejenak, secara sederhana, diajak melakukan meditasi. Sehingga dalam totalitas perjalanan, buku ini diharapkan menjadi rumah sumber inspirasi hidup yang memeberikan banyak keuntungan.

Di taman depan – sebagaimana rumah-rumah lain – memang terdapat rumput, pohon, ranting, bunga serta kolam. Rumput tidak hanya mewakili keteduhan dengan warna hijaunya.

Siapa pun yang suka memandang rumput dengan mata dan telinga kepekaan akan menemukan pelajaran hidup yang amat berguna “I exist as who I am, that’s enough” saya ada sebagaimana adanya, itu sudah cukup. Rumput, ya, tetap rumput, ia tidak pernah meminta dirinya menjadi bunga, misalnya. Damai, hening sepi sekaligus beruntung rasanya menatap wajah kehidupan yang di bimbing spirit-spirit hidup seperti rumput.

Selain rumput, pohon adalah wajah lain yang kerap hadir di setiap taman. Bagi sebagian manusia, pohon memang hanya pohon. Ia tidak berdaya apa-apa ketika dirobohkan dan diusik manusia. Namun dalam kehidupan pertapa, pohon adalah roh seorang pertapa. Tidak dibekali keserakahan pikiran untuk memilih ini dibandingkan itu, pohon hanya mengenal sebuah cara untuk tumbuh: iklas! Indahnya, tatkala seseorang berjalan dalam keiklasan, ketakutan, kekhawatiran, keserakahan, dan segala bentuk racun kehidupan lainnya bagaikan hilang entah kemana. Lagi-lagi yang tersisa dalam hal ini hanya satu: keberuntungan.

Ranting juga membawa pesan yang mengagumkan. Tidak ada ranting yang terlalu bodoh untuk saling memotong untuk bisa tumbuh. Setiap pertumbuhan atau perkembangan ranting jauh dari prinsip-prinsip kompetisi ala manusia modern yang didikte oleh semangat serba ingin lebih baik. Setiap pertumbuhan ranting juga menyisakan ruang bagi tumbuhnya ranting-ranting yang lain. Tatkala pertumbuhan kita juga menyisakan ruang bagi perkembangan pihak lain, ada yang tersisa: perjalanan mencari cahaya. Dalam keadaan demikian, keberuntungan hadir melalui hidup yang berjalan terang-benderang. Tidak ada lagi tidak ada lagi kegelapan-kegelapan hidup seperti marah, iri, dengki.

Bunga lebih mengagumkan lagi. Ia tidak hanya mewakili kehidupan yang mengalir penuh keiklasan (tumbuh, mekar, layu, jadi pupuk, dan tumbuh lagi), tetapi juga penerang kehidupan yang menawan. Andaikan ada sahabat yang tekun memperhatikan bunga. Ia pasti akan mendapati kenyataan bahwa kebanyakan bunga tumbuh mekar ke atas. Setelah mekar, bunga menghadiahkan dua hal sekaligus ke atas, yakni keindahan dan wewangian. Adakah keberuntungan hidup yang lebih menawan dibandingkan kehidupan yang mempersembahkan keindahan dan wewangian ke atas? Dengan demikian, bukankah kehidupan bagian sebuah kolam yang hanya memantulkan hal apa pun yang kita lakukan?

Selamat memasuki rumah keberuntungan. Mudah-mudahan semua menemui keberuntungan.

Read More......

Doa sehari-hari menurut Hindu

Doa sehari-hari menurut Hindu

Inilah doa sehari-hari. Lazimnya tertulah dihafalkan. Namun kalau panjang, apabila untuk di depan umum, mantra ini bisa ini dengan memegang buku. Mantra atau doa ini ejaannya sengaja di sesuaikan dengan bunyinya, untuk memudahkan bagi yang sulit mencerna bahasa sansekerta.

Doa menjelang tidur :
Om asato ma sat ganaya,
Tamaso ma jayatir ganaya,
Mrityor mamritam gamaya,

(Tuhan tuntunlah hamba dari jalan yang sesat menuju jalan yang benar, dari jalan yang gelap ke jalan terang, hindarkan hamba dari kematian menuju kehidupan abadi)

Doa bangun pagi :
Om, Jagraca prabhata kalasca nama swaha.
Om, Utedanim bhagawantah syamota
Prapitwa uta mandhye ahnam
Utodita maghawanta syuryasya wayam
Dewanam sumantau syama.

(Ya Tuhan hamba memujaMu kerena hamba telah bangun pagi dalam keadaan selamat. Tuhan Yang Maha Pemurah, jadikanlah hamba orang yang selalu bernasib baik pada hari ini, menjelang tengah hari dan seterusnya. Semoga para Dewa melindungi diri hamba.)

Doa membersihkan/mencuci muka :
Om Cam camani ya namah swaha.
Om wakra parisudaha ya namah swaha.

(Ya Tuhan, hamba memujaMu, semoga muka hamba menjadi bersih)

Doa menggosok gigi :
Om rahphat astra ya namah.
Om Sri Yogini Bhatari ya namah.

(Ya Tuhan sujud hamba kepada Dewi Sri, Bhatari Yogini, semoga bersihlah gigi hamba)

Doa berkumur :
Om Ang waktra parisudha ya namah swaha.

(Ya Tuhan, semoga bersihlah mulut hamba)

Doa membersihkan kaki :
Om Am khan kasodhaya iswara ya namah swaha.

(Ya Tuhan, semoga bersihlah kaki hamba)

Doa mandi :
Om Gangga amerta sarira sudhamam sawaha.
Om Sarira parisudhamam swaha.

(Ya Tuhan, engkau adalah sumber kehidupan abadi nan suci, semoga badan hamba bersih dan suci)

bisa juga dengan matra atau doa ini :
Om gangga ca yamune caiwa
Godawari saraswati
Narmade sindhu kaweri
Jale’smin sannidhim kuru

(Ya Tuhan, ijinkanlah hamba memanggil sungai suci Gangga, Yamuna, Godawari, Saraswati, Narmada, Sindhu dan Kaweri, semoga menganugrahkan kesucian kepada hamba)

Doa pada waktu mengenakan pakean :
Om tham Mahadewaya namah swaha,
Om busanam sarirabhyo parisudhaman swaha.

(Tuhan dalam perwujudanMu sebagai Tat Purusha, maka dewa yang Maha Agung, hamba sujud kepadaMu dalam menggunakan pakaian ini. Semoga pakaian hamba menjadi bersih dan suci.)
selesai berpakaian hendaknya melakukan Persembahyangan Trisandya.

Doa panganjali :
Diucapkan saat berjumpa dengan seseorang atau memulai suatu pembicaraan dalam sebuah pertemuan. Tangan dicakupkan seperti menyembah di angkat sejajar dada.

(Semoga selalu dalam keadaan selamat di lindungan Tuhan.)

Doa menghadapi makanan :
Om hiranyagarbha somawartatagre
Bhutasya jatah patireka asit
Sadha dhara pritiwim dyam utenam
Kasmai hawisa widhema

Om purnam madah purna midam
Purnat purnam udasyate
Purnasya purnam adaya
Purnam ewa wasisyate

(Ya Tuhan Yang Maha Pengasih. Engkau asal alam semesta dan satu-satunya kekuatan awal. Engkau yang memelihara semua mahluk, seluruh bumi dan langit. Hamba memuja Engkau. Ya Tuhan Yang Maha Sempurna dan membuat alam sempurna. Alam ini akan lenyap dalam kesempurnaanMu. Engkau maha kekal. Hamba mendapat makanan yang cukup berkat anugrahMu. Hamba menghaturkan terima kasih.)

Doa di atas baik untuk makan bersama, misalnya, pesta atau istirahat makan dalam suatu pertemuan. Jika sendirian bisa mengucapkan doa pendek ini yang di ambil dari kitab Yayurweda :

Om annapate annasya
No dehyanmiwasya susminah
Pra-pra dataram taris urjan
No dhehi dwipade catuspade

(Ya Tuhan, engkau penguasa makanan, anugrahkanlah makanan ini, semoga memberi kekuatan dan menjauhkan dari penyakit. Bimbinglah hamba anugrahkan kekuatan kepada semua mahkluk.)

Doa mulai mencicipi makanan :
Om anugraha amrtadi sanjiwani ya namah swaha.

(Ya Tuhan, semoga makanan ini menjadi penghidup hamba lahir dan bathin yang suci.)

Read More......

Viveka, Atasi Rintangan

Atrânnâtmanyahamiti matirbandha eso’sya pumsah
Prâpto’jnânâjjananamaranaklesasampâtahetuh
Yanivayâm vapuridamast satyamityâtmabuddhyâ
Pusyatyuksatyavati visayaistantubhih kosakrdvat

(Vivekacudamani, 39)

DALAM konteks ini, rasa "keakuan" dalam anatma (bukan-diri) adalah rintangan bagi semua orang. Hal ini terjadi karena kegelapan dan sekaligus penyebab jatuhnya ke dalam jurang kelahiran dan kematian. Seperti halnya ulat sutra yang membawa jaring benang untuk dirinya, jiwa mengambil badan yang berubah ini sebagai nyata dan sebagai "aku", penyebab kegelapan, melindunginya, melumurinya, dan menghidupkannya.

Hidup penuh rintangan.

Bagi orang yang menginginkan kebebasan/kelepasan, rintangan yang tertinggi baginya adalah rasa "keakuan". Perasaan ini akan membawa seseorang selalu berada dalam penderitaan, dalam kelahiran dan kematian. Rasa "keakuan" membuat orang semakin jauh dari realitas dirinya yang sejati. Semakin kuat rasa "keakuan" seseorang maka semakin pekat pula kegelapan yang menyelimutinya. Jika segala sesuatunya adalah atma, segalanya adalah Tuhan, lalu kenapa ada rasa "aku"? Bagaimana hal tersebut dapat eksis? Memang tidak dapat disangkal bahwa segalanya adalah Tuhan (sarvam kalvidam brahman), tetapi Tuhan bebas dari segalanya. Maka dari itulah rasa "keakuan" ini eksis.

Memahami segala sesuatu dan Tuhan, atma dan bukan atma tidaklah realitas yang paralel atau sesuatu yang menempati kutub yang berlawanan. Realitas yang bukan atma sepenuhnya bergantung pada atma. Rasa "keakuan" dalam anatma (bukan atma) baik dalam badan kasar, badan halus, maupun badan penyebab adalah kekeliruan yang juga menjadi penyebab segala bentuk masalah. Anatma dikuasai oleh waktu, terbatas, dan menjadi subjek dari berbagai penderitaan.

Rintangan ini adalah bentuk dari kebingungan diri yang menyebabkan samsara, jatuh ke dalam kelahiran dan _ kematian berulang-ulang. Kelahiran itu sendiri adalah penderitaan, sebab dengan kita lahir segala bentuk tantangan hidup telah berada di depan kita. Demikian juga kematian adalah trauma yang sangat mengerikan yang menyebabkan setiap orang takut pada kematian. Kelahiran dan kematian adalah penderitaan, sehingga dengan sendirinya adalah rintangan.

Di antara kelahiran dan kematian yang dihadapi setiap orang, terdapat juga klesa. Kekeliruan berpikir dengan menganggap badan ini nyata (satya) padahal mithya (tidak nyata). Badan ini tidak nyata sebab selalu berada dalam perubahan. Orang yang tidak mampu awas, tidak mampu menyadari dirinya, dia akan menganggap badan ini sebagai yang nyata. Dengan menganggap bahwa badanini nyata, maka dia terbelenggu untuk selalu melindunginya, merawat agar selalu awet muda. Dia ingin badan ini selalu hidup dan takut dengan kematian. Tetapi masalahnya adalah bagaimanapun kita merawat badan ini, mencoba segala macam untuk mengawetkan badan ini, dia tidak dapat menghentikan usia. Usia terus bertambah dan kulit akan mengalami penuaan. Ketakutan inilah yang membuat penderitaan.

Orang yang selalu berpikir bahwa dia melindungi badan dengan benda duniawi, sesungguhnya menggali kuburan untuk dirinya. Sering terjadi bahwa sesuatu yang kita pikir dapat menyenangkan kita justru berbalik menghancurkan kita. Sepanjang kita makan dan tumbuh, kita akan selalu berkembang. Tetapi jika pertumbuhan• tersebut berada dalam posisi puncak dan mulai mengalami penuaan, maka makanan yang kita makan akan berbalik memakan kita.

Keunggulan manusia dibandingkan dengan binatang lain adalah dia memiliki wiweka. Dengan wiweka manusia akan selalu menganalisis diri dalam kehidupan ini. Dia memiliki daya beda untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Kemampuan untuk membedakan ini akan mengantar seseorang menuju kemuliaan dirinya, mengantarkan dirinya menuju kebebasan hakiki. Dengan wiweka dia akan selalu bang kit dari berbagai keruntuhan yang dialaminya. Dia tidak akan mengenal lelah untuk terus berusaha menjadikan dirinya menjadi lebih baik, sehingga tujuan tertinggi akan dicapai. Melalui wiweka dia menyadari bahwa rasa "keakuan" lah penyebab segala rintangan, sehingga dengan kesadaran itu dia akan mampu melenyapkan segala rintangan dan mencapai kebahagiaan tertinggi.

