Tumpek Wayang berasal dari dua kata yaitu “tumpek” dan “Wayang”. Seperti sudah di ketahui , istilah Tumpek lahir saat bertemunya hitungan terakhir dari dua wewaran yaitu “Saniscara” (Akhir Sapta Wara) dan “Kliwon” (akhir dari Panca Wara). Setiap pertemuan saniscara dan Kliwon disebutlah “Tumpek” (“tu” berarti metu atau lahir dan “Pek” berate putus/berakhir). Sedangkan kata “wayang” selain merupakan bagian dari “wuku” juga mengandung arti sebagai “bayang” atau “bayang-bayang”.
Sementara itu kalau dikaji secara filosofis-ritual pelaksanaan upacara “Tumpek Wayang” itu ditujukan kehadapan Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai Dewa Iswara dengan permohonan berupa keselamatan dan atau kerahayuan umat. Dalam prakteknya, upacara Tumpek Wayang ini diperuntukkan bagi semua jenis “reringgitan” seperti wayang, termasuk juga arca, tetabuhan (gong, gender,gambang, genta gendongan). Hakekat lahir-batin yang ingin dicapai dari rerainan Tumpek Wayang ini adalah ; secara lahir merupakan bentuk permohonan bagi meraka yang menjalani profesi pewayangan sehingga dapat menjadi Dalang Metaksu yang mampu menjembatani alam wayang yang abstrak kedalam alam nyata melalui pementasan tokoh-tokoh pewayangan yang dipertontonkan untuk diambil nilai-nilai tuntunannya.
Sedangkan secara batin, melalui perayaan Tumpek Wayang kita akan selalu disadarkan bahwa hidup ini sebenarnya merupakan poanggung wayang dimana keberadaan kita, peranan yang didapat dan dilakukan dan kemana akhirnya tujuan kita sudah diatur dan ditentukan oleh Sang Dalang Agung yaitu Hyang Widhi. Karena itu kita diingatkan untuk senantiasa mendekatkan diri pada Hyang Widhi agar memperoleh jagadhita dan moksa; kesejahtraan lahir dan kebahagian batin.
Kemudian mengenai orang yang lahir di Tumpek Wayang lalu minta tebusan wayang (ngupah wayang) kiranya dapat dikaitkan dengan mitilogi Dewa Kala yang secara singkat dapat diceritakan: Ketika Dewa Kala menanyakan perihal makanan yang bisa disantap, Dewa Siwa ayahandanya menunjuk orang yang lahir di wuku wayang dan orang yang berjalan tepat ditengah hari. Kebetulan putra Dewa Siwa yaitu Rare Kumara lahir tepat pada waktu wuku wayang, maka Dewa Kala hendak memakan saudaranya itu. Namun tidak berhasil, sampai pada suatu ketika Rare Kumara tiba disebuah pementasan wayang lalu berbunyi di bungbung gender. Di tempat itu Dewa Kala tidak menjumpai Rare Kumara sementara itu ia sendiri perlu makan. Akhirnya Dewa Kala menyantap segala sesajen yang tersedia untuk pertunjukan wayang itu. Lalu oleh Ki Dalang, Dewa Kala dinasehati agar tidak meneruskan niatnya memakan Rare Kumara, sebab Dewa Kala telah mendapatkan pengganti berupa banten wayang.
Dari kisah ini kemudian lahir kepercayaan untuk “ngupah wayang” bagi anak-anak yang dilahirkan, tepat pada saat jatuhnya Tumpek Wayang. Tujuan utamanya tidak lain untuk memohon kerahayuan, sekaligus agar dianugrahi kesejahtraan dan kebahagian lahir dan batin.
Lahir di Tumpek Wayang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment