Panganjali umat “Om Swastyastu” pada dasarnya merupakan salam keagamaan yang mengandung tuntunan doa bagi kerahayuan umat. Begitu juga ucapan paramasanti “Om Canti Canti Canti Om” yang senantiasa memancarkan harapan akan pentingnya arti kedamaian itu. Berbeda dengan ucapan salam yang bersifat umum seperti “selamat pagi” atau “selamat malam” yang cenderung lebih bersifat sebagai etiket dalam pergaulan dengan sesama. Sedang ucapan panganjali dan paramasanti selain menunjukkan segi-segi etika juga mengandung nuansa sacral di mana dengan mengucapkan kita sekaligus memanjatkan doa pengharapan agar semuanya selalu dalam keadaan baik atau rahayu serta damai atas lindungan-Nya. Karena begitu tinggi nilai pengucapannya panganjali atau paramasanti itu maka adalah merupakan suatu perbuatan mulia jika pada setiap pertemuan, baik dengan individu lainnya maupun dalam suatu forum yang melibatkan banyak orang agar didahului dengan panganjali dan kemudian diakhiri dengan paramasanti.
Hanya saja untuk pertemuan antara satu individu lainnya dalam satu kesempatan, cukup dengan mengucapkan sekali saja. Tetapi bila berhubungan dengan suatu pertemuan dalam bentuk forum dharmatula atau dharma wacana misalnya, dimana terdapat banyak pembicara, penceramah dan juga penanya, maka tidaklah keliru bila setiap pembicara, penceramah, atau penanya selalu mengawali pembicaraan dengan panganjali dan kemudian diakhiri dengan paramasanti. Sebab untuk suatu kebaikan, kerahayuan dan keberasilan sesama sangat terpuji sekali kalau kita dapat memanjatkan doa dulu baik pada awal maupun akhir pembicaraan.
Dengan demikian, persoalannya bukan “berapa kali seharusnya kita mengucapkannya”. Melainkan “sudah berapa kalikah kita mengucapkannya”. Lagi pula karena ucapan panganjali dan paramasanti itu tergolong doa/mantra maka sesungguhnyalah semakin sering diucapkan (meski dalam hati sekalipun) semakin terasa kedekatan kita untuk berlindung selalu pada-Nya.
Bagi umat Hindu kebanyakan memang terbiasa untuk berucap salam agama belum begitu mentradisi. Tetapi bukan berarti harus ditiadakan kebiasaan yang baik dan membawa kerahayuan itu.
Kemudian tentang penulisan panganjali umat, sebagaimana sudah umum mengetahui adalah “Om Swastyastu”. Penulisan ini sudah sesuai dengan asal katanya yaitu : Su + Asti + Astu, yang setelah terkena hukum sandhi menjadi “Swastyastu” (U + A = W dan I + A = Y). sedangkan untuk penulisan paramasanti memang cukup banyak variasinya. Ada yang menuliskan Shanti, Santhi, Shanthi atau Canti. Dalam pengalihan bahasa dari bahasa sansekerta ke dalam bahasa jawa kuno ditulis “Canti” tetapi bila dialihkan ke dalam Bahasa Indonesia maka menjadi “Santi”. Dan karena penulisan Bahasa Indonesia disesuaikan dengan bunyi maka sering juga ditulis “Santi”. Tetapi jika mengacu pada keputusan Pesamuhan Agung PHDI tentang Tri Sandhya tahun 1990 maka penulisan paramasanti yang benar adalah “Om Santi Santi Santi Om”.
Berapa Kali Mengucapkan “Om Swastyastu“
Gayatri Mantra, Mantra yang Paling Mulia
Sebagai umat Hindu yang bhakti, Tri Sandhya yaitu sembahyang sebanyak tiga kali sehari adalah wajib hukumnya untuk di laksanakan. Seperti halnya manusia perlu makan tiga kali sehari untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya agar kuat dan sehat fisiknya, maka begitu pun halnya melaksanakan kewajiban Tri Sandhya adalah juga untuk memenuhi kebutuhan rohani agar kuat dan sehat mental spritualnya. Karenanya, jika untuk urusan makan hampir tidak ada orang yang lupa untuk melakukannya. Padahal hakikat Tri Sandhya itu sungguh teramat dalam kandungan nilai spiritualnya. Sebab dengan hanya melaksanakan kewajiban Tri Sandhya yang dalam sekali kesempatan Cuma memerlukan waktu sekitar empat menit itu kita sudah berbuat rahayu yaitu :
1. Mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi
2. Memperkuat sradha dan bhakti ke hadapan Hyang Widhi
3. Mengucapkan rasa angayubagia atas asung kerta waranugraha-Nya yang selalu dilimpahkan kepada kita
4. Memohon maaf atas segala kesalahan atau kelalaian yang diperbuat, dipikirkan dan diperkatakan baik yang sengaja maupun tidak disengaja dengan harapan kiranya Tuhan akan senantiasa memberi jalan terang bagi perjalanan hidup kita.
Jadi, cukup besar sebenarnya kemuliaan yang didapat dari pelaksanaan kewajiban Tri Sandhya. Dan tanpa disadari, jika dihitung secara matematis bila setiap hari dengan rutin kita dapat melakukan Tri Sandhya sebanyak tiga kali sehari, maka kelak perbuatan mulia tersebut akan menjelma menjadi tabungan rohani atau tabungan sorgawi yang berguna untuk semakin meningkatkan kualitas spiritual kita sebagai umat Hindu yang senantiasa berikhtiar mencapai jagadhita (kesejateraan lahit) dan moksha (kebahagian batin).
Perihal sebutan bait pertama Tri Sandhya atau Gayatri Mantra sebagai ibu dari segala mantra memenag begitulah adanya. Sebagaimana diketahui Gayatri Mantra dikutip dari kitab suci Reg Weda, Mandala III, sukta 62, mantra 10 tetapi tanpa dilengkapi Omkara atau Pranawa dan Mahawyahrti (Om Bhur Bhuwah Swah). Matra ini memakai Chanda atau irama Gayatri. Gayatri mantra adalah mantra mantra yang paling mulia di anatara mantra-mantra. Ia bersifat universal dan mampu membangkitkan kekuatan spiritual. Pengucapan Gayatri Mantra ini ditujukan kepada Hyang Widhi yang bergelar “Sawita” yang berarti “dia melahirkan segalanya”. Gayatri Mantra juga dipandang sebagai Wedasara yaitu intisari Weda. Maka tak berlebihan jika akhirnya dikatakan bahwa Gayatri Mantra itu adalah ibu dari segala mantra yang sangat dimuliakan. Bahkan dengan hanya mengucapkan Gayatri Mantra sebanyak tiga kali, bait-bait Tri Sandhya berikutnya boleh tidak diucapkan.
Apa Maksud Ngalinggihang Dewa Pitara
Di dalam sastra-sastra agama, Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara disebut dengan istilah Nilapati. Dan di masyarakat sendiri ada istilah lain sebagai padanannya yaitu : Ngaluwurang dan Ngenteg Linggih. Pada zaman Hindu di Jawa, Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara juga ada namun disebut dengan nama Dhinarma yang artinya menstanakan arwah yang telah disucikan ke dalam suatu dharma atau sudharma (candi).
Pada hakikatnya, Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara adalah upacara Atmapratistha yaitu suatu upacara mempratisthakan atma atau ngalinggihang arwah yang telah menjadi Dewa Pitara (tentunya setelah melalui rangkaian upacara Ngaben dan mamukur) pada palinggih kamulan atau kawitan (rong telu) di sanggah atau merajan. Pelaksanaannya, mula-mula sang Dewa Pitara dipratisthakan pada daksina palinggih (karena tidak ada lagi sarinya) dan lanjut daksina palinggih itu dipratisthakan atau dilinggihkan pada palinggih kamulan atau kawitan yang berbentuk rong tiga, susunannya, Sang Dewa Pitara yang lanang (laki) dilinggihkan pada rong palinggih di kanan dan sang Dewa Pitara yang istri (wanita) dilinggihkan pada rong palinggih di kiri (arahnya dilihat dari arah hadap palinggih itu sendiri).
Sebagai perbandingan, pada jaman Hindu di Jawa, Sanga Dewa Pitara dipratisthakan pada arca perwujudan (arca yang mewujudkan/menggambarkan sang raja ketika masih hidup sesuai dengan sifat-sifatnya dan agama yang dipeluknya) dan arca perwujudan itu lalu dipratisthakan pada suatu candi. Hal seperti ini juga dilaksanakan di Bali tahun 1489. karena itu sampai saat ini banyak terdapat peninggalan arca-arca perwujudan pada beberapa Pura Kuno di Bali, seperti di Pura Bukit Penulisan Kintamani, Pura Penataran Sasih Pejeng. Dalam perkembangan tradisi mengarcakan sang Dewa Pitara di Bali tidak lagi diteruskan. Sebagai pengganti arca perwujudan itu adalah Daksina palinggih. Begitu pun dengan arca untuk Pralingga Bhatara tidak lagi dibuat melainkan diganti dengan Daksina Palinggih.
Tetapi meskipun terjadi perubahan, tepatnya pergantian bentuk dari penggunaan arca perwujudan diganti dengan daksina palinggih, tradisi upacara pratistha atau ngelinggihang baik Atmapratistha maupun Dewapratistha tetap dilaksanakan hingga kini. Karena Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara ini mengandung makna sebagai preses bhakti yang terus menerus tanpa terputuskan dalam rangka sradha dan bhakti para preti sentana kepada para leluhurnya yang berada atau berkedudukan sebagai Dewa Pitara (roh leluhur yang telah suci dan diyakini tinggal di alam Dewa).
Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara merupakan sebagian dari upacara Mamukur, pada kenyataannya tidak, tetapi di lihat dari urut upacara yang harus dilalui dalam upacara Pitra Yajna maka sebenarnyalah upacara Ngalinggihang Dewa Pitara ini merupakan kelanjutan dari upacara Mamukur sekaligus merupakan pertanda bagi preti sentananya bahwa leluhurnya telah suci dan layak disembah setara dengan Dewa.
Perbedaan Tingkatan Dewa dan Bhatara
Melalui pemahaman Brahma Widya yaitu ilmu tentang Tuhan dapat diketahui perihal beberapa definisi, di dalam kitab Brahma Sutra I.1.2 misalnya, dengan singkat namun jelas didefinisikan tentang Tuhan itu yaitu : Janmadhyasya yatah, bahwa Tuhan itu adalah dari mana mula (asal) semua ini. Dari bahasa yang lebih sering kita dengar Tuhan itu tidak lain dari Sang Sangkan Paraning Dumadi – beliau yang menyebabkan segala yang ada dan lahir menjelma. Itu artinya Tuhan adalah pencipta segala yang ada bahkan yang akan ada, termasuk mengembalikan ke alam-Nya kelak.
Tentang Dewa, menurut kitab Regveda X/129 dijelaskan bahwa Dewa itu diciptakan oleh Tuhan setelah menjadikan semua alam semesta beserta isinya. Jadi Dewa itu bukan Tuhan karena Dewa diciptakan oleh Tuhan itu sendiri. Dewa dijadikan atau diciptakan dari “sinar” (dev) dan karenanya menurut sifatnya makhluk Tuhan itu disebut Dewa. Dalam bahasa upadesa, Dewa itu adalah perwujudan sinar suci Hyang Widhi yang memberikan kekuatan suci guna kesempurnaan makhluk-makhluk. Pendeknya, Dewa itu bukan Tuhan dan Tuhan itu pun bukan Dewa. Tuhan adalah pencipta segenap makhluk dan Dewa itu sendiri termasuk salah satu ciptaan-Nya, tentunya dengan status/kedudukan tertinggi di antara semua ciptaan-Nya.
Mengenai istilah Bhatara pada hakikatnya terlahir dari sebuah proses penyucian arwah leluhur melalui rangkaian upacara Pitra Yajna. Bermula dari istilah Preta yaitu arwah orang yang baru meninggal dan belum di aben sehingga perwujudannya disebut Bhutacuil dan dianggap masih berada di Bhuta Loka. Setelah di aben preta berubah sebutan menjadi Pitara yang berkeadaan suci dan berada di Bhuwah Loka (alam Pitara). Selanjutnya jika sudah melalui upacara “Mamukur” yaitu upacara peningkatan kesucian arwah, sang Pitara akan menuju ke alam Swah Loka (alam Dewa) dan disebut Bhatara yang setingkat Dewa-dewa. Tapi Bhatara tetaplah Bhatara dan bukan Dewa. Hanya saja karena berfungsi sebagai pembimbing dan pelindung acapkali kedudukan Dewa dan Bhatara dipandang sama.
Itu pula sebabnya istilah Dewa dan Bhatara dalam penggunaannya sering disamakan. Maka muncullah istilah padanya seperti : Dewa/Bhatara Brahma, Dewa/Bhatara Wisnu, Dewa/Bhatara Siwa, termasuk Dewa Nawa Sanga (Dewa menurut pengider-ideran) yang juga dipersamakan penyebutannya dengan Bhatara Nawa Sanga. Bahkan tidak jarang untuk menyebut Hyang Widhi pun pada kalangan masyarakat kebanyakan, hanya menyebutnya dengan nama Dewa Ratu/Ratu Bhatara.
Terakhir, definisi Bhatara Kawitan yang dimaksud tidak lain dari arwah suci leluhur kita masing-masing yang mempunyai ikatan genealogis langsung. Termasuk bapak ibu, saudara serta kerabat dari garis “purusa” yang sudah tiada dan sudah di aben serta “mamukur”. Sehingga layak dilinggihkan di “Kamulan” untuk disembah sebagai Bhatara-Bhatari Kawitan.
Upakara Wujud Hyang Widhi
Ajaran yajna dalam prakteknya melahirkan upacara dan upakara. Upacara merupakan pelaksanaan yajna itu sendiri. Sedangkan upakara merupakan sarana penunjang/pelengkap dari upacara. Contoh, upacara piodalan Sanghyang Aji Saraswati, sarana pokonya adalah Upakara/Banten Saraswati. Semakin besar tingkatan upacaranya, maka semakin besar/banyak pula upakara atau bantennya. Tetapi ingat, besar kecilnya upakara hanyalah menunjuk kuantitas (jumblah) bukan kualitas (mutu). Dan berapa pun besar tingkatan upacara dengan upakara be bantennya, dilihat dari segi sarana hanya akan terdiri atas tiga jenis, yaitu : mataya, sarana yang berasal dari sesuatu yang lahir sekali langsung menjadi binatang seperti sapi, kerbau, babi, anjing. Selain dari segi asal sarana, upakara juga dapat dibedakan menurut keadaan material yang digunakan yaitu dikenal dengan sebutan : matah-lebeng-nasak.
Segala macam dan bentuk upakara itu memang merupakan gambaran atau perwujudan dari Hyang Widhi dengan berbagai manifestasi-Nya. Di dalam lontar Yajna Prakerti atau Tegesing Arti Banten telah dinyatakan bahwa semua sarana/upakara yang dipakai dalam upacara mengandung arti simbolis. Contoh : Canang genten merupakan upakara yang paling kecil tetapi sudah mengandung inti yang menggambarkan Hyang Widi Wasa dalam manifestasi-Nya sebagai Tri Murti. Perinciannya dapat diketahui dengan melihat perlengkapan “porosan” yang terdiri atas : daun sirih (hijau) adalah symbol Wisnu, pinang (merah) symbol Brahma, lalu kapur (putih) merupakan symbol Siwa.
Dalam lontar Kusumadewa dicontohkan juga bahwa banten yang terdapat pada : Sanggar Tawang merupakan symbol hulu Hyang Widhi, Sanggar Tutuan merupakan bahu dan tangan Hyang Widhi, Lapan/asagan merupakan badan Hyang Widhi, lalu Caru merupakan perut-Nya, Panggungan adalah kaki-Nya, Paselang adalah tempat-Nya berpijak, sedangkan semua jejahitan yang ada tidak lain merupakan penggambaran kulit-Nya. Boleh jadi karena segala sarana/upakara itu melambangkan perwujudan Hyang Widhi maka setiap umat Hindu yang akan mempersembahkan wajib memenuhi banyak syarat, di antaranya : diperoleh atas dasar dharma, didorong rasa tulus iklas, dipersembahkan dengan pikiran bersih-suci tanpa pamrih.
Banten bukan sekedar Materi
Melihat banten atau orang ngaturang banten tanpa disertai dengan pengetahuan dan penghayatan serta keyakinan tentang ajaran yajna, tak ubahnya dengan menyaksikan seseorang memberikan bingkisan kepada orang lain. Titik fokusnya adalah materi/benda. Begitu bingkisan itu diserah-terimakan selesai sudah acara pemberian itu. Cara pandang begini tidak dapat dilakukan pada aktivitas “mebanten”. Meski secara kasat mata, yang nampak hanyalah sesuatu yang bersifat materi/benda seperti unsure daun, bunga, buah, air dan lain-lain tetapi dibalik “banten” itu terkandung makna yang teramat dalam. Paling tidak ada dua unsure yang terkandung di dalam perbuatan “ngaturang banten”, yaitu kualitas dan kuantitas. Yang menjadi landasan pertama dari “mebanten” itu adalah kualitas diri, meliputi : keyakinan, bahwa perbuatan mebanten itu merupakan kewajiban agama yang patut dijalankan. Kalau tidak yakin, kendati bersangkutan orang Hindu, sebaiknya tidak memaksakan diri “ngaturang banten”. Karena hanya dengan keyakinan (sradha) apa yang kita persembahkan sebagai wujud bhakti akan diterima oleh-Nya.
Selain keyakinan, juga disertai dengan kerelaan mengorbankan sesuatu yang kita miliki untuk dipersembahkan secara tulus iklas dengan tanpa berpikir akan mendapatkan pamrih. Unsure kualitas diri (keyakinan, bhakti, pengorbanan, tulus iklas dan tanpa pamrih), ini merupakan bagian yang tidak mudah dilihat oleh seseorang ketika ia melihat umat Hindu “ngaturang banten”. Dan mengapa harus memenuhi unsure kualitas diri dalam “mebanten”? karena itulah yang akan menjadi “bahasa pengantar” terhadap unsure kuantitas (materi, jumlah dan jenis) yang hendak dipersembahkan kepada-Nya. Jadi, sesungguhnya unsure kuantitas (materi/benda) lebih berposisi sebagai symbol nyata dari pengorbanan itu sendiri. Bukakah Hyang Widhi, Ida Bhatara seseorang kasat mata “tidak menikmati” apa yang dipersembahkan? Akhirnya umat yang “ngaturang banten” itu juga yang akan menikmati apa yang tadinya dipersembahkan, sebagai prasadam (symbol waranugraha-Nya).
Lebih dari itu, selain mengandung unsure kualitas dan kuantitas, perbuatan ngaturang banten itu juga memberi efek sugesti dan psikologis yang sangat kuat. Betapa media banten telah mampu memberikan “rasa dekat” dengan-Nya dan perasaan tenang serta damai seperti mudah menyelimuti diri kita seusai “mebanten”. Inilah nilai tertinggi dari “mebanten” yang memang bagi orang awam tak terjangkau oleh pikirannya. Karena itu, bagi orang awam, apalagi yang memang tidak mempunyai keyakinan tentang banten (yajna) boleh saja melihat tetapi untuk menilainya sebaiknya tidak dilakukan.
Peringatan Kelahiran Maharesi Penerima Wahyu
Memang benar, tidak seperti agama-agama lainnya, agama Hindu tidak mengenal hari tertentu untuk memperingati saat kelahiran ataupun kematian tokoh-tokoh sucinya seperti para maharesi. Seperti diketahui, istilah rsi atau maharesi adalah sebutan untuk tokoh suci Hindu yang atas kehendak-Nya mendapat mandate untuk berperan sebagai “perantara” guna menerima dan kemudian menyiarkan, menyebarkan dan mengajarkan ajaran-ajaran-Nya bagi kesempurnaan hidup manusia.
Dalam pandangan Hindu, untuk tokoh-tokoh suci (besar) kelahiran dan kematian tidaklah bersifat fisakal. Ibarat sebatang lilin, kapan lilin itu dibuat bukanlah soal. Yang terpenting adalah sinar, cahaya atau nyala yang dipancarkan untuk memberi penerangan. Begitu menjadi sinar, cahaya atau nyala unsure fisik (materi) yang menyebabkan “terang” tidak dipersoalkan. Apakah sinar, cahaya atau nyala itu berasal dari sebatang lilin, sebuah obor, lampu tempel, neon dan sejenisnya tidak lagi dibicarakan. Begitulah konsep Hindu menempatkan tokoh-tokoh sucinya seperti maharesi. Begitu sabda Tuhan (Daiwi Wak) diterima, tugas atau misi yang wajib diteruskan adalah menerangi seluruh umat (Hindu) oleh sinar-ajaran-Nya agar tidak menjadi umat yang terbelenggu “awidya” kebodohan dan kegelapan.
Bahkan di dalam kitab Mundakopanisad III. 2.8 dengan jelas disuratkan : “Bagaimana sungai-sungai mengalir kelautan luas, akan hilang, lenyap nama dan bentuk, demikian pula orang yang telah mencapai pencerahan, terbebas dari nama dan wujud, manunggal dengan Yang Maha Agung.
Begitulah, bagi seorang maharesi, fisik materi hanyalah media/sarana dan namapun hanya sebatas sebutan untuk membedakan diri dari yang lain. Bagaikan aliran sungai dengan bentuk dan penamaan yang berbeda-beda semua akan sirna begitu bermuara dilautan lepas, samudra luas. Semua yang berbeda fisik, berlainan nama menjadi satu sebagai bagian dari lautan atau samudra itu sendiri. Dalam contoh pembanding yang lebih dekat, di dalam dunia karya sastra Hindu dapat dijumpai betapa para pengarang, penyair, pengubah atau pencipta karya seni (sastra) nyaris tidak ada yang mencantumkan sosok diri dan namanya secara tegas. Semuanya membuat gambaran diri dan atau nama dengan memakai “sebutan berkulit” yang harus dikaji dengan cermat untuk mengetahui sosok sang pencipta yang sebenarnya.
Kesemua itu dilakukan semata-mata sebagai sebuah bentuk “bhakti” yang bersangkutan kepada Tuhan yang selanjutnya di abdikan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Tidak ada kamus “menurut” hak cipta bagi mereka. Baginya karyanya adalah karya kita, karya bersama yang dipersembahkan untuk manusia atau Tuhan itu sendiri. Itulah sebabnya, apa yang disebut sebagai hari peringatan kelahiran atau kematian bagi tokoh-tokoh suci Hindu memang tidak lazim. Sebab seorang maharesi ataupun pengarang besar adalah milik-Nya yang karya-karyanya adalah milik kita bersama untuk menerangi “kegelapan hidup”.
Ngotonin atau Ultah
Tanpa disadari, pelan tetapi pasti banyak di antara kita yang karena perkembangan zaman acapkali menomerduakan konsep ajaran agama untuk alasan mengikuti fenomena kehidupan manusia modern. Misalnya dalam hal peringatan hari kelahiran, di mana menurut konsep Hindu terutama yang sudah mentradisi di Bali sebagai diperingati melalui upacara yang disebut “ngotonin” yang justru dirayakan setiap “ngenem bulan” (210 hari sekali), bukan setahun sekali seperti acara ulang tahun umumnya. Tetapi karena alasan mengikuti fenomena manusia modern tidak jarang upacara “ngotonin” dikesampingkan sedang acara peringatan hari ulang tahunnya dirayakan secara besar-besaran. Bahkan untuk tetap bisa disebut manusia modern, peringatan hari lain yang diimpor dari dunia barat dengan serta merta diikuti seperti hari kasih sayang yang popular disebut Valentine Day.
Sesungguhnya sah-sah saja seseorang untuk turut larut dalam peringatan suatu hari tertentu meski secara konseptual tidak berakar dari budaya dan tuntunan ajaran agama kita. Namun sebagai umat yang menyakini bahwa ajaran agama merupakan pijakan pertama dan utama dalam berbuat, maka konsep ajaran (ritual) agama tak boleh dikesampingkan apalagi sampai ditiadakan. Katakanlah seperti hari “otonan”, sebenarnya jauh lebih mulia dilaksanalan dari pada sekedar merayakan hari ulang tahun. Alasannya, upacara “ngotonin” itu melingkupi keseluruhan aspek yang dibutuhkan dalam memperingati hari kelahiran.
Pertama, aspek ritual dengan media upakara/banten Ngotonin sebagai pengamalan ajaran yajna dengan makna sebagai ungkapan angayu bagia atas waranugraha-Nya berupa kerahayuan sehingga berkesempatan mendapatkan tambahan umur. Kedua, aspek spiritual dengan media doa, japa, mantra yang mengiringi upacara Ngotonin merupakan nilai tinggi yang didapat bagi seseorang dalam rangka meningkatkan sraddha dan bhaktinya kepada Hyang Widhi, dan Bhatara-Bhatari. Dan ketiga, aspek seremonial berupa kemeriahan atau kesemarakan di mana bersama anggota keluarga bersama-sama menikmati “surudan banten ngotonin” merupakan peristiwa penuh nuansa agamais.
Dibandingkan dengan acara peringatan hari ulang tahun, tanpa bermaksud meremehkan, tetapi begitu yang nampak menggejala, umumnya lebih menampakan aspek seremonial saja. Di situ akan ditampilakan acara-acara yang cenderung bersifat hura-hura, makan, minum sepuasnya malah tidak jarang sampai teller. Sedang hakikat peringatan ulang tahunnya terlewati begitu saja saja seiring usainya acara pesta ulang tahun yang bersangkutan.
Jadi, tindakan untuk mengutamakan peringatan hari ulang tahun melalui “ngotonin” amat terpuji, meski bukan berarti harus melarang sang anak untuk berulang tahun. Tetapi adalah lebih baik dan benar melaksanakan “ngotonin” dari pada merayakan hari ulang tahun yang notabena bukan kewajiban agama.
Busana Hitam Tidak Wajib
Soal busana hitam yang belakangan menjadi ciri dalam upacara kematian (Pitra Yajna) bukanlah pakaian seragam yang wajib atau harus digunakan. Bahwa soal warna busana terkait dengan kegiatan upacara yajna memang tidak disebutkan. Yang dijelaskan hanya menyangkut soal kelengkapan dan komposisi busana yang tentunya disesuaikan hanya menyangkut soal kelengkapan dan komposisi busana yang tentunya disesuaikan dengan tingkatan “pepayasan”, mulai dari payas alit, madya sampai agung (gede).
Perihal berkembangnya pemakaian busana hitam dalam upacara kematian, sebenarnya tumbuh dari kecendrungan umum (universal). Di mana warna hitam sudah lumbrah dihubungkan dengan warna kedukaan atau kesedihan. Sementara dalam pandangan Hindu, warna hitam bukanlah pertanda duka, sedih atau isyarat kematian. Bagi Hindu warna hitam justru berarti kehidupan dan kesuburan. Dewa Wisnu sebagai salah satu manfestasi Tuhan dalam prabhawanya sebagai pemelihara (sthiti) yang memberikan kehidupan dan kesuburan dalam pengider-ideran mengenakan busana warna hitam. Lebih dari itu, seperti halnya kehidupan, kematian dalam pandangan Hindu bukanlah sesuatu yang harus disesali, lalu larut dalam duka dan rasa sedih berkepanjangan.
Kehidupan dan kematian merupakan rta – hukum-Nya yang mau tidak mau harus diterima sebagai kehendak Tuhan. Di dalam kitam suci Bhagavadgita, II.11 dan 27 dipaparkan wejangan Sri Kresna kepada Arjuna yang ragu maju ke medan laga Bharatayudha lantaran diketahui akan jatuhnya korban, “Engkau berduka kepada mereka yang tak patut engkau sedihi, namun engkau bicara tentang kata-kata kebijaksanaan. Orang bijaksana tidak akan bersedih baik bagi yang hidup maupun yang mati, sesungguhnya setiap yang lahir kematian adalah pasti dan demikian pula setiap yang mati kelahiran adalah pasti, dan ini tak terelakkan, karena itu tak ada alasan engkau merasa menyesal (berduka/bersedih)”.
Menyimak suratan sloka Bhagavadgita di atas, jelaslah bahwa kematian sesungguhnya merupakan “peristiwa biasa” bagi-Nya, meski bagi kita amat luar biasa dirasakan sebagai suati kehilangan besar. Sejalan dengan pandangan itu, maka sebenarnyalah pertanda duka dengan mengenakan busana hitam, misalnya kematian, tidaklah berdasar. Apa yang menjadi gejala penyeragaman serba hitam dalam busana kematian tidak lebih dari kecendrungan mengikuti mode busana umum. Satu hal lagi, dalam Hindu soal busana bukanlah esensial. Busana justru lebih syarat dengan muatan local. Jadi soal busana terpulang pada cipta, rasa dan karsa budaya setempat, termasuk soal warnanya.
Menghidupkan TV saat Nyepi
Satu hal nampaknya perlu berulang kali dikatakan bahwa agama Hindu itu bersifat supel, fleksibel dan selalu mendasari pijakan pelaksanaan pada desa-kala-patra dan dresta. Sebab acuan tentang kebenaran menurut agama Hindu tidak saja berpedoman pada kitab suci Weda baik Sruti maupun Smrti tetapi ada juga yang berpijak pada Sila (tingkah laku orang-orang baik/suci), Acara (kebiasaan/tradisi yang benar) dan Atmanastuti (kepuasan batin), begitu di suratkan di dalam kitab Manu Smrti II.6.
Dengan demikian , maka acapkali dijumpai apa yang sudah menjadi ketentuan ajaran, dalam pelaksanaan bisa disesuaikan lagi menurut situasi dan kondisi. Contoh, jika dalam satu desa adat ada karma adat mati, maka odalan di Kahyangan Tiga tidak dapat dilaksanakan. Tetapi karena persiapan upacara dan upakara piodalan sudah berlangsung lama dan tinggal menyelenggarakan saja sementara krama adat itu meninggal tepat sesaat sebelum piodalan dilangsungkan, maka sesuai desa-kala-patra dan dresta, piodalan dapat dilanjutkan sementara terhadap sang mati diperlakukan/dianggap sebagai “orang tidur” dengan membuatkan banten pengalang sasih. Contoh lain, ketika piodalan Saraswati ada ketentuan (brata Saraswati) yang menyarankan tidak diperkenankan membaca dan menulis, sementara dalam pelaksanaannya, sebelum persembahyangan dilakukan ada yang namanya penyampaian Dharma Wacana yang dilakukan dengan membaca.
Begitu pun terhadap pelaksanaan Nyepi dengan Catur Brata Penyepian, yang tidak semuanya secara saklek bisa dilaksanakan. Ada saja alasan-alasan yang berdifat situasional yang memberi toleransi. Misalnya, Brata Amati Lelungan di mana umat Hindu tidak diperkenankan untuk berpergian, tetap kenyataannya ditoleransi bagi orang-orang termasuk umat Hindu untuk berpergian karena alasan tertentu/khusus, seperti tugas Negara , mengantar orang sakit, keadaan gawat darurat. Di mana Brata Amati Lelanguan yang berarti tidak menghibur diri, seperti tidak nonton TV ternyata dalam prakteknya cukup banyak umat Hindu yang menyempatkan diri menghibur diri menghibur diri dengan nonton acara-acara TV.
Kalau misalnya menonton TV dengan tayangan untuk 21 tahun keatas, tentu tidak dibenarkan karena ada norma yang dilanggar yaitu memperturutkan nafsu/indria kebirahian. Tetapi seperti halnya toleransi yang diberikan pada kegiatan keagamaan yang lain, maka kegiatan menghidupkan/menghidupkan TV dengan acara yang bernafaskan ajaran agama Hindu dimana pemirsa akan mendapat tontonan sekaligus tuntunan nampaknya bisa ditoleransi. Bukankah tujuan pelaksanaan Nyepi atau kegiatan keagamaan lainnya bertujuan untuk menumbuh kembangkan sekaligus meningkatkan kadar jnana, sradha dan bhakti umat. Bila ini tujuannya maka ajaran agama Hindu yang bersifat supel dan fleksibel dapat dibenarkan.
Kata Galungan dan Kuningan
Mungkin karena agama Hindu memberi kebebasan umatnya untuk menafsirkan ajaran-ajaran-Nya yang penuh dengan rahasia sekaligus kaya dengan istilah-istilah berkulit, maka sering kali membuat tafsiran yang tidak jarang keliru. Meski ada pula yang terkadang cocok walau belum tentu benar. Dari segi makna Galungan dan Kuningan, bahwa rerainan gumi itu bertujuan untuk memperoleh galang (terang) dan ning (keheningan) adalah cocok. Hanya jika dikatakan istilah Galungan dan Kuningan berasal dari kata “galang” dang “ning” tidaklah benar. Dalam konteks bahasa Bali, penafsiran demikian sering disebut “arti aud-audan” cocok meski tidak tepat.
Sebenarnya kata Galungan itu merupakan istilah tersendiri yang berarti “berperang”. Sedangkan Kuningan, di ambil dari nama wuku. Kalau filosofi Galungan sudah jelas bahwa hari Piodalan Jagat itu merupakan hari kemenangan dharma setelah berperang melawan adharma selama hayat masih dikandung badan. Sedangkan secara ritual, sudah dimulai sejak tiga hari berturut-turut sebelum Galungan. Mulai Redite Pahing Dungulan, Somo Pon Dungulan sampai Anggara Wage Dungulan mulai turun menyerang (menggoda) Sang Kala Tiga : Sang Butha Galungan, Sang Bhyuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat.
Puncak peperangan sekaligus merupakan hari kemenangan dharma melawan adharma dalam wujud Sanga Kala Tiga itu adalah pada hari Buda Kliwon Wuku Dungulan. Pada hari itu segenap umat Hindu mengahaturkan “mahasuksmaning idep” atas Asung Kertha Waranugraha Hyang Widhi yang telah memberikan bimbingan atau tuntunan guna mencapai kemenangan dharma. Sebuah kemenangan yang sesungguhnya tidak bersifat fisik, melainkan lebih mengarah pada rohani, mental, moral dan spiritual. Dari kehidupan “gelap”nya selama ini kita jalani, dengan penghayatan tinggi terhadap Galungan untuk seterusnya mengikuti jalan lurus dan terang, berdasarkan ajaran dharma. Di dalam lontar Sundarigama disebutkan “Bu, Ka, Galungan, nga, patitis ikangajnana sandi, galang apadang, marya kena sarwa byaparaning idep”. Artinya : Buda Kliwon Galungan adalah yang mengarahkan bersatunya pikiran agar menjadi terang dan berkesadaran tinggi, untuk melenyapkan penyebab kekacauan pikiran.
Pancawalikrama atau Pancabalikrama
Bagi sebagian umat Hindu yang sudah terlanjur lekat dengan istilah “Pancawalikrama”, upaya untuk mengubahnya dengan alasan mengembalikan ke nama aslinya yaitu “Pancabalikrama” tidak begitu saja di terima. Sebab kedua istilah tersebut tidaklah berbeda arti dan hakikatnya. Istilah Pancawalikrama itu sendiri merupakan perubahan metathesis dari kata Pancabalikrama. Di mana hurup “B” pada kata “Bali” bisa berubah menjadi “W” p ada kata “Wali” lantaran kedua huruf tersebut masih berada dalam satu warga (b, p, m, w).
Jadi perubahan istulah atau nama Pancawalikrama yang semula berasal dari kata Pancabalikrama hanyalah menyangkut perubahan tata bahasa yang tidak membawa pada perubahan arti dan hakikatnya. Begitupun kata “karma” yang sebenarnya juga merupakan bentuk perubahan dari kata “karma”. Bahkan di dalam beberapa pustaka suci istilah Pancawalikrama yang tergolong upacara Bhutayajna ini disebutkan dengan nama yang berbeda-beda yaitu : balim haret (Satapatha Brahmana, 11,5,6,1), Balibhaurthah, Balikarmana dan Balikarma (Manawadharmamasastra, III. 70,81,94) yang artinya adalah upacara kurban suci berupa “Bali” (Bhutayajna).
Jadi, keduanya sama-sama benar. Hanya karena istilah Pancawalikrama sudah lebih memasyarakat maka usaha untuk mengubah atau mengembalikan ke nama aslinya tidaklah semudah mengatakannya. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa jika istilah Pancabalikrama digunakan lagi (meski nama aslinya) dikhawatirkan akan timbul kesan solah-olah upacara besar itu hanya berlingkup Hindu local (Bali). Padahal selama ini perjuangan terus dilakukan untuk menghadirkan Hindu yang mengindonesia dengan harapan agar agama Hindu tidak terus dinilai sebagai agamanya orang Bali (Hindu Bali)
Lepas dari pesoalan perbedaan nama dengan istilah berbeda, upacara Pancawalikrama atau Pancabalikrama mengandung pengertian dan hakikat yang sama yaitu sebagai sebuah upacara yang tergolong Bhutayajna (Balibhuta) yang ditujukan kepada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sanga Hyang Siwa dengan Catur Saktinya (empat kemahakuasaan) yaitu :
- Wibhu Sakti (Maha Ada)
- Jnana Sakti (Maha Tahu)
- Kriya Sakti (Maha Karya)
- Prabu Sakti (Maha Kuasa)
Catur Sakti (empat kemahakuasaan) Hyang Widhi (Siwa) ini berfungsi untuk menciptakan (Utpati), mengatur atau memelihara (Sthiti) dan melebur atau mengembalikan kepada asalnya (Pralina) sehingga proses hukum rta atau kodrati alam dapat berlangsung secara harmonis. Dan secara ritual upaya untuk mengharmoniskan semesta alam ini antara lain dilakukan dengan cara menyelenggarakan upacara Bhutayajna mulai dari tingkatan kanista berupa “mesegeh” sampai “Pancawalikrama” atau “Ekadasarudra” tergantung pada lingkup wilayah (palemahan) dan rentang waktu pelaksanaannya.
Makna Sarad
Sarad adalah salah satu jenis upakara besar yang hampir selalu dibuat ketika pelaksanaan yajna dalam tingkatan madya dan lebih-lebih uttama. Kebesaran yajna itu (setidaknya di lihat dari jenis dan tingkatan material) acapkali diwakili oleh keberadaan atau penampilan sarad itu sendiri. Makanya penenempatan sarad itupun akan selalu mengambil lokasi di pusat kegiatan yajna. Perihal makna sarad ini dapat di ulas dari berbagai aspek. Di antaranya aspek arti, seni dan esensi folosofinya. Dari aspek arti kata, sarad mengandung pengertian “sarat” (penuh). Karenanya sarad itu memberi gambaran kongkret tentang isi sepenuhnya dari arti dunia.
Itulah sebabnya berbagai isi alam tergambar dan atau terwakili melalui sarad ini. Dalam sarad ini, isi alam tidak digambarkan sebenarnya melainkan digambar sedemikian rupa dengan sentuhan seni tingkat tinggi dan menggunakan bahan jajan (tepung beras). Yang digambarkan adalah isi dunia baik dunia bawah, tengah dan dunia atas (bhur, bhuwah dan shah loka). Terbawah misalnya gambaran air dengan binatang dan tumbuhan yang hidup di air, lalu binatang darat, tumbuhan darat (ancak, bingin, gelagah, ambengan, kesuna, dsb). Menyusul wujud manusia yang digambarkan dalam bentuk “cili” (laki-perempuan), lalu binatang yang hidup di udara seperti burung. Juga digambarkan planet seperti matahari, bulan, bintang dll. Gambaran alam atas yang dihuni para dewa dan bidadari pun trwakili dalam wujud sarad.
Pendeknya sarad merupakan gambaran dari keseluruhan isi dunia/bhuwana ini yang kalau dikaitkan dengan aspek seni terutama dalam pewayangan lumbrah disebut “kayonan” (gunungan). Itu pula sebabnya sarad dibuat sedemikian rupa menyerupai wujud gunung besar dan tinggi. Meski sarad dibuat dibuar dari bahan jajan, tetapi kandungan filosofinya luar biasa tingginya. Sarad adalah manifestasi bhakti umat dalam mempersembahkan segenap isi dunia kehadapan Hyang Widhi. Di dalamnya juga terkandung segi “mapenauran rna” yaitu suatu kesadaran diri bahwa apa yang selama ini diambil lalu dinikmati dari alam disimboliskan dikembalikan (dipersembahkan) kembali kepada-Nya.
Kesadaran mempersembahkan kembali apa yang diambil ini merupakan refleksi dari ajaran yajna tingakat tinggi. Di mana sebagaimana ucap kitab Bhagavadgita III. 13 umat di ajarkan untuk “memberi sebelum menikmati”. Boleh jadi landasan ajaran ini pula yang menyebabkan mengapa untuk jenis upakara sarad ini tidak dikenal istilah “ngelungsur/nyurud”. Artinya, begitu sarad dipersembahkan, usai upakara biasanya dibiarkan atau dipindahkan ketempat lain untuk akhirnya hancur lebur sendiri.
Begitulah sarad memang sarat dengan makna yang pada hakikatnya menggambarkan betapa umat Hindu untuk urusan beryajna tidak akan pernah surut menjalankannya. Tentu akan bertambah bijaksana bila aspek ritual yang memang perlu biaya mahal itu dapat diaktualisasikan dalam keseharian hidup dalam bentuk perilaku yang dapat gumaweaken sukanikanang won glen.
Haruskah Gunakan Pratima di Sanggah
Di dalam lontar Siwagama yang menguraikan perihal pendirian pura yang tergolong kawitan termasuk sanggah/merajan tidak ada disebutkan mengaenai persyaratan yang mengharuskan adanya pratima dan prasasti pada bangunan suci keluarga tersebut. Di dalam lontar itu hanya ditegaskan bahwa di setiap pekarangan agar kiranya dapat didirikan palinggih Kamulan dengan rong tiganya yang merupakan sthana sekaligus tempat pemujaan roh suci leluhur yang sudah diyakini berada di alam Dewata (Siddha Dewata), sehingga disebut sebagai Dewa Pitara. Dengan begitu maka keberadaan pratima ataupun prasasti tidak merupakan keharusan. Artinya, bila ingin dibuatkan tidak di larang, jika tanpa pratima dan prasasti pun bukan suatu pelanggaran.
Sebagai roh suci leluhur yang sudah berkedudukan setara (bukan sederajat) dengan Dewa sehingga dapat disebut Dewa Pitara maka keturunannya wajib menyembah dan atau memujannya. Hal ini berpijak pada konsep ajaran Pitra Puja yang dilandasi oleh adanya ikatan Pitra Rna. Karena berbhakti kepada leluhur merupakan dharma tertinggi. “Haywa kita pegat akadang purusantha sembahen”, begitu petuah leluhur yang menyiratkan makna untuk tidak memutuskan bhakti dengan menyembah dan atau memuja roh suci leluhur yang sudah berkedudukan sebagai Bhatara-Bhatari, sekaligus sebagai Dewa Pitara.
Tentang persamaan dan perbedaan makna antara “menyembah” dengan “memuja” sebenarnya sulit dijelaskan. Dari sudut kamus bahasa pun sulit di bedakan. Karena kedua kata ini lebih banyak menyiratkan persamaannya. Tetapi sebagai perbandingan mungkin bisa dipersamakan dengan kata “tirtha” dan “toya”. Keduannya sama-sama berupa “air” bedanya “tirtha” merupakan air yang telah disucikan, sementara “toya” lebih merupakan wujud benda cair (air biasa).
Begitupun perihal kata “menyembah” dan “memuja”. Keduanya sama-sama merupakan wujud dari perilaku berbhakti, hormat dan atau menjunjung tinggi terhadap sesuatu obyek seperti Bhatara-Bhatari, Dewa atau Tuhan. Maka lahirlah kalimat, ia menyembah dan atau memuja Bhatara-Bhatari, Para Dewa, atau Hyang Widhi.
Roh suci leluhur, meski sudah berkedudukan sebagai Dewa Pitara tetap tidak akan mengambil peran Hyang Widhi sebagai penciptanya. Sebab Dewa Pitara berada dalam posisi sebagai “makhluk ciptaan”. Hanya Hyang Widhilah pencipta segala yang ada dan yang akan ada.
Arca sebagai Media Pemujaan
Seperti pernah disampaikan bahwa nama agama dan kitab suci boleh sama yaitu Hindu dengan kitab Wedanya, tetapi dalam pengamalan ajaran bisa jadi berbeda-beda. Anutan yang dipedomani adalah desa-desa-patra dan dresta. Bagi umat Hindu pengamalan ajaran yang berbeda-beda itu bukanlah suatu kesalahan tetapi merupakan cerminan dari tingkat pemahaman, kemampuan spiritual, derajat bhakti yang berbeda-beda. Yang penting bagi Hindu adalah bukan apa yang nampak berbeda-beda tetapi sejauh mana inti sari agama Hindu telah dilaksanakan.
Apa yang dapat disaksikan melalui tayangang film-film India di mana tergambar secara visual bahwa umat Hindu di India lebih menonjolkan penggunaan arca sebagai media pemujaan tidak lain merupakan gambaran nyata betapa India kehidupan sekta (aliran) begitu dominant. Dan pada setiap sekta yang disebut juga dengan istilah sampradaya selalu memiliki sekaligus akan memuja Dewa yang diingini (Istadewata) sebagai Dewa Utama. Dewa utama yang ingin di puja inilah yang kemudian ditempatkan di mandira (mandir) sejenis pura di Bali atau bagi keluarga akan ditempatkan di kamar-kamar suci pemujaan.
Tercatat beberapa sekta atau sampradaya yang berpengaruh, Saiva (penyembah Siwa), Vaisnawa (penyembah Wisnu), dan Sakta (penyembah Sakti). Saiva Sampradaya juga memiliki beberapa aliran lagi seperti, Linggayat (pemuja Lingga), Ganapatya (pemuja Ganesa), pemuja Skanda atau Subramanya, dll. Terhadap Dewa Utama (Istadewata) yang dipuja ini oleh setiap sekta atau sampradaya akan dibuatkan patung atau arcanya. Artinya jika sekta itu termasuk Saiva Sampradaya maka yang dibuat dan kemudian ditempatkan di mandira atau kamar suci pemujaannya adalah Arca Dewa Siwa, begitu seterusnya.
Jika dibandingkan dengan keadaan di Bali, maka nampak sekali perbedaannya. Dimana umat Hindu di Bali (Indonesia) lebih menonjolkan pembangunan pura dengan berbagai pelinggihnya dari pada membuat arca. Dan bahkan pada kenyataan justru lebih komplit. Artinya pura dibangun dengan bermacam jenis dan bentuk palinggihnya, sementara penggunaan arca juga tidak dikesampingkan. Satu lagi yang membedakannya adalah dari segi sifat sisio-religius yang melatar belakangi konsep bhakti antara orang Hindu di Bali dengan di India. Dimana umat Hindu di Bali bhaktinya bermanfaat berjengjang, mulai dari pemujaan di sanggah sampai ke Kahyangan Jagat. Sedang umat Hindu Indian bhaktinya lebih bersifat langsung pada obyek pemujaan./span>
Pemedek, Penyungsung dan Pengemong
Secara prinsip istilah pemedek, penyungsung dan pengemong sesungguhnya memiliki arti yang tidak jauh berbeda, karena ketiganya sama-sama berkaitan dengan umat dan pura. Umat sebagai hamba Tuhan berkewajiban menjalankan perintahnya dan pura sebagai tempat suci bagi umat Hindu untuk “berhubungan” dengan-Nya melalui persembahyangan ataupun persembahan.
Meskipun memiliki persamaan, ketiga istilah itu dimunculkan karena ada juga perbedaannya. Kata “pemedek” berasal dari kata “pedek” yang berarti orang atau umat yang mendekatkan diri pada Tuhan. Lalu “penyungsung” berasal dari kata “sungsung” yang berarti “jungjung”, “menjungjung” atau “memuliakan”. Sedangkan istilah “pengemong” yang berasal dari kata “emong” mengandung arti “mengayomi atau melindung”. Penjelasan lengkapnya kurang lebih begini, jika seorang atau serombongan umat Hindu datang dan mengadakan kegiatan persembahyangan atau persembahan di sebuah pura atau di beberapa pura dengan status kahyangan umum dan tanpa terikat pada ikatan-ikatan khusus seperti keturunan (kawitan) maka mereka disebut pemedek. Misalnya ketika diadakan upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih, maka seluruh umat Hindu dengan tanpa membedakan asal-usul keturunan (Kawitan) dapat datang “pedek-tangkil” untuk “ngaturang bhakti” pada Hyang Widhi.
Lain halnya dengan pengertian penyungsung, maknanya lebih tertuju pada umat Hindu yang secara khusus mempunyai hubungan genealogis (keturunan) dan fungsional sesuai dengan profesinya. Contohnya, umat Hindu (di Bali) yang berasal dari keturunan Arya Kepakisan, maka mereka akan menjadi penyungsung dari Pura Kawitan yang ada di Br. Dukuh, Gelgel-Klungkung. Begitu juga Pura Dalem Peed Nusa Penida misalnya, kendati disungsung umat Hindu secara umum, secara khusus juga menjadi Pura Penyungsungan bagi kelompok umat yang berprofesi sebagai dukun atau balian.
Pura Subak pun demikian, hanya disungsung oleh karma/umat Hindu yang berprofesi sebagai petani setempat. Sedangkan yang namanya “pengemong” lebih terkait dengan pihak tertentu yang memberi pengayoman atau perlindungan terhadap keberadaan suatu pura. Dalam konteks pura-pura di Bali, di zaman kerajaan lampau sudah lumrah kerajaan-kerajaan yang berkuasa menjadi pengayom/pelindung satu atau beberapa Pura yang berada di wilayah kerajaannya. Pengayoman atau perlindungan mana diberikan tidak saja secara fisik, financial juga dari segi terselenggaranya kegiatan upacara yajna di pura tersebut. Hal begini sampai sekarang masih diberlakukan untuk pura-pura yang berada di Kompleks Pura Besakih, dimana tiap Kabupaten/Kotamadya di Bali mendapat “jatah” sebagai “pengemong” pura-pura tertentu di Besakih, maka Pemda Bali bertindak selaku Sang Yajamana secara keseluruhan.
Kamulan itu Palinggih Tri Murti ?
Dalam usaha untuk mewujudkan sikap bhakti kepada leluhur sebagai pengamalan ajaran Pitra Puja, umat Hindu terutama yang tumbuh berkembang di Bali membangun apa yang dimanakan sanggah atau pamerajan. Fungsinya adalah sebagai tempat suci pemujaan roh suci leluhur (Atma Sidha Dewata) bagi keturunannya (preti sentana). Melalui itu dimohon sekaligus diharapkan agar leluhurnya yang sudah berada di alam Dewa dapat senantiasa memberikan kerahayuan kepada semua keturunannya. Karena itu pemujaan kepada roh suci leluhur merupakan kewajiban penting dan mulia bagi umat Hindu.
Sebagai suatu bangunan pemujaan roh suci leluhur, sanggah atau pamerajan dicirikan dengan adanya palinggih pokok (utama) yaitu yang disebut dengan Palinggih Kamulan atau Kamimitan di mana bentuk fisiknya memiliki tiga ruangan dalam satu atap (merong telu). Dalam lontar Gong Wesi ditanyakan bahwa fungsi sanggah atau merajan itu adalah sebagai sthana Sang Hyang Atma dengan perincian : pada Kamulan kanan (rong sebelah kanan) sebagai Bapa (Paratma), pada Kamulan kiri (rong sebelah kiri) sebagai Ibu (Siwatma), dan pada Kamulan tengah (rong bagian tengah) wujudnya adalah Sang Atma. Hal senada juga diuraikan di dalam lontar Usana Dewa.
Bahwa Palinggih Kamulan yang merong telu itu dipersamakan dengan Palinggih Tri Murti memang dapat diterima. Tetapi perlu ditegaskan, bahwa bukan Palinggih Kamulan itu sebagai Palinggih Tri Murti melainkan Dewa Pitara itu yang diidentikkan dengan Sanghyang Tri Murti. Sebab yang disebut dengan Dewa Pitara itu tidak lain roh suci leluhur yang sudah mencapai alamnya Sanghyang moksha di mana pada akhir dari segala tujuan hidup adalah dapat luluh atau bersatunya Pitara/atma dengan Dewa/Tuhan.
Selanjutnya, karena Dewa Pitara itu identik dengan Sanghyang Tri Murti maka Dewa Pitara yang bersthana di Kamulan disebut juga “Bhatara Hyang Guru”. Bhatara Hyang di sini adalah Dewa Pitara itu sendiri, sedang Bhatara Guru adalah Dewa Siwa. Pengidentikan (penyamaan) Dewa Pitara dengan Sanghyang Tri Murti ini dapat dibuktikan melaui Puja Ida Pedanda yang digunakan untuk Kamulan yaitu Guru Stawa atau pada mantra pemujaan di Sanggah/Merajan yang salah satu baitnya berbunyi : “Om Brahma Wisnu Iswara dewam, jiwatmanam trilokanam sarwa jagat pratistanam, sudha klesa winasanam”. Maksudnya : “Om Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang menjiwai tiga alam yang menjadi pangkal segala di alam dunia, yang membinasakan dan menyucikan kotoran”./span>
Menurut Hindu Wanita bisa Jadi Presiden ?
Ajaran agama Hindu menempatkan makhluk ciptaan Tuhan yang bernama manusia dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan sebutan “purusa-pradana” sebagai satu kesatuan yang meski berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan. Kodratnya memang lain, status dan fungsinya juga berlainan, tetapi kedudukan wanita dan pria tidak dibedakan dalam “guna” dan “karmanya”.
Guna artinya sifat-sifat bawaan yang meliputi “sattwam-rajas-tamas” dengan kecendrungan yang akan menonjol dalam setiap karma atau perbuatannya. Dalam konteks “guna” dan “karma”, bagi agama Hindu laki dan perempuan atau pria dan wanita sama saja. Termasuk dalam kaitannya dengan kepemimpinan, dimana agama Hindu tidak melihat “siapanya” melainkan lebih menekankan “bagaimananya”. Apakah dia itu seorang pria atau wanita, dalam konsep kepemimpinan Hindu tidak menjadi factor utama. Yang diutamakan sekaligus menjadi tuntutan mutlak dari seorang pemimpin itu adalah bagaimana sang pemimpin tersebut dapat menampilkan dan atau mengejawantahkan konsep-konsep kepemimpinan gaya Hindu seperti : ajaran Asta Berata, Asta Dasa, Prateming Prabu termasuk ajaran kitab Kauntilya Sastra yang secara jelas mengemukakakan persyaratan seorang kepala Negara seperti :
- Abhigamika, mendapat simpati atau legimitasi rakyat.
- Pradnya, arif dan bijaksana.
- Utsaha, berusaha untuk mensejahterakan rakyat.
- Atma Sampad, bermoral atau budi pekertinya luhur.
- Sakyasamanta, dapat mengontrol/memimpin bawahannya.
- Aksura Parisatka, mampu memimpin sekaligus mengambil sikap tegas namun bijaksana dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul.
Begitulah sebagian kecil dari tuntutan utama yang diminta bagi seorang pemimpin, termasuk presiden menurut ajaran agama Hindu. Bagi agama Hindu bobot seorang pemimpin tidak diukur dari jenis kelaminnya melainkan dari performance kepemimpinannya. Apalah artinya dan bagaimanakah jadinya sebuah negeri, bangsa atau Negara yang dalam memilih pemimpinnya lebih mengedepankan ego-gender (kelamin) dari pada kualitas sifat, watak dan moral sang pemimpin.
Dalam sejarah perjalanan agama Hindu tidak sedikit muncul sosok pemimpin wanita dalam kerajaan-kerajaan Hindu. Bahkan dalam urusan memimpin upacara agama (yajna) figure pandita wanita (pedande istri) sudah tidak asing lagi. Jelasnya, Hindu memberi jalan lapang bagi seorang wanita untuk tampil sebagai pemimpin dalam bidang apapun asalkan mendapat legitimasi rakyat yang tercemin dari pengakuannya terhadap “guna-karma” sang pemimpin yang berpijak pada konsep kepemimpinan Hindu. Dan untuk itu Hindu sangat menghargai sekaligus menghormati sosok wanita, sebab ucap Manusmrti III.56, Di mana wanita tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berphahala.
Meminjam Uang dan Bunganya Menurut Hindu
Hidup adalah kerja. Tanpa kerja berarti kita tidak bisa hidup. Dunia ini tercipta, terpelihara dan nantinya akan pralina juga karena proses kerja. Tuhan itu sendiri adalah Sang Maha Karya yang terus menerus menggerakkan hukum kerja. Jika Tuhan tidak bekerja sedetikpun hancurlah dunia. “Dunia ini akan hancur jika aku tidak bekerja, aku jadi pencipta kekacauan ini dan memusnahkan manusia ini semua” (Bhagawadgita, III. 24).
Berbicara tentang kerja maka tak lepas dari apa yang namanya pekerjaan. Dan pekerjaan dalam konteks kehidupan selalu berhubungan dengan mata pencaharian hidup. Bahwa untuk bisa melangsungkan hidup dan kehidupannya seseorang mesti mempunyai pekerjaan. Pekerjaan mana bisa dicari dan atau diciptakan sendiri. Prinsipnya apa yang dikerjakan atau menjadi pekerjaannya itu dibenarkan secara hukum baik hukum pemerintah maupun hukum agama.
Dari sudut ajaran agama Hindu, perihal pekerjaan dengan cara meminjamkan uang dengan harapan mendapatkan bunga tidaklah dilarang. Melaui kitab suci Manawadharmasastra, X.115 secara tegas dinyatakan : “ada tujuh cara yang sah dalam memperoleh hak milik yaitu pewarisan, perjumpaan atau hadiah persahabatan, pembelian, penaklukan, peminjaman dengan bunga, melakukan pekerjaan dan menerima hadiah dari orang-orang saleh”.
Apa yang disuratkan kitab Smrti ini memang masih bersifat harfiah dan belum dijabarkan bagaimana teknis pelaksanaan peminjaman uang dengan bunga itu. Tetapi, karena ajaran agama Hindu selalu berpijak pada dharma maka dalam soal menjalankan pekerjaan dengan cara meminjamkan uang harus tetap berpegang pada prinsip “dharma kepatutan”. Artinya berapa proses layaknya kita menentukan bunga dari uang yang dipinjamkan itu patut mengacu pada hati nurani selain perhitungan ekonomi. Jika misalnya keadaan ekonomi orang yang meminjam uang pada kita termasuk miskin dan itupun ia nekad meminjam lantaran terkena musibah, maka hati nuranilah yang memperitungkan peminjaman uang itu. Yang penting menolong dulu, soal bunga dapat dibicarakan kemudian atas dasar jiwa Tat Twam Asi.
Tetapi bila si peminjam tergolong mampu dan uang yang dipinjam itu dimaksudkan untuk pengembangan usaha, maka perhitungan ekonomi bisa diterapkan dengan tidak lupa mengacu pada ketentuan suku bunga bank pemerintah plus perhitungan resiko yang mungkin terjadi. Maksudnya, karena umunya proses peminjam dilakukan tanpa prosedur administrasi, tidak ada jaminan (borg) hanya berdasar kepercayaan maka boleh saja bunga yang dikenakan relative lebih sedikit. Namun perihal resiko, bank pemerintah relative terjamin sebab bila terjadi kemacetan bisa dilakukan penyitaan asset jaminan. Sedang peminjam pribadi kalau si peminjam tidak sanggup melunasi, karena tanpa jaminan, maka resiko kerugian tak terelakkan lagi.
Yang jelas, sekali lagi diungkapkan bahwa apapun pekerjaan kita termasuk meminjamkan uang dengan harapan memperoleh bunga sepanjang dibenarkan menurut hukum termasuk hukum agama dapat dilakukan tentunya dengan tidak
mengesampingkan hati nurani./span>
Narkoba Termasuk Sad Ripu
Mungkin karena termasuk kategori model prilaku manusia modern, penggunaan narkoba (narkotik dan obat-obatan terlarang) kian ngetrend saja. Sebab bagi sebagian orang ada anggapan bahwa untuk bisa disebut sebagai manusia modern salah satu cirinya adalah selalu mengikuti perkembangan zaman. Tak terkecuali perkembangan yang menjerumuskan diri penggunaan narkoba oleh sebagian anak-anak muda. Dan meski sudah diketahui berakibat fatal bahkan bisa menghacurkan fisik dan masa depannya, tetapi tetap saja sebagian generasi harapan bangsa kita tak kuasa untuk menjadi budak dari narkoba. Dalam pandangan Hindu, penggunaan narkoba dapat dimasukkan sebagai bagian dari Sad Ripu yaitu enam musuh dalam diri yang meliputi :
- Karma (hawa nafsu)
- Lobha (tidak pernah puas dengan apa yang ada)
- Krodha (kemarahan)
- Mada (mabuk)
- Moha (kebingungan)
- Matsarya (iri hati/dengki)
Siapappun dia jika telah mengkonsumsi narkoba apalagi sampai berada pada tingkat ketagihan maka yang bersangkutan boleh dikatakan sudah dikuasai oleh Sad Ripu.
Dengan mengkonsumsi narkoba, berarti si pengguna tidak bisa menahan atau mengendalikan hawa nafsu (kama) untuk menjaga batas-batas wajar dan benar tentang apa yang patut dikonsumsi dan apa pula yang tak pantas dinikmati. Dengan kama yang tidak bisa dikendalikan itu membuat dia tidak pernah merasa puas dengan apa yang bisa dan bisa dinikmati (lobha). Makanan dan minuman yang layak dinikmati dianggap belum cukup jika tanpa mencicipi narkoba. Dan apabila tidak dapat dipenuhi kecanduannya terhadap narkoba, ia bisa marah (krodha) sehingga membuatnya berusaha mendapatkan narkoba dengan cara apa saja. Dan jika sudah didapat, dengan perasaan senang tanpa beban ia akan menikmati narkoba itu sampai mabuk (mada) lalu dihanyutkan alam pikiranya ke suasana ilusi, halusinasi dan mimpi-mimpi yang kosong. Akibat berikutnya menjadikan pengguna narkoba mengalami kebingungan (moha).
Pikirannya sudah tidak sehat lagi, fisiknya pun dapat menjadi rapuh. Pelan tetapi pasti para pencandu narkoba sedang menyiapkan liang kubur untuk dirinya sendiri. Dan ketika disadari lingkungan sosial dirinya tidak menghendaki keberadaannya, ia akan bersikap benci ataupun irihati kepada sesamanya. Akhirnya si pecandu narkoba benar-benar telah berada pada pelukan Sad Ripu yang sesungguhnya adalah pintu utama untuk menuju ke neraka. Karena itu, kitab suci Bhagavadgita V. 22 mengingatkan : “kenikmatan yang berasal dari hubungan dengan duniawi (termasuk narkoba) hanya merupakan sumber penderitaan belaka, ada awalnya dan ada akhirnya. Seorang budiman ia tidak akan tertarik pada semua itu”.
Bagi generasi muda Hindu tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan untuk terhindar dari jebakan narkoba selain cara meningkatkan sraddha bhakti dan pandai-pandai memilah dan memilih teman dalam pergaulan sehari-hari. Yang pasti menghindar dari narkoba berarti sudah berhasil mengalahkan sebagian Sad Ripu./span>
Apa Boleh Merayakan Tahun Baru di Pura
Menurut konsepsinya, pura adalah tempat suci untuk melakukan persembahyangan atau menghaturkan persembahan sebagai wujud bhakti umat kehadapan Hyang Widhi dan juga Bhatara-Bhatari. Dalam perkembangannya, fungsi pura dapat diperluas dengan melihat struktur pura itu sendiri dan kepentingan umat/krama penyungsung. Misalnya, di jaba pura, umat bisa mengadakan kegiatan dharma tula, dharmagita, latihan menari, menabuh, mejejaitan, pesraman, dan lain-lain yang masih sesuai atau berada dalam konteks aktivitas adat, budaya dan agama Hindu.
Diluar konteks itu, tetap masih bisa menerima atau ditoleransi, sepanjang mempunyai tujuan yang baik dan benar. Termasuk adanya keinginan untuk merayakan malam tahun baru di pura, boleh saja dilakukan, dengan syarat, acara/kegiatan yang diadakan tetap bernuansa religius. Maksudnya tidak seperti perayaan malam tahun baru yang menjadi trend modern, yang cenderung menampilkan bahkan menonjolkan acara hura-hura, glamor: ada pesta, minum-minuman keras sampai mabuk. Membunyikan petasan, bahkan ada yang melakukan seks party. Untuk model perayaan tahun baru begini jelas sangat dilarang di adakan di pura.
Model kegiatan yang boleh dilakukan untuk merayakan malam tahun baru di pura antara lain : menggelar acara diskusi keagamaan baik yang bersifat untuk menambah pengetahuan ataupun yang mengajak perenungan. Bisa juga dengan mengadakan “pesantian”, lomba mejejaitan, parade tari wali, dll yang tidak lepas dari nuansa keagamaan. Begitupun ketika menjelang detik-detik pergantian tahun baru tiba, sangat baik diisi dengan meditasi sebagai media intirospeksi (mulat sarira) tentang apa yang sudah dilakukan dan langkah apa yang akan dijalani kedepan untuk memperbaiki segala perbuatan yang tergolong asubhakarma/adharma.
Dengan cara itu perayaan malam tahun baru nampaknya akan jauh lebih bermakna dan menyentuh sampai ke relung imani bahwa pergantian tahun (apapun namnya : masehi dan Caka) pada hakekatnya adalah sebuah momentum untuk selalu “eling” bahwa hidup yang begitu singkat itu patut dimanfaatkan untuk menyempurnakan karma yang asubhakrama/adharma menjadi subhakarma/dharma. Sebab sebaigaimana telah disuratkan di dalam kitab Sarasamuscaya, 2 ditegaskan bahwa : “ dari demikian banyaknya semua makhluk hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat bernuat perbuatan baik-buruk itu, adapun untuk peleburan perbuatan buruk kedalam perbuatan yang baik itulah manfaatnya menjadi manusia./span>
Saiban dari Nasi Magic Jar
Sesuai dengan sifat agama Hindu yang “sanatana”, maka perubahan atau perkembangan apapun yang terjadi pada setiap zaman, praktek keagamaan umat Hindu akan selalu dapat beradaptasi. Apalagi jika berkaitan dengan hal-hal yang bersifat materi/kebendaan, ajaran agama Hindu tidak diterapkan secara kaku. Sepanjang tetap berpijak pada esensi yang hakiki dari ajaran agama Hindu, apapun benduk perubahan yang berhubungan dengan “kulit luar”, dapat diterima dan dibenarkan. Sesungguhnya hanya menyangkut soal “waktu” dan “etika”.
Sebelum munculnya alat masak/penghangat makanan seperti rise cooker dan juga magic jar, secara konvesional setiap keluarga Hindu akan menghaturkan “banten saiban” begitu selesai menanak nasi dan memasak sayur plus lauk. Apa yang tadinya ditanak dan dimasak umumnya akan habis untuk keperluan mengisi perut hari itu juga (tidak ada yang disisakan/disimpan). Esoknya begitu lagi dan selalu berhubungan dengan waktu : pagi masak, malam habis. Sekarang dengan adanya rice cooker dan majic jar, persoalan waktu menjadi fleksibel. Karena makanan (terutama nasi dan lauk) akan menjadi terus panas (seolah baru selesai dimasak). Bahkan bisa tetap panas selama dikehendaki (2 atau 3 hari). Selama makanan itu masih ada dan tersedia di rice cooker dan magic jar, maka kegiatan menanak dan memasak tidak lagi dilakukan. Padahal “mebanten saiban” secara tradisi dilakukan pada pagi hari setelah selesai memasak.
Maka, dari persoalan waktu merembet kepada masalah etika. Etiskah kita menghaturkan makanan (nasi dan sedikit lauk) kepada Ida Bhatara, yang dalam kurun waktu 2 atau 3 hari juga turut kita nikmati? Bukankah itu namanya “carikan/lungsuran”? kalau memang dengan teknik “campur baur” artinya untuk menghaturkan dan dimakan sama saja, diambil diaduk ditempat yang sama, jelas tidak etis dan juga tidak dibenarkan. Orang tua kita selalu menasehati “sing dadi nyecel ajengan” (tidak boleh mengaduk-ngaduk makanan), apalagi untuk kepentingan “banten”. Untuk itu, teknik yang dapat digunakan untuk tidak “melanggar” etika, adalah dengan cara menempatkan sebagian dari makanan (nasi dan lauk) pada wadah tersendiri (rantang, mangkok, atau plastik) lalu ditauruh kembali di rice cooker atau magic jar yang sama. Kemudian setiap pagi sebelum sarapan, digunakan untuk “banten saiban”. Dengan begitu persoalan “waktu” dan “etika” dapat dinetrallisir alias tidak lagi menimbulkan perasaan “tidak enak”. Dan, sebagaimana disuratkan didalam kitab suci Bhagavadgita, (III.13 dengan memakan sisa yajna itulah kita akan dapat terlepas dari segala dosa. Sebaliknya ia yang hanya memasak makanan untuk dirinya sendiri, sesungguhnya ia makan dosa.
Apakah tiap Anak Perlu Dipeluasang
Keyakinan adanya penjelmaan kembali menjadikan umat Hindu khususnya yang berkembang di Bali untuk berusaha ingin tahu, siapa yang sebenarnya yang menjelma atau numadi pada diri seseorang yang baru dilahirkan. Maka muncullah trasisi yang sepertinya menjadi kebiasaan (bukan keharusan) untuk “mepeluasang/meluasang”. Prakteknya, pihak keluarga yang mempunyai kelahiran bayi akan mendatangi seorang balian (dukun) yang kemudian dengan “kemampuannya” bisa “menghubungi” sang pitara sehingga tercipta semacam dialog atau Tanya jawab. Inti dialog itu berkisar pada pertanyaan tentang siapa gerangan yang menjelma (numadi) pada diri si bayi dan apa pula permintaannya. Biasanya akan disebutlah salah seorang leluhurnya yang sudah meninggal. Misalnya, “pernah” kakeknya yang bernama si A atau “pernah” neneknya yang bernama si C yang turun menjelma (numadi) pada diri si bayi.
Perlu di pahami bahwa yang dimaksud menjelma disinitidak dalam pengertian secara genital. Artinya karena dikatakan pernah kakeknya yang menjelma maka bayi itu kelamin laki-laki. Tidak selalu begitu. Bisa jadi meski yang dikatakan turun menjelma adalah “pernah” neneknya tetapi kenyataannya yang lahir adalah bayi laki-laki.
Dalam pemahaman Sradha Punarbhawa, yang turun menjelma adalah sifat-sifat roh sang numadi yang penjelmaan diharapkan dapat memperbaiki dan atau menyempurnakan karmanya dari asubhakarma menjadi subhakarma. Jadi, dalam proses penjelmaan, bukan jenis kelaminnya yang penting tetapi sifat-sifat sang dumadi itu yang melalui penumadiannya kini akan terus berikhtiar menyempurnakan karmanya. Dengan mengetahui bagaimana sifat-sifat sang Pitara yang yang numadi, maka diharapkan sang bayi yang kelak tumbuh menjadi besar dapat menyadari tentang siapa dan bagaimana sebenarnya jati dirinya. Kesadaran akan jati dirinya itulah yang diharapkan dapat mendorong dirinya untuk menjadi anak yang “saputra”. Karena hakikat “putra” adalah penyelamat leluhur dadi penderitaan.
Tentang umur berapa biasanya si bayi dipeluasang, umumnya dilakukan setelah usai memperingati hari yang ke-12 dari kelahirannya. Tetapi ada pula yang langsung meluasang begitu si bayi dilahirkan. Dan dalam proses meluasang itu selain diketahui siapa yang numadi juga didapat keterangan perihal permintaan sang dumadi. Terhadap permintaan ini bisa ditunda pemenuhannya, tetapi karena umumnya permintaan sangat sederhana misalnya minta busana kuning atau agar dipertunjukkan wayang saat ngotonin nanti, maka sungguh tidak baik kalau sampai tidak dipenuhi.
Bolehkah Lebuh di Ujung Gang
Umunya segala hal yang berhubungan dengan pembangunan dan atau pendirian suatu bangunan baik untuk perumahan maupun tempat suci banyak tersurat di dalam lontar Asta Kosala Kosali dan Lontar Astha Bumi. Di lontar-lontar lain ada pula menyinggungnya meski dari sisi yang berbeda, seperti lontar Asta Dewa, lontar Dewa Tattwa yang banyak mengulas perihal tata laksana dan pesucian suatu bangunan.
Penempatan “lebuh” atau “pemesu”, disebut juga “lawang” atau “dwara” yang merupakan pintu/gerbang keluar masuknya suatu areal pekarangan dalam hal ini rumah tidak bisa dilepaskan dengan konsep Tri Mandala (Tri Angga). Konsep itu menjabarkan bahwa suatu wilayah atau pekarangan pada dasarnya bisa dibagi atas tiga bagian yaitu :
1. Utama Mandala (wilayah parahyangan) yang termasuk kawasan hulu (suci) dengan posisi dalam “pengider-ideran” di arah utara (kaja) atau timur (kangin) atau tumor laut (kaja kangin).
2. Madya Mandala (wilayah pawongan)
3. Nista Mandala (wilayah palemahan) yang termasuk kawasan teben (profane).
Berpijak pada uraian singkat ini, maka penempatan “lebuh” akan selalu diusahakan berada pada posisi Madya Mandala atau Nista Mandala, suatu wilayah atau kawasan yang memang bersifat profan (tidak suci). Jika dipaksakan (mungkin karena situasi pekarangan) boleh-bileh saja asal tidak “ngungkulin parahyangan”.
Letak lebuh di ujung gang yang di apit oleh pekarangan milik orang lain boleh saja. Tetapi untuk tidak menjadi berbentuk “tumbak rurung” sebaiknya dibuatkan “tembok tumbak rurung”, semacam tembok yang sejajar dengan pintu masuk tetepi agak kedalam. Terakhir tentang penggunaan “lebuh” lebih dari 1 KK, asal masih memiliki hubungan “mesanggah” boleh-boleh saja. Di zaman majemuk ini orang tidak begitu lagi memperhatikan hal ini.