Di dalam sastra-sastra agama, Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara disebut dengan istilah Nilapati. Dan di masyarakat sendiri ada istilah lain sebagai padanannya yaitu : Ngaluwurang dan Ngenteg Linggih. Pada zaman Hindu di Jawa, Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara juga ada namun disebut dengan nama Dhinarma yang artinya menstanakan arwah yang telah disucikan ke dalam suatu dharma atau sudharma (candi).
Pada hakikatnya, Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara adalah upacara Atmapratistha yaitu suatu upacara mempratisthakan atma atau ngalinggihang arwah yang telah menjadi Dewa Pitara (tentunya setelah melalui rangkaian upacara Ngaben dan mamukur) pada palinggih kamulan atau kawitan (rong telu) di sanggah atau merajan. Pelaksanaannya, mula-mula sang Dewa Pitara dipratisthakan pada daksina palinggih (karena tidak ada lagi sarinya) dan lanjut daksina palinggih itu dipratisthakan atau dilinggihkan pada palinggih kamulan atau kawitan yang berbentuk rong tiga, susunannya, Sang Dewa Pitara yang lanang (laki) dilinggihkan pada rong palinggih di kanan dan sang Dewa Pitara yang istri (wanita) dilinggihkan pada rong palinggih di kiri (arahnya dilihat dari arah hadap palinggih itu sendiri).
Sebagai perbandingan, pada jaman Hindu di Jawa, Sanga Dewa Pitara dipratisthakan pada arca perwujudan (arca yang mewujudkan/menggambarkan sang raja ketika masih hidup sesuai dengan sifat-sifatnya dan agama yang dipeluknya) dan arca perwujudan itu lalu dipratisthakan pada suatu candi. Hal seperti ini juga dilaksanakan di Bali tahun 1489. karena itu sampai saat ini banyak terdapat peninggalan arca-arca perwujudan pada beberapa Pura Kuno di Bali, seperti di Pura Bukit Penulisan Kintamani, Pura Penataran Sasih Pejeng. Dalam perkembangan tradisi mengarcakan sang Dewa Pitara di Bali tidak lagi diteruskan. Sebagai pengganti arca perwujudan itu adalah Daksina palinggih. Begitu pun dengan arca untuk Pralingga Bhatara tidak lagi dibuat melainkan diganti dengan Daksina Palinggih.
Tetapi meskipun terjadi perubahan, tepatnya pergantian bentuk dari penggunaan arca perwujudan diganti dengan daksina palinggih, tradisi upacara pratistha atau ngelinggihang baik Atmapratistha maupun Dewapratistha tetap dilaksanakan hingga kini. Karena Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara ini mengandung makna sebagai preses bhakti yang terus menerus tanpa terputuskan dalam rangka sradha dan bhakti para preti sentana kepada para leluhurnya yang berada atau berkedudukan sebagai Dewa Pitara (roh leluhur yang telah suci dan diyakini tinggal di alam Dewa).
Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara merupakan sebagian dari upacara Mamukur, pada kenyataannya tidak, tetapi di lihat dari urut upacara yang harus dilalui dalam upacara Pitra Yajna maka sebenarnyalah upacara Ngalinggihang Dewa Pitara ini merupakan kelanjutan dari upacara Mamukur sekaligus merupakan pertanda bagi preti sentananya bahwa leluhurnya telah suci dan layak disembah setara dengan Dewa.
Apa Maksud Ngalinggihang Dewa Pitara
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment