E-mail : pasek.trunyan@gmail.com
=

Tri Hita Karana

Tri Hita Karana
Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kebahagiaan dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti tiga penyebab terciptanya kebahagiaan

Tiga penyebab kebahagiaan termaksud adalah adanya :
1. Hubungan baik manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Hubungan baik manusia dengan manusia lainnya.
3. Hubungan baik manusia dengan lingkungannya.

Berikut ini disampaikan penjelasannya lebih jauh.

1. Hubungan baik manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan Atman yang ada dalam diri manusia merupakan percikan sinar suci kebesaran Tuhan yang menyebabkan manusia dapat hidup. Dilihat dari segi ini sesungguhnya manusia itu berhutang nyawa terhadap Tuhan. Oleh karena itu umat Hindu wajib berterima kasih, berbhakti dan selalu sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Rasa terima kasih dan sujud bhakti itu dapat dinyatakan dalam bentuk puja dan puji terhadap kebesaran Nya, yaitu :
- Dengan bersembahyang dan melaksanakan yadnya.
- Dengan melaksanakan Tirtha Yatra atau Dharma Yatra, yaitu kunjungan ketempat-tempat suci.
- Dengan melaksanakan Yoga Samadhi.
- Dengan mempelajari, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama.

2. Hubungan baik manusia dengan manusia lainnya.
Sebagai mahluk social, umat Hindu tidak dapat hidup menyendiri. Mereka memerlukan bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Karena itu hubungan antara sesamanya harus selalu baik dan harmonis. Hubungan antar manusia harus diatur dengan dasar saling asah, saling asih dan saling asuh, saling menghargai, saling mengasihi dan saling membingbing. Hubungan antar keluarga dirumah tangga harus harmonis. Hubungan dengan masyarakat lainya juga harus harmonis. Hubungan baik ini akan menciptakan keamanan dan kedamaian lahir batin di masyarakat. Masyarakat yang aman dan damai akan menciptakan Negara yang tenteram dan sejahtera.

3. Hubungan baik manusia dengan lingkungannya.
Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungannya. Manusia dengan demikian sangat tergantung kepada lingkungannya. Oleh karena itu umat Hindu harus selalu memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya. Lingkungan harus selalu dijaga dan dipelihara serta tidak dirusak. Lingkungan harus selalu bersih dan rapi. Lingkungan tidak boleh dikotori atau dirusak. Hutan tidak boleh ditebang semuanya, binatang-binatang tidak boleh diburu seenaknya, karena dapat menganggu keseimbangan alam. Lingkungan justu harus dijaga kerapiannya, keserasiannya dan kelestariannya. Lingkungan yang ditata dengan rapi dan bersih akan menciptakan keindahan. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam diri manusia.

Read More......

Catur Prawrti, Wiweka dan Tat Twam Asi

Banten
Catur Prawrti merupakan empat pedoman hidup yang patut diikuti dan dilaksanakan oleh segenap umat Hindu. Keempat pedoman hidup itu adalah :
- Arjawa artinya bersikap jujur dan menjaga kebenaran.
- Anrsangsa artinya tidak mementingkan diri sendiri.
- Dama artinya senang mengendalikan diri.
- Indranigraha artinya dapat mengendalikan nafsu seksual dan nafsu jahat lainya.

Wiweka adalah perilaku yang hati-hati dan penuh petimbangan artinya tidak pernah ceroboh dalam bertindak. Wiweka selalu mempergunakan akal sehat dan pikiran yang fositif, serta selalu mengutamakan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik. Perilaku seperti ini patut diikuti dan dilaksanakan oleh umat Hindu.

Tat Twam Asi berasal dari kata “Tat” yang berarti “Itu”, “Twam” berarti “Kamu”, dan “Asi” berarti “adalah”. Jadi Tat Twam Asi dapat diartikan menjadi “Itu adalah Kamu”. Kata “Itu” dapat pula diartikan sebagai “Dia” sehingga Tat Twam Asi dapat bermakna “Dia adalah Kamu”. Secara bebas dapat pula diterjemahkan menjadi “Kamu adalah Dia” jadi kamu adalah dia itu adalah sama saja. Ini berarti bahwa semua manusia pada hakekatnya adalah sama. Jika dilihat dari segi Atman atau jiwanya, maka Tat Twam Asi dapat diartikan sebagai “jiwa orang itu adalah jiwa kamu”. Jadi Atman orang ini dan Atman orang itu adalah sama. Atman itu memang sama karena bersumber dari percikan sinar suci Tuhan Yang Satu. Semua manusia sebenarnya memang bersaudara.

Read More......

Upacara - Upacara Hari Raya Hindu Berdasarkan Pawukon

Wuku Kuningan

- Ulihan

Dirayakan pada hari Redite atau Minggu Wage wuku Kuningan, merupakan saat kembalinya para Dewa ke Kahyangannya masing-masing, setelah memberikan berkah keselamatan, panjang umur kepada yang ditinggalkannya, yaitu para pewaris dan penerusnya.

Tempat pelaksanaan upacara:
Di sanggah, merajan, atau sejenis dengan itu.

Sarana upakara berupa :
Rempah-rempah, beras dan lain sejenisnya, yang berfungsi sebagai oleh-oleh untuk bekal kembali.

- Pemacekan Agung

Dirayakan setiap Coma atau senin Kliwon wuku Kuningan, 210 hari atau enam bulan sekali. Pemacekan Agung merupakan tonggak batas antara permulaan dan berakhirnya kegiatan Galungan, yang dimulai dari Tumpek Wariga hingga Buda Kliwon Paang. Tujuan upacara adalah untuk mengembalikan Bhuta Galungan beserta para pengikutnya kembali ke tempat asalnya.

Tempat pelaksanaan upacara :
Di depan pekarangan rumah atau lebuh.

Sarana upakara berupa :
segehan agung memakai penyambleh ayam samalulung.

- Piodalan Bhatara Wisnu

Dirayakan pada hari Buda atau Rebo Paing wuku Kuningan, tiga hari sebelum Kuningan.

Pelaksanaan upacara :
Di paibon, dadia atau panti.

Sarana upakara berupa :
Sirih dikapuri, putih, hijau, pinang 26 disertai tumpeng hitam serta reruntutannya, bunga-bunga harum. Dapat dilengkapi lagi dan disesuaikan dengan desa, kala, patra.

- Penampahan Kuningan

Jatuh pada hari Sukra atau Jumat Wage wuku Kuningan, merupakan kegiatan untuk mempersiapkan upacara dan upakara untuk hari raya Kuningan.

- Hari Kuningan

Dirayakan setiap hari Saniscara atau Sabtu Kliwon wuku Kuningan, sepuluh hari setelah Galungan. Datangnya setiap 210 hari atau enam bulan sekali. Pada hari Kuningan ini para Dewa, Leluhur, dan Pitra turun melaksanakan pesucian serta menikmati sesajen dan kemudian kembali ke kahyangannya masing-masing.

Tempat pelaksanaan upacara :
Di sanggah, pamerajan atau yang sejenis dengan itu.

Sarana upakara berupa :
Sega, selanggi, tebong, raka-raka, pesucian, dilengkapi dengan hiasan berupa jejahitan tamiang, kolem, ter, candiga yang diletakkan pada bangunan-bangunan.

Untuk manusia yadnya : upakara berupa :
sesayut prayascita luwih, punjung kuning, daging itik putih, penyeneng, dan tetebus.

Untuk di natar pekarangan : upakara berupa :
Segehan agung dan upacaranya dilakukan sebelum jam 12 siang, atau sebelum tengah hari.

Read More......

Upacara - Upacara Hari Raya Hindu Berdasarkan Pawukon

Wuku Dungulan

- Redite atau Minggu Paing Wuku Dungulan

Disebut hari Penyekeban, yaitu hari baik untuk memulai melaksanakan pengendalian diri terhadap nafsu-nafsu negatif dalam menyongsong hari raya Galungan yang akan tiba. Saat ini pula mulai turunnya Sanghyang Kala Tiga Wisesa, menjelma menjadi Ki Bhuta Galungan, menguji ketabahan dan kewaspadaan manusia.

- Coma atau Senin Pon Wuku Dungulan

Disebut Penyajahan Galungan, bermakna sebagai hari yang baik untuk membuat persiapan jajan, sebagai lambang kesungguhan hati. Saat ini turun Sang Bhuta Dungulan masih memuji ketabahan dan kewaspadaan manusia dalam menyambut Galungan tiba.

- Anggara atau Selasa Wage Wuku Dungulan

Disebut hari Penampaan Galungan. Saat ini baik dipakai untuk memotong hewan seperti babi yang dijadikan sarana upakara Galungan berupa : sate, lawar, dan lain sejenisnya. Pada hari Penampaan ini Sang Bhuta Amangkurat, yaitu bhuta yang paling hebat menguji ketabahan dan kewaspadaan manusia.

Upacara dilaksanakan
Di natar atau halaman rumah (lebuh).

Sarana upakara berupa :
Segehan warna tiga berjejer, terdiri atas : warna putih 5 tanding, merah 9 tanding, dan hitam 4 tanding, memakai daging olahan dari babi yang lengkap berisi tetabuhan arak, berem, tuak, dan toya hening, serta segehan agung.
Sore harinya menjelang malam, semua anggota keluarga kecuali anak-anak yang belum tanggal giginya, dilaksanakan upacara mabyakala, maprayascita, setelah selesai dilanjutkan dengan memasang penjor.

- Galungan

Dirayakan pada hari Buda atau Rebo Kliwon wuku Dungulan, setiap 210 hari atau enam bulan sekali sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma. Juga dikenal dengan nama hari Pawedalan Jagat, yang bermakna untuk memusatkan pikiran agar suci dan bersih disertai dengan melaksanakan upacara-upacara persembahan kehadapan para Dewa dan leluhur di semua tempat-tempat suci yang ada yaitu dari perumahan sampai ke parahyangan.

Sarana upakara berupa :

Untuk di sanggar, pemerajan, parhyangan terdiri atas tumpeng payas, pesucian, dan wangi-wangian.

Untuk di balai-balai terdiri atas : tumpeng pengambyan, jerimpen pajegan, sodan memakai daging babi diolah.

Pada semua bangunan dipersembahkan upakara seperlunya, sesuai dengan desa, kala, dan patra.

- Umanis Galungan

Dirayakan setiap hari Wraspati atau Kamis Umanis wuku Dungulan, sehari setelah Galungan.

Pelaksanaan upacara :
Untuk di sanggar, merajan, atau sejenis dengan itu, mempersembahkan wangi-wangian, air kumkuman, asep (dupa), dan setelah itu mohon tirtha Galungan.
Untuk ni natar sanggah : menghaturkan segehan sesuai dengan desa, kala, dan patra.

- Pemaridan Guru

Dirayakan setiap hari Saniscara atau Sabtu Pon wuku Dungulan. Upacaranya bermakna untuk pembersihan terhadap diri pribadi dan memohon tirtha pada pendeta. Selesai itu dilanjutkan dengan nyurud banten berupa “Tumpeng Guru” di Sanggah Kemulan bersama-sama keluarga, yang bermakna untuk memohon berkah keselamatan secara lahir dan bathin.

Tempat pelaksanaan upacara :
Di sanggah atai merajan

Upakara terdiri atas :
Ketupat banjotan atau kelan dampulan, canang meraka, dan wangi-wangian.

Read More......

Upacara - Upacara Hari Raya Hindu Berdasarkan Pawukon

Wuku Ukir

- Piodalan Bhatara Guru

Dirayakan pada hari Redite atau Minggu Umanis wuku Ukir setiap 210 hari atau enam bulan sekali, Bhatara Guru adalah menifestasi Hyang Widhi Wasa yang memberikan tuntunan pada keturunannya.

Pelaksanaan upacaranya :
Di sanggah kemulan.

Sarana upakara berupa :
Pengambyan 1, sedah ingapon atau sirih diberi kapur sebanyak 25 lembar, kewangen 8 buah. Upakara ini dapat di tambahi lagi, sesuaikan dengan desa, kala, dan patra.

Wuku Kulantir

- Piodalan Bhatara Mahadewa
Dirayakan setiap Anggara atau Selasa wuku Kulantir 210 hari atau enam bulan sekali. Mahadewa adalah manifestasi dari Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa alam semesta.

Pelaksanaan upacara :
Di Sanggah/Pamerajan.

Sarana upakara berupa :
Sega kuning sapangkonan, memakai daging ayam berbulu kuning dijadikan betutu, sedah woh, sirih, dan pinang dikapuri 22 lembar.

Wuku Wariga

- Tumpek Wariga juga disebut

Tumpek Pengatag, Pengarah, Bubuh, Uduh. Dirayakan pada hari Saniscara atau Sabtu Kliwon wuku Wariga setiap 210 hari atau enam bulan sekali. Pada Tumpek Wariga merupakan Piodalan Bhatara Sangkara, yaitu manifestasi Hyang Widhi Wasa sebagai dewanya tumbuh-tumbuhan.

Tampat pelaksanaan upacara :
Pada salah satu tumbuh-tumbuhan yang dipakai mewakilinya, dapat dibuatkan sebuah tempat untuk meletakkan upakaranya berupa asegan.

Sarana upakara terdiri atas :
Peras, tulung, sasayut cakrageni, tumpeng bubur, tumpeng agung, dagingnya babi atau itik, penyeneng, raka-raka, dan tetebus.
Tujuan upacara :
Memohon agar semua jenis tumbuh-tumbuhan dapat hidup sempurna dan dapat dipakai sarana untuk kehidupan semua makhluk.

Pantangannya :
Saat ini tidak dibenarkan memetik hasilnya, memotong atau mematikan pohonnya. Baik dipakai sebagai hari untuk menanam bibit.

Wuku Warigadian

- Pawedalan Bhatara Brahma

Dirayakan pada hari Saniscara atau Sabtu Paing wuku Warigadian , setiap 210 hari atau enam bulan sekali. Bhatara Brahma merupakan manifestasi Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta segala yang ada.

Tempat pelaksanaan upacara :
Di paibon, dadia, panti dan lain sebagainya.

Sarana upakara berupa :
Sirih, pinang, dan perlengkapan sebatas kemampuan, bunga-bunga harum atau wangi-wangian, serta dapat disesuaikan dengan desa, kala dan patra.

Wuku Sungsang

- Sugihan Jawa

Sering juga disebut hari Parerebuan. Dirayakan pada hari Wraspati atau Kamis Wage wuku Sungsang, setiap 210 hari atau enam bulan sekali. Sugihan Jawa merupakan hari pesucian para Dewa dan Bhatara yang bersthana di Sanggah, Pemerajan, dan tempat-tempat suci lainnya.

Tempat pelaksanaan upacara :
Sanggah, Pemerajan, dan tempat-tempat suci yang lainnya.

Sarana upakara berupa :
Disanggah pemerajan :
Parerebuan lengkap dengan pesucian.
Untuk keluarga : Sesayut.
Untuk rohaniawan :
Malamnya mengadakan renungan suci dengan bunga harum.

- Sugihan Bali

Dirayakan pada hari Sukra atau Jumat Kliwon wuku Sungsang, setiap 210 hari atau enam bulan sekali. Pada hari ini umat Hindu diwajibkan melaksanakan pembersihan terhadap diri pribadi dengan metirtha seperti yang sudah-sudah dilaksanakan.

Read More......

Sad Ripu

Sad Ripu adalah enam jenis sifat yang tidak baik. Sad Ripu berasal dari kata “Sad” yang berarti enam dan “Ripu” yang berarti musuh. Jadi Sad Ripu berarti enam musuh yang ada di dalam diri manusia. Umat Hindu, seyogyanya dapat melenyapkan Sad Ripu yang ada dalam dirinya.

Enam jenis musuh yang harus dibasmi dari dalam diri manusia itu adalah :

1. Kama atau Hawa Nafsu
Setiap orang tentu mempunyai nafsu. Tetapi nafsu itu harus dikendalikan. Umat manusia harus dapat mengendalikan hawa nafsunya agar tidak menghacurkan dirinya sendiri. Hawa nafsu yang tidak terkendali bukan saja akan merusak dirinya sendiri, tetapi juga dapat pula mesusahkan orang lain. Karena itu agama Hindu mengajarkan agar umatnya selalu mengendalikan panca indrianya, mengendalikan dan mengekang hawa nafsu.

2. Loba atau Rakus
Orang yang rakus selalu ingin memiliki lebih dari apa yang sepantasnya dimiliki. Keinginan untuk memiliki yang berlebihan itu akan dipenuhinya dengan jalan apapun, meski bertentangan dengan ajaran agama. Umat Hindu hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan rakus, karena perbuatan itu bukan saja menyusahkan orang lain, tetapi pada gilirannya dapat menyusahkan dirinya sendiri.

3. Kroda atau Marah
Umat Hindu semestinya dapat mengendalikan diri dan tidak lekas marah. Perbuatan marah dapat menyusahkan atau menimbulkan kekecewaan bagi orang lain. Karena itu manusia perlu mengendalikan diri dan menghindari perbuatan marah itu.

4. Moha atau bingung
Pikiran yang bingung tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Kecendrungan orang yang bingung adalah selalu berbuat yang negative dan menyusahkan orang lain sampai kepada membunuh orang lain atau membunuh dirinya sendiri. Agar tidak terjadi kebingungan, manusia hendaknya selalu mengendalikan dirinya, selalu mentaati ajaran-ajaran agamanya, sehingga dapat hidup tenang dan tenteram.

5. Mada atau Mabuk
Orang yang mabuk akan lupa dengan dirinya sendiri maupun kawan-kawannya. Dalam keadaan demikian orang itu akan cenderung untuk berbuat yang merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Umat Hindu hendaknya selalu menjauhkan diri dari perbuatan mabuk.

