Melihat banten atau orang ngaturang banten tanpa disertai dengan pengetahuan dan penghayatan serta keyakinan tentang ajaran yajna, tak ubahnya dengan menyaksikan seseorang memberikan bingkisan kepada orang lain. Titik fokusnya adalah materi/benda. Begitu bingkisan itu diserah-terimakan selesai sudah acara pemberian itu. Cara pandang begini tidak dapat dilakukan pada aktivitas “mebanten”. Meski secara kasat mata, yang nampak hanyalah sesuatu yang bersifat materi/benda seperti unsure daun, bunga, buah, air dan lain-lain tetapi dibalik “banten” itu terkandung makna yang teramat dalam. Paling tidak ada dua unsure yang terkandung di dalam perbuatan “ngaturang banten”, yaitu kualitas dan kuantitas. Yang menjadi landasan pertama dari “mebanten” itu adalah kualitas diri, meliputi : keyakinan, bahwa perbuatan mebanten itu merupakan kewajiban agama yang patut dijalankan. Kalau tidak yakin, kendati bersangkutan orang Hindu, sebaiknya tidak memaksakan diri “ngaturang banten”. Karena hanya dengan keyakinan (sradha) apa yang kita persembahkan sebagai wujud bhakti akan diterima oleh-Nya.
Selain keyakinan, juga disertai dengan kerelaan mengorbankan sesuatu yang kita miliki untuk dipersembahkan secara tulus iklas dengan tanpa berpikir akan mendapatkan pamrih. Unsure kualitas diri (keyakinan, bhakti, pengorbanan, tulus iklas dan tanpa pamrih), ini merupakan bagian yang tidak mudah dilihat oleh seseorang ketika ia melihat umat Hindu “ngaturang banten”. Dan mengapa harus memenuhi unsure kualitas diri dalam “mebanten”? karena itulah yang akan menjadi “bahasa pengantar” terhadap unsure kuantitas (materi, jumlah dan jenis) yang hendak dipersembahkan kepada-Nya. Jadi, sesungguhnya unsure kuantitas (materi/benda) lebih berposisi sebagai symbol nyata dari pengorbanan itu sendiri. Bukakah Hyang Widhi, Ida Bhatara seseorang kasat mata “tidak menikmati” apa yang dipersembahkan? Akhirnya umat yang “ngaturang banten” itu juga yang akan menikmati apa yang tadinya dipersembahkan, sebagai prasadam (symbol waranugraha-Nya).
Lebih dari itu, selain mengandung unsure kualitas dan kuantitas, perbuatan ngaturang banten itu juga memberi efek sugesti dan psikologis yang sangat kuat. Betapa media banten telah mampu memberikan “rasa dekat” dengan-Nya dan perasaan tenang serta damai seperti mudah menyelimuti diri kita seusai “mebanten”. Inilah nilai tertinggi dari “mebanten” yang memang bagi orang awam tak terjangkau oleh pikirannya. Karena itu, bagi orang awam, apalagi yang memang tidak mempunyai keyakinan tentang banten (yajna) boleh saja melihat tetapi untuk menilainya sebaiknya tidak dilakukan.
Banten bukan sekedar Materi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment