Secara prinsip istilah pemedek, penyungsung dan pengemong sesungguhnya memiliki arti yang tidak jauh berbeda, karena ketiganya sama-sama berkaitan dengan umat dan pura. Umat sebagai hamba Tuhan berkewajiban menjalankan perintahnya dan pura sebagai tempat suci bagi umat Hindu untuk “berhubungan” dengan-Nya melalui persembahyangan ataupun persembahan.
Meskipun memiliki persamaan, ketiga istilah itu dimunculkan karena ada juga perbedaannya. Kata “pemedek” berasal dari kata “pedek” yang berarti orang atau umat yang mendekatkan diri pada Tuhan. Lalu “penyungsung” berasal dari kata “sungsung” yang berarti “jungjung”, “menjungjung” atau “memuliakan”. Sedangkan istilah “pengemong” yang berasal dari kata “emong” mengandung arti “mengayomi atau melindung”. Penjelasan lengkapnya kurang lebih begini, jika seorang atau serombongan umat Hindu datang dan mengadakan kegiatan persembahyangan atau persembahan di sebuah pura atau di beberapa pura dengan status kahyangan umum dan tanpa terikat pada ikatan-ikatan khusus seperti keturunan (kawitan) maka mereka disebut pemedek. Misalnya ketika diadakan upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih, maka seluruh umat Hindu dengan tanpa membedakan asal-usul keturunan (Kawitan) dapat datang “pedek-tangkil” untuk “ngaturang bhakti” pada Hyang Widhi.
Lain halnya dengan pengertian penyungsung, maknanya lebih tertuju pada umat Hindu yang secara khusus mempunyai hubungan genealogis (keturunan) dan fungsional sesuai dengan profesinya. Contohnya, umat Hindu (di Bali) yang berasal dari keturunan Arya Kepakisan, maka mereka akan menjadi penyungsung dari Pura Kawitan yang ada di Br. Dukuh, Gelgel-Klungkung. Begitu juga Pura Dalem Peed Nusa Penida misalnya, kendati disungsung umat Hindu secara umum, secara khusus juga menjadi Pura Penyungsungan bagi kelompok umat yang berprofesi sebagai dukun atau balian.
Pura Subak pun demikian, hanya disungsung oleh karma/umat Hindu yang berprofesi sebagai petani setempat. Sedangkan yang namanya “pengemong” lebih terkait dengan pihak tertentu yang memberi pengayoman atau perlindungan terhadap keberadaan suatu pura. Dalam konteks pura-pura di Bali, di zaman kerajaan lampau sudah lumrah kerajaan-kerajaan yang berkuasa menjadi pengayom/pelindung satu atau beberapa Pura yang berada di wilayah kerajaannya. Pengayoman atau perlindungan mana diberikan tidak saja secara fisik, financial juga dari segi terselenggaranya kegiatan upacara yajna di pura tersebut. Hal begini sampai sekarang masih diberlakukan untuk pura-pura yang berada di Kompleks Pura Besakih, dimana tiap Kabupaten/Kotamadya di Bali mendapat “jatah” sebagai “pengemong” pura-pura tertentu di Besakih, maka Pemda Bali bertindak selaku Sang Yajamana secara keseluruhan.
Pemedek, Penyungsung dan Pengemong
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Suksma infonya
ReplyDelete