Read More......

Peranan Ibu Dalam Mewujudkan Keluarga Bahagia Sejahtera

"Jika ibu wajahnya selalu memancarkan keceriaan,
seluruh rumah tangga berbahagia, tetapi jika
wajahnya cemberut,semuanya akan
kelihatan suram"

Manavadharmasastra, III.62.

Tanggal 22 Desember setiap tahun bangsa Indonesia memperingati hari Ibu sebagai penghormatan atas jasanya kepada putra-putrinya yang telah melahirkan bangsa ini. Bila kita membicarakan ibu, maka perhatian kita pada sebuah keluarga (keluarga inti) yang terdiri dari ibu, bapak dan anak-anak. Keluarga merupakan tahapan hidup yang kedua bagi setiap orang. Tahapan yang pertama disebut Brahmacari, yakni menuntut ilmu pengetahuan selaras pula dengan perkembangan jasmani dan rohani manusia. Ketika ia mencapai kematangan jasmani dan rohani, mereka memasuki kehidupan berumah tangga yang disebut Grahasthasrama. Kehidupan keluarga ini dimulai dengan upacara perkawinan (Vivaha). Perkawinan tanpa upacara ( Vivaha tan sinangarkara) tidak dibenarkan dalam agama Hindu dan diyakini sebagai dosa yang membuat kehancuran rumah tangga dan masyarakat.

Untuk lebih memahami tentang peranan ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagia, terlebih marilah kita tinjau makna dari perkawinan menurut kitab-kitab Dharmasastra, yaitu :

1. Dharmasampati, suami istri secara bersama - sama melaksanakan ajaran Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban hidup sesuai dengan ajaran agama.
2. Praja, suami istri mampu melahirkan keturunan (putra - putri) yang suputra, berkualitas yang akan melajutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur.
3. Rati, suami istri dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan lainnya ( Artha dan Kama) yang tidak bertentangan dengan Dharma (kebenaran).

Bila setiap rumah tangga dapat mewujudkan ketiga hal tersebut di atas, maka kesejahtraan dan kebahagiaan akan dapat diwujudkan rumah tangga itu. Dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya dinyatakan bahwa hubungan antara suami- istri dinyatakan sebagai satu jiwa dalam dua badan :

"Hendaknya manis bagaikan maducinta kasih dan pandangan antara suami dan istri, penuh keindahan.Hendaknya senantiasa hidup bersama dalam suasana bahagia tanpa kedengkian. Mereka stu jiwa bagi keduanya" (Atharvaveda VII.36.1).

Selanjutnya kitab Manavadharmasastra menyatakan hendaknya suami istri tidak jemu-jemunya mengusahakan dan mewujudkan kerukunan serta kebahagiaan rumah tangga:

"Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, tidak jemu-jemunya mengusahakan dan mewujudkan agar mereka tidak bercerai, mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan dan jangan melanggar kesetiaan antara yang satu dengan yang lainnya" (IX.102).

"Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya, hal ini harus diyakini sebagai hukum yang tertinggi bagi suami-istri"(IX.101).

"Keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula istri terhadap suaminya, di sana kebahagiaan pasti kekal abadi"(III.60).

Suami dan istri diamanatkan oleh Tuhan Yang Mahaesa dalam kitab suci Veda untuk senantiasa melaksanakan kewajiban dan mengikuti jalan yang benar (mengikuti hukum yang berlaku), memperoleh putra yang perwira, membangun rumah sendiri dan hidup dengan sejahtra dan bahagia di dalamnya :

"Wahai suami dan istri hendaknya kamu berbudi pekerti yang luhur, penuh kasih sayang dan kemesraan di antara kamu. Lakukan tugas dan kewajibanmu dengan baik dan patuh kepada hukum yang berlaku. Turunkanlah putra-putri yang perwira, bangunlah rumahmu sendiri dan hiduplah dengan suka cita di dalamnya" (Atharvaveda XIV.2.43).

Terjemahan mantra Veda ini sangat relevan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Seseorang yang telah siap untuk memasuki rumah tangga harus mampu mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Untuk bisa mandiri, seseorang hendaknya memiliki penghasilan yang tetap dan untuk itu peranan pendidikan dan kerja keras yang juga senantiasa ditekankan dalam kitab suci Veda mengantarkan orang dapat mandiri. Demikian pula untuk memiliki putra-putri yang perwira, suputra atau berkualitas, setiap keluarga bila sepenuhnya mengikuti ajaran agama (termasuk disiplin dalam hubungan suami sitri), putra- putri yang dicita-citakan akan lalhir pada keluarga itu. Di sinilah agama berperanan penting dalam menyiapkan SDM atau generasi yang berkualitas sesuai harapan setiap keluarga.

Idealnya dalam setiap keluarga, suami sebagai kepala rumah tangga (disebut Grhapatya, Grhapati atau disingkat dengan Pati) sedang istri adalah ratu rumah tangga yang disebut Rajni atau Patni. Suami istri sering disebut Patipatni atau Dhampati. Sebelum membahas perana ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagian, marilah kita tinjau tugas suami sebagai kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anaknya . Di dalam Manavadharmasastra IX.2,3,9 dan 11 dapat dirangkumkan sebagai berikut :

a. Suami wajib melindungi istri dan anak-anak serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.

b. Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaannya dan menugaskan istrinya untuk mengurusnya juga urusan dapur, upacara agama dalam rumah tangga dan dalam upacara-upacara yang besar bersama suaminya.

c. Suami berusaha menjamin klehiodupan istrinya serta memberikan nafkah, terutama bila dalam suatu urusan atau ketika ia harus melaksanakan tugas ke luar daerah.

d. Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian peribadi dan keturunannya serta menjauhkan diri dari segala unsur yang mengakibatkan perceraian.

e. Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena bila dalam rumah tangga suami istri selalu merasa puas, maka rumah tangga itu akan terpelihara kelangsungannya.

f. Suami wajib menjalankan Dharma Grhastha denganbaik, Dharma kepada keluarga (Kula Dharma), terhadap masyarakat dan bangsa (Vamsa Dharma) serta wajib mengawinkan putra-putrinya pada waktunya.

g. Suami berkewajiban melaksanakan Sraddha, Pitrapuja kepada leluhurnya, memelihara anak cucunya serta melaksanakan Yajna.

Demikian antara lain tugas dan tanggung jawab suami sebagai Bapak atau sebagai kepala rumah tangga. Bila dilaksanakan dengan baik, kelangsungan dan kebahagiaan rumah tangga atau keluarga akan dapat diwujudkan.


Peranan Ibu dalam keluarga

Di dalam Vanaparva Mahabharata (VIII.29) terdapat dialog antara Yudhistira dengan Yaksa yang menanyakan apakah yang lebih berat dari pada bumi dan lebih tinggi dari langit. Yudhistira menjawab : Ibu lebih berat dari bumi dan ayah lebih tinggi dari langit. Penjelasan yang sama dapat kita jumpai dalam Sarasamuccaya 240. Mengapa ibu dilambangkan dengan bumi dan ayah dengan langit. Pengorbanan ibu demikian besar dan tulus.Masyarakat Bali membandingkan saat seorang ibu melahirkan seperti tergantung pada sehelai rambut, sangat berbahaya dan bila salah sedikit ibu atau bayi atau keduanyapun akan korban. Penderitaan ibu saat melahirkan dari ibu tiada taranya. Seorang anak mungkin bisa melupakan kasih ibunya, tetapi seorang ibu tidak akan tidak mencintai anaknya :

"Demikianlah Ibu, dalam kasih sayang kepada anaknya sama rata, sebab baik anaknya mampu atau tidak mampu, yang baik budi pekertinya atau yang tidak baik, yang miskin atau kaya, anak-anaknya itu semua dicintai dan dijaganya, diasuhnya mereka itu, tidak ada yang melebih kecintaan ibu dalam mencintai dan mengasuh anak-anaknya' (Sarasamuccaya 245).

Di dalam kitab suci Veda suami hendaknya mengucapkan janji dan harapan kepada istrinya sebagai berikut:

"Wahai istriku menjadilah pelopor dalam hal kebaikan, cerdas, teguh, mandiri, mampu merawat dan memelihara rumah, senantiasa taat kepada hukum seperti halnya bumi pertiwi. Aku memilikimu untuk kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga (Yajurveda XIV.22).

"Seorang istri sesungguhnya adalah seorang cendekiawan dan mampu membimbing keluarganya"(Rgveda VIII.33.19).

Seorang wanita, istri atau ibu juga diminta berpenampilan lemah lembut :

"Wahai wanita, bila berjalan lihatlah ke bawah, jangan menengadah dan bila duduk tutuplah kakimu rapat-rapat"(Rgveda VIII.33.19).

"Wahai istri, tunjukkan keramahanmu, keberuntungan dan kesejahtraan, usahakanlah melahirkan anak. setia dan patuhlah kepada suamimu (Patibrata), siap sedialah menerima anugrah-Nya yang mulia" (Atharvaveda XIV.1.42).

"Wahai para istri, senantiasalah memuja Sarasvati dan hormatlah kamu kepada yang lebih tua" (Atharvaveda XIV.2.20).

"Hendaknya istri berbicara lembut terhadap suaminya dengan keluhuran budi pekerti" (Atharvaveda , III.30.2).

Sesungguhnya untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga tidaklah semata tanggung jawab ibu, istri atau suami saja, tapi kedua belah pihak berusaha mewujudkan hal tersebut :

"Wahai suami istri, binalah keluhuran keluarga, bekerjalah keras untuk meningkatkan kesejahtraan hidupmu. semoga kemashuran dan kekayaan yang engkau peroleh memberikan kebahagiaan" (Rgveda V.28.3).

"Wahai suami-istri, tekunlah dan tetaplah laksanakan kebajikan, hanya orang yang memiliki Sradha (keimanan) yang teguh akan sukses di dunia ini" (Atharvaveda VI.122.3).

Suami istri tidak dibenarkan terlalu menurutkan hawa nafsunya dan senantiasa tekun untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan :
"Hendaknya dorongan nafsu seksual tidak menodai kesucian pribadi"(Atharva

istri tahan ujilah kamu, rawatlah dirimu, lakukan tapa brata, laksanakan Yajna di dalam rumah, bergembiralah kamu, bekerjalah keras kamu, engkau akan memperoleh kejayaan" (Yajurveda XVII.85).

"Jadikanlah rumahmu itu seperti sorga, tempat pikiran-pikiran mulia, kebajikan dan kebahagiaan berkumpul di rumahmu itu"(Atharvaveda VI.120.3).

"Hendaknya dewi kemakmuran bersedia tinggal disini, tempat yang menyenangkan di rumah ini, dalam keluarga dan juga pada ternakmu" (Yajurveda VI.120.3).

Di dalam berbagai susastra Hindu banyak dijumpai petunjuk-petunjuk untuk mewujudkan keharmonisan, kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga. Kunci keberhasilan untuk mencapai hal itu adalah kerja keras dan tekun melakukan kebaktian kepada Tuhan Yang Mahaesa. Memperhatikan uraian tersebut di atas, ibu sangat menentukan (bersama bapak) dan sangat berperanan dalam mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga. Menurut tradisi Hindu, ada 6 jenis ibu yang patut dihormati seperti ibu kandung sendiri, yaitu :

1. Ibu kandung yang melahirkan,
2. Bidan atau dukun yang membantu ibu melahirkan.
3. Istri guru yang memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
4. Istri pejabat (pemerintah) yang turut serta membangun kesejahtraan kesejahtraan rakyat.
5. Sapi yang membantu petani dalam mengolah tanah dan memberikan susu.
6. Ibu Pertiwi, bumi tercinta yang memberikan kesejahtraan kepada semua makhluk.

Demikian antara lain peranan seorang ibu dalam mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga.

Om Dirgayur astu tat astu svaha.
Om Santih, Santih Santih.

Read More......

Surya sudah bisa berdiri

Putu Surya Yudistira

Putu Surya Yudistira

Putu Surya Yudistira

Putu Surya Yudistira

Putu Surya sekarang hampir berusia 10 bulan kalender, Surya sekarang sudah bisa berdiri sendiri, tapi kadang jatuh dan bangun lagi hehehe...dan jatuh lagi...maklum belum bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Surya sudah bisa manggil-manggil Bapak dan Ibuknya, manggil kakak-kakaknya juga sudah bisa, Surya masih lucu-lucunya, tak tega rasanya berpisah dengannya, tapi karena tuntutan ekonomi harus gimana lagi, cobaan hidup namanya...

Mudah-mudahan anakku selalu dalam lindungan Ida Sang Hyang Widi Wasa, dan selalu di berikan kekuatan untuk menghadapi kerasnya dunia ini, mudah-mudahan surya bisa membahagiankan orang tuannya di kemudian hari, bapak dan ibumu akan selalu berdoa untukmu anakaku...

Read More......