6. Matsarya atau Irihati
seseorang belum tentu senang melihat orang lain hidup berbahagia. Belum tentu senang melihat orang lain hidup berkecukupan. Orang itu mungkin merasa disaingi atau merasa dikalahkan gengsinya, sehingga timbul rasa irihatinya. Akibatnya timbullah rencana jahat untuk mengalahkan saingannya dengan berbagai cara. Perbuatan ini tidak sesuai dengan ajaran agama. Umat hindu hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu.

Didamping Sad Ripu termasuk diatas, kita juga mengenal apa yang dinamakan Sad Mitra. Keduanya mempunyai enam unsure yang sama, yaitu Kama, Loba, Kroda, Moha, Mada dan Matsarya, tetapi dengan pengertian yang berlawanan. Kalau Sad Ripu merupakan perilaku buruk (negatif), maka Sad Mitra adalah tata laku yang baik dalam pengertian yang fositif.

Read More......

Tri Kaya Parisudha

Perbuatan baik berikutnya yang akan dibahas adalah apa yang dinamakan Tri Kaya Parisudha, dengan urutan seperti dibawah ini.

Pengertian Tri Kaya Parisudha :

Secara amat sedehana Tri Kaya Parisudha dapat diartikan sebagai berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik. Tri Kaya Parisudha berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Kaya” berarti perilaku atau perbuatan dan “Parisudha” yang berarti baik, bersih, suci, atau disucikan. Dengan kata lain, pikiran itu harus baik, perkataan itu harus baik dan perbuatan itupun harus baik. Tri Kaya Parisudha dapat juga dilihat dari segi Tri Kaya itu sendiri. Tri Kaya artinya tiga (sumber) perbuatan. Tri artinya tiga. Kaya artinya perbuatan, kegiatan atau wujud. Ketiga kegiatan dimaksud adalah manah (pikiran), wak atau waca (perkataan) dan kaya (perbuatan).

Dengan adanya pikiran yang baik akan timbul perkataan yang baik, sehingga terwujudlah perbuatan yang baik. Jadi intinya adalah sama, yaitu bahwa pikiran, perkataan dan perbuatan itu harus baik. Dasarnya adalah dari pikiran yang baik. Dengan pikiran yang baik, orang akan berkata yang baik pula. Jadi semua dipengaruhi oleh pikiran. Karena itulah maka orang harus selalu menguasai dan mengendalikan pikirannya, menjaga gerakan dan ketenangan pikirannya, sebab hanya dengan pikiran yang terkendali, tenang dan tenteram sajalah orang dapat berkata dan berbuat baik dan benar.

Posisi Tri Kaya Parisudha dalam Agama Hindu :

Tri Kaya Parisudha termasuk dalam Samanya Dharmasastra yaitu etika agama Hindu yang berlaku umum dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Skema Kerangka Dasar Agama Hindu dan Skema Etika Agama Hindu sudah ditunjukkan dimana posisi Tri Kaya Parisudha dalam Agama Hindu.

Bagian-Bagian Tri Kaya Parisudha :

Seperti sudah disinggung diatas, Tri Kaya Parisudha terdiri atas tiga bagian berikut ini :
1. Manacika atau berpikir yang baik
2. Wacika atau berkata yang baik
3. Kayika atau berbuat yang baik.

Untuk dapat diperoleh gambaran yang lebih lengkap, dibawah ini disampaikan uraian lebih lanjut mengenai ketiganya.

1. Manacika atau berpikir yang baik :

Manas atau manah itu berarti pikiran. Manacika dapat diartikan sebagai segala perilaku yang berhubungan dengan pikiran. Pikiran adalah inti dari segalanya. Dari ketiga unsure Tri Kaya Parisudha, pikiran adalah paling pokok, yang dapat menimbul adanya perkataan maupun perbuatan. Karena itu pikiran adalah paling penting untuk dikendalikan. Adapun pengendalian pikiran itu dapat dilaksanakan dengan cara-cara seperti dibawah ini :

- Biasakanlah berpikir dan bersikap welas asih atau kasih sayang terhadap sesama mahkluk dan memupuknya secara terus menerus.

- Belajarlah mengendalikan diri, agar rasa iri dan dengki dapat ditiadakan dan tidak timbul lagi dalam pikiran.

- Sibukkanlah diri dengan rajin bekerja, sehingga tidak ada kesempatan bagi pikiran untuk ngelamun atau memikirkan yang bukan-bukan. Sibuk dengan pekerjaan sendiri, tentunya tidak akan ada peluang untuk memikirkan hal yang aneh-aneh.

- Tanamkan terus pikiran dan sikap pengendalian diri yang baik, sehingga kita mudah memberi maaf kepada orang lain dan tidak cepat marah maupun putus asa.

- selalulah berpikir yang baik dan benar, sehingga nafsu atau keinginan buruk yang timbul karena pengaruh lingkungan dan panca indriya, dapat ditiadakan.

- Biasakanlah berpikir, berkata dan berbuat yang baik, sehingga kita dapat menjadi manusia yang berbudi luhur dan beriman teguh antara lain dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, dan Samadhi.

2. Wacika atau berkata yang baik :

Berkata-kata atau berbicara itu amatlah penting artinya, baik bagi kita sendiri maupun bagi orang yang mendengarkannya. Karena itu sebelum berkata atau berbicara, pikirkanlah dulu masak-masak akan akibatnya. Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Demikianlah kata peribahasa yang patut kita pahami. Dan janganlah sembarangan berbicara. Jangan pula asal berbicara atau asal berbunyi. Perkataan pada hakekatnya adalah penyampaian isi hati, karena itu hati-hatilah, jangan sampai orang lain merasa tersinggung atau sakit hati. Jangan katakan kepada orang lain siapapun juga orangnya, apa yang anda sendiri tidak senang. Setiap orang hendaknya berkata dengan baik dan benar. Berkata yang baik dan benar inilah dinamakan Wacika Parisudha. Setiap kata-kata dapat menimbulkan akibat yang baik maupun yang buruk. Demikianlah dengan kata-kata itu orang dapat memperoleh kebaikan maupun keburukan. Kita bisa berbahagia, bisa mendapat kesulitan, bisa mendapat teman, bahkan kitapun bisa menemui ajal, jika tidak berhati-hati dalam berkata.

3. Kayika atau berbuat yang baik :

Kayika atau kaya artinya yang berkenaan dengan badan, perbuatan atau wujud atau perilaku yang berkaitan dengan badan. Dengan angota tubuh memang kita dapat menunjukkan perilaku kita. Perilaku dimaksud harus melaksanakan dengan baik dan benar. Perilaku yang baik dan benar inilah yang dinamakan Kayika Parisudha. Setiap perbuatan, apakah perbuatan baik ataukah perbuatan buruk akan dapat menimbulkan apa yang dinamakan karma. Perbuatan yang baik akan menimbulkan karma yang baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk akan menimbulkan karma buruk. Karma itu adalah pahala atau hasil dari perbuatan kita. Semua manusia tentu tidak ingin memetik karma buruk. Semua orang ingin mendapatkan karma baik. Karena itu janganlah berbuat yang tidak baik yang dapat menciptakan karma buruk.

Tujuan Tri Kaya Parisudha :

Tri Kaya Parisudha atau berpikir yang baik, berkata baik dan berbuat baik tentu mempunyai tujuan yang sangat baik bagi masyarakat, khususnya umat Hindu. Secara umum Tri Kaya Parisudha dapat dikatakan mempunyai tujuan seperti dibawah ini :

- Untuk mengembangkan sifat dan sikap jujur dan setia dalam berpikir, berkata maupun berbuat bagi masyarakat pada umumnya.

- Untuk menumbuh kembangkan sikap mental yang bertanggung jawab tanpa diawasi oleh orang lain.

- Untuk menumbuhkan kesadaran guna berbuat baik dan mengenal berbagai akibat yang dapat timbul dari pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilakukan.

- Untuk memberi petunjuk yang baik dan perlu dimiliki serta disadari dalam bergaul, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

- untuk mengajarkan agar manusia selalu waspada dan hati-hati terhadap pikiran, perkataan dan perbuatan, karena baik pikiran, perkataan maupun perbuatan itu dapat menyebabkan orang lain tidak senang, sedih atau marah, sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan kesusahan pada diri sendiri.

Read More......

Upacara - Upacara Hari Raya Hindu Berdasarkan Pawukon

Sarana Prasarana Jro Mangku
Wuku Landep

Tumpek Landep atau Tumpek Senjata

Dirayakan pada hari Saniscara atau Sabtu Kliwon wuku Landep, setiap 210 hari atau enam bulan sekali. Tumpek Landep merupakan hari baik untuk memuja Hyang Siwa (manifestasi Hyang Widhi Wasa yang memberikan ketajaman secara lahir dan bathin. Secara lahir adalah ketajaman pada senjata atau yang sejenis dengan itu, alat-alat yang dipergunakan dalam kehidupan berupa : senjata tajam yang bentuknya lancip terbuat dari besi. Secara bathin adalah ketajaman pikiran manusia dalam mempergunakan alat-alat tersebut.

Tempat pelaksanaan upacara :
Di sanggah, atau yang sejenis dengan itu.

Sarana upakara berupa :
Tumpeng putih kuning satu dulang, memakai daging ayam, gerih terasi bang/merah, sedah woh (sirih dan pinang).

Sang Hyang Pasupati adalah :
Manifestasi Hyang Widi Wasa sebagai raja alam semesta.

Tempat pelaksanaan upacaranya :
Di sanggah (merajan) atau yang sejenis dengan itu.

Upakara berupa :
Sesayut jayeng perang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-wangian, pesucian. Sarana upakara ini untuk memohon semua senjata dan peralatan yang runcing-runcing, alat-alat perang serta busana-busananya yang masih ada.

Read More......

Upacara - Upacara Hari Raya Hindu Berdasarkan Pawukon

Banten
Wuku Sinta

- Banyu Pinaruh

Dirayakan pada hari Redite atau Minggu Paing Wuku Sinta setiap 210 hari atau enam bulan sekali. Pada saat ini pagi-pagi sekali dilaksanakan pembersihan ke tempat-tempat pemandian, kemudian memercikinya dengan air kumkuman. Selain itu, dilanjutkan dengan menghaturkan upakara di tempat-tempat suci masing-masing, dengan upakara berupa sega atau nasi kuning, jamu, dan air kumkuman, yang dibeberapa tempat disebut “labaan”, lengkap berisi lauk pauk, saur kacang-kacangan, telur, daging ayam, kecarum, mentimun, terung dan lain sejenisnya.

Coma Ribek

Dirayakan pada hari Coma atau Senin Pon wuku Sinta, setiap 210 hari atau enam bulan sekali. Coma Ribek, merupakan hari baik untuk memuja Sri Amrta (manifestasi Hyang Widhi Wasa yang meberikan kemakmuran berupa : bahan makanan seperti beras, padi dan sebagainya.

Tempat pelaksanaan upacaranya, yaitu :
- di lumbung (tempat menyimpan padi) atau di pulu (tempat menyimpan beras).

Sarana Upakara berupa :
Nyanyah geti-geti, grinsing, raka-raka, pisang emas, dan bunga-bunga yang harum.

Pantangannya :
Tidak dibenarkan menjual padi, menumbuk padi dan menjual beras.

Sabuh Mas

Dirayakan pada hari Anggara atau selasa Wage wuku Sinta, setiap 210 hari atau enam bulan sekali. Sabuh Mas merupakan hari yang baik untuk memuja Dewa Mahadewa (manefestasi Hyang Widhi sebagai pengusaha segala kekayaan berupa mas, manik, dan mutu manikan).

Tempat pelaksanaan upacara :
Di piyasan, persembahyangan atau sejenis dengan itu di sanggah atau pemerajan.

Sarana upakara berupa :
Suci 1, daksina, peras, penyeneng, sasayut mertasari, canang lenga, wangi burat wangi, pembersih atau pesucian, dan pangresikan.

Pantangannya :
Tidak dibenarkan merasa tekebur terhadap kesenangan yang bersifat kebendaan, muliakanlah ratna mutu manikan yang ada dalam diri, yaitu : jiwa kita sendiri.

- Pagerwesi

Dirayakan pada hari Buda atau Rebo Kliwon wuku Sinta, setiap 210 hari atau enam bulan sekali. Pagerwesi merupakan hari yang baik untuk memuja Hyang Pramesti Guru (Siwa) disertai oleh Dewata Nawa Sanga untuk menyelamatkan jiwa semua makhluk ciptaan-Nya di dunia ini. Saat ini kepada para Sulinggih diharapkan supaya mengadakan pemujaan.

Tempat pelaksanaan upacara :
Di sanggah Kemulan.

Sarana upakara berupa :
Suci 1, daksina, peras, penyeneng, sesayut panca lingga, penek ajuman, raka-raka, dan wangi-wangian.

Untuk diri manusia, upakara berupa : sasayut pageh urip, prayascita, dan setelah tengah malam dilaksanakan renungan suci.

Di natar sanggah, merajan, upakara berupa : segehan panca warna dihaturkan kepada panca maha butha dilengkapi dengan segehan agung dan tetabuhannya.

Read More......

Upacara Upakara Agama Hindu

Banten

Agama Hindu banyak sekali mempunyai hari raya. Semua hari raya itu mengingatkan umat-Nya untuk mendekatkan diri ke hadapan Hyang Widhi Wasa memohon keselamatan dan tuntunan kehidupan, karena pada dasarnya semua yang ada itu adalah merupakan ciptaan Beliau. Manusia sebagai makhluk hidup yang paling sempurna dan tinggi tingkatannya, bila di bandingkan dengan sesama ciptaan-Nya, memegang peranan yang amat penting, yaitu sebagai subyek yang menciptakan keharmonisan dalam kehidupannya. Keharmonisan dimaksud adalah berupa keseimbangan antara lahir dan bathin.

Dalam ajaran agama Hindu, hal ini dilaksanakan melalui upacara. Upacara merupakan salah satu kerangka dari agama Hindu yang paling jelas kegiatannya dapat disaksikan dimasyarakat. Pelaksanakan upacara tidak dapat dipisahkan dengan etika (susila) dan tattwa (filsafat).

Karena ketiga kerangka agama itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Semua agama mempunyai upacara. Tanpa upacara, maka kegiatan agama itu tidak akan tampak kehidupannya di masyarakat.

Upacara dalam agama Hindu, adalah merupakan rangkaian kegiatan manusia dalam usaha menghubungkan diri dengan Hyang Widhi Wasa guna memohon tuntunan hidup dan keselamatan secara lahir dan bathin. Dalam pelaksanaan upacara-upacara tersebut, dilengkapi dengan upakara, banten, atau sesajen, yang fungsinya sebagai sarana konsentrasi atau pemusatan pikiran, karena telah diyakini bahwa kemampuan manusia sangat terbatas adanya. Semua jenis upakara mengandung makna simbolis filosofis yang tinggi dan mendalam, bila di kaji secara mendalam lagi.

Read More......

Bersembahyang itu Menghadap Tuhan

Nunas Wangsuh pada (Nunas Tirtha)
Bersembahyang sebenarnya sama dengan menghadap Tuhan. Kalau menghadap manusia saja, apalagi yang mempunyai kedudukan social atau jabatan tinggi kita berusaha tampil dengan prima dan penuh santun, mengapa ketika menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa, sikap kita justru seringkali cuek dengan tata karma. Memang tidak dapat di pungkiri begitulah kenyataan. Seringkali kita terutama umat yang memang ingin serius ngaturang sembah dikecewakan oleh ulah sebagian umat yang sembahyang “asal puput”.

Selain tidak diatur secara tertib, umat juga ingin seenaknya cepat selesai sembahyang. Datang tidak beraturan, mengambil tempat duduk tanpa mengindahkan pemedek yang sedang khusuk sembahyang. Malah terkadang melangkahi alat persembahyangan yang ada di depan kita. Semua itu memang sangat mengecewakan umat yang ingin khusuk menghadap-Nya.

Jika keadaan itu di biarkan setiap pura sesungguhnya proses persembahyangan tidak terpenuhi, itu berarti proses persembahyangan yang dilakukan dalam suasana tidak beraturan itu sepertinya akan sia-sia. Yang nampak hanyalah acara pesembahyangan secara formalitas belaka. Ibarat orang menghadap atasan, yang nampak hanya penampilan fisik saja “dibuat baik” walaupun di dalam hatinya bertolak belakang. Tetapi, dalam hal menghadap Tuhan tidak bisa begitu. Semuanya berawal dari keadaan “dalam” diri kita (batin hening, hati damai, perasaan tenang dan pikiran terkonsentrasi) baru kemudian terealisasi dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam persembahyangan (tertib, teratur dan santun).

Bila persyaratan mendasar ini telah di penuhi haruslah acara persembahyangan dimulai (secara perorangan atau bersama). Dan sebagaimana sudah disebutkan pedoman oleh PHDI, sepatutnya acara persembahyangan baik perorangan ataupun bersama dimulai dati tata cara baku ngaturang sembah. Mulai dari Asana mengambil sikap duduk yang nyaman (silasana, padmasana atau bajrasana) lalu menenangkan pikiran baru dimulai dengan Pranayama (mengatur nafas agar tenang dan konsentrasi) lanjut karosodana (membersih-sucikan tangan) dan kemudian Tri Sandhya lalu Panca Sembah serta diakhiri dengan nunas wangsuh pada dan bija. Tata cara dan urutan persembahyangan ini sudah menjadi pedoman baku yang selayaknya diikuti pada setiap kali melakukan persembahyangan. Dengan begitu acara persembahyangan akan dapat berphahala, tidak sia-sia seperti yang sering kali mengecewakan kita.

Read More......