Umunya segala hal yang berhubungan dengan pembangunan dan atau pendirian suatu bangunan baik untuk perumahan maupun tempat suci banyak tersurat di dalam lontar Asta Kosala Kosali dan Lontar Astha Bumi. Di lontar-lontar lain ada pula menyinggungnya meski dari sisi yang berbeda, seperti lontar Asta Dewa, lontar Dewa Tattwa yang banyak mengulas perihal tata laksana dan pesucian suatu bangunan.
Penempatan “lebuh” atau “pemesu”, disebut juga “lawang” atau “dwara” yang merupakan pintu/gerbang keluar masuknya suatu areal pekarangan dalam hal ini rumah tidak bisa dilepaskan dengan konsep Tri Mandala (Tri Angga). Konsep itu menjabarkan bahwa suatu wilayah atau pekarangan pada dasarnya bisa dibagi atas tiga bagian yaitu :
1. Utama Mandala (wilayah parahyangan) yang termasuk kawasan hulu (suci) dengan posisi dalam “pengider-ideran” di arah utara (kaja) atau timur (kangin) atau tumor laut (kaja kangin).
2. Madya Mandala (wilayah pawongan)
3. Nista Mandala (wilayah palemahan) yang termasuk kawasan teben (profane).
Berpijak pada uraian singkat ini, maka penempatan “lebuh” akan selalu diusahakan berada pada posisi Madya Mandala atau Nista Mandala, suatu wilayah atau kawasan yang memang bersifat profan (tidak suci). Jika dipaksakan (mungkin karena situasi pekarangan) boleh-bileh saja asal tidak “ngungkulin parahyangan”.
Letak lebuh di ujung gang yang di apit oleh pekarangan milik orang lain boleh saja. Tetapi untuk tidak menjadi berbentuk “tumbak rurung” sebaiknya dibuatkan “tembok tumbak rurung”, semacam tembok yang sejajar dengan pintu masuk tetepi agak kedalam. Terakhir tentang penggunaan “lebuh” lebih dari 1 KK, asal masih memiliki hubungan “mesanggah” boleh-boleh saja. Di zaman majemuk ini orang tidak begitu lagi memperhatikan hal ini.
Bolehkah Lebuh di Ujung Gang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment