Sesuatu yang ideal memang selalu didambakan. Tetapi karena manusia itu penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, maka mencari sosok manusia sempurna itu tidaklah mudah. Seorang yang dikatakan ahli atau pakar sekalipun hanya mahir dibidangnya saja. Di bidang lain yang bukan disiplin ilmunya tentu bisa di maklumi kalau dia tidak memahaminya. Bahkan ada pendapat yang mengatakan , “semakin ahli seseorang itu sesungguhnya semakin bodohlah ia”. Sama halnya dengan sosok seorang sulinggih yang multi mumpuni, ahli ritual sekaligus intelektual. Seperti lumbrah diketahui, seorang sulinggih dalam pandangan umum adalah seorang yang swadharmanya “muput karya”. Di luar itu dianggap “bukan kewajibannya”. Padahal sebenarnya ada peran lain yang sudah dijalankan oleh seorang sulinggih dalam bidang penjabaran keintelektualannya, seperti menerima kedatangan para sisyanya yang hendak bertanya (nunasang) mengenai masalah padewasaan, berdialog perihal kehidupan yang dihadapi sisyanya termasuk memberikan solusi terbaik. Hanya karena peran intelektual sulinggih nyaris tidak diperhatikan, yang dilihat hanya segi “muput karyanya” saja, maka seakan-akan peran sulinggih itu “ritual sentril”.
Memang, di zaman yeng terus berkembang seiring dengan kemajuan dan tuntutan zaman, peran sulinggih perlu ditampilkan, tidak saja peran ritualnya tetapi juga peran intelektualnya. Sebab, selaku figur suci “bhisama” sulinggih oleh umat Hindu masih tetap ditempatkan pada “urutan pertama” dalam hal etika, moral dan spiritual. Artinya “apa kata sulinggih” begitulah dilaksanakan umat. Sikap patut umat yang terkadang tanpa reserve ini merupakan lahan sekaligus peluang bagi sulinggih untuk mereformasi perilaku asubhakarma umat menjadi subhakarma. Sehingga jika peran intelektual sulinggih dimaksimalkan untuk kepentingan masing-masing sisyanya, maka boleh jadi umat Hindu akan dapat tampil sebagai manusia-manusia yang sattwam, sandhu gunawan.
Berpijak pada harapan diatas, kiranya memang perlu diupayakan agar di masa datang, model wiku acarya, sulinggih yang ahli ritual dan intelektual perlu diperbanyak. Yang ada sekarang umunya adalah wiku lokapalasraya yaitu sulinggih yang hanya menangani bidang ritual sebagai “sang pemuput karya”. Bila perlu sebelum seseorang “madiksa” naik sebagai sulinggih (madwijati) perlu ditempa tidak saja oleh sang nabe tetapi juga oleh sebagai kalangan intelektual yang ahli di bermacam bidang ulmu relevan.
Sulinggih Kita Mestinya Intelektual
Mendirikan Palinggih Menurut Bhisama
Dalam hal pengamalan ajaran agama Hindu terutama dalam praktek-praktek keagamaan memang terdapat cukup banyak perbedaan antara umat Hindu di Bali Utara dengan Bali Selatan. Misalnya, di Bali Utara upacara potong gigi tidak begitu popular dilakukan, di Bali selatan lumbrah. Di Bali utara merayakan hari suci Pagerwesi gemanya seperti Galungan di Bali selatan dan lain-lain.
Begitu pun terhadap apa yang dikemukakan di atas tentang begitu menjoloknya perbedaan jenis-jenis palinggih yang ada di sanggah/merajan daerah Buleleng dengan Bali selatan.
Seperti sudah sering dikatakan dengan sifat ajaran agama Hindu yang supel, fleksibel dan selalu mangacu pada anutan desa-kala-patra serta dresta, menjadikan praktek keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu hampir selalu menampakkan perbedaan. Namun patut di catat bahwa penampakkan perbedaan itu hanya menyangkut soal ‘kulit’, sedang perihal ‘isi’ yang berhubungan dengan hakekat, tujuan, kasuksman, filosofi dan atau tattwanya tetap berpijak pada konsep yang sama/satu yaitu Weda dengan berbagai penjabarannya.
Berpijak pada pernyataan ini, maka apa pun namanya, berapa pun jumblah palinggih yang dibangun, asal itu didirikan di natah pekarangan bagi suatu keluarga maka tetaplah dikategotikan sebagai Pura Kawitan sengan sebutan Sanggah/Marajan. Ada sebutan Pura Kawitan yang lebih tinggi kedudukannya terutama dilihat dari jumblah
penyiwi/penyungsungnya yaitu Gedong Pratiwi, Palinggih, Ibu (Paibon), Pura Panti (Dadya) dan akhirnya pedharman-pedharman di kompleks Pura Besakih.
Lalu soal keinginan keluarga-keluarga yang baru berumah tangga (ngarangin) untuk mendirikan sanggah/merajan sesuai dengan apa yang sudah umum dibangun yang lebih sedikit dengan mematok tiga pelinggih : Kamulan, Taksu, dan Tugu, kiranya boleh-boleh saja. Apalagi ketentuan pendirian palinggih di sanggah/merajan sesuai bunyi lontar Siwagama memang hanya sedemikian itulah jumblahnya. Masalahnya sekarang, adakalanya pendirian suatu palinggih tidak hanya berpijak pada sastra dresta tetapi ada juga yang berpegangan pada bhisama leluhur. Jika bhisama yang menjadi pegangan, maka kita dihadapkan posisi antara preti sentana (keturunan) dengan para leluhur yang wajib dijalankan pewarah-warahnya. Jika demikian persoalannya, maka semua keputusan untuk terus mengikuti petunjuk bhisama atau mengikuti pembangunan zaman terpulang pada sikap satya preti sentana masing-masing. Tapi ingat, berbhakti kepada kawitan/leluhur adalah dharma tertinggi.
Nama Tempat Suci dan Kapan Mulai Nyepi
Umat Hindu adalah insan agamais yang senantiasa ingin mendekatkan diri dengan Hyang Widhi. Sehingga dimana mereka bertempat tinggal selalu disertai dengan pendirian tempat suci atau palinggih suci. Misalnya dipekarangan rumah, secara umum akan di bagi menjadi dua bagian hulu (kaja, kangin atau kaja kangin) untuk Parahyangan yang ditandai dengan pendirian sanggah/marajan dan satu lagi bagian teben untuk Pawongan atau bangunan tempat tinggal. Bagi yang mempunyai tanah cukup luas, biasanya akan ditambah dengan bagian teben untuk Palemahan.
Khusus untuk peruntukan parahyangan pekarangan rumah yang lazim disebut sanggah atau merajan akan memiliki beberapa palinggih. Yang pokok disebut Palinggih Rong Telu (tiga) atau Kamimitan/Kamulan, merupakan sthana dari Bhatara-Bhatari leluhur dan Bhatara Guru. Juga dianggap sebagai Sthana dari Tri Murti. Selain Rong Telu, di sanggah juga Palinggih Taksu yang merupakan sthana Sang Kala Raja sebagai Sang penguasa waktu dan kehidupan. Satu lagi namanya Palinggih Ratu Ngerurah yang merupakan sthana Sang Catur Sanak yang telah disucikan dan terus menemani kita sampai nantinya bisa kembali manunggal pada-Nya. Ketiga Palinggih di sanggah/marajan ini merupakan model atau jenis yang umum didirikan.
Di luar areal sanggah/marajan yaitu di natah umumnya juda didirikan Penunggun Karang yang berbentuk tugu sebagai palinggih dari penguasa/penjaga karang/natah. Kehadapan penjaga karang ini kita memohon kerahayuan karena telah dialihfungsikannya tanah tersbut menjadi rumah tinggal.
Lalu untuk karang desa (adat) juga terdapat tempat-tempat suci. Yang pokok adalah Pura Kahyangan Tiga, meliputi Pura Desa (Bale Agung) sthana Hyang Widhi dalam wujud Dewa Brahma sebagai Sang Pencipta (utpeti), Pura Puseh sthana Dewa Wisnu sebagai Sang Pemelihara (sthiti) dan Pura Dalem sthana Dewa Siwa sebagai Sang Pengembali segala yang ada (pralina).
Tentang waktu yang tepat untuk Nyepi, menurut Pedoman yang dikeluarkan PHDI adalah dimulai pada saat sebelum matahari terbit (ngedas lemah), kira-kira pukul 05.30 – 05.30 keesokan harinya (Ngembak Geni).
Terakhir, Tabuh Rah sebenarnya adalah bagian dari pelaksanaan upacara (yajna) yang ditandai dengan taburan darah binatang kurban dengan cara “nyambleh” atau perang satha di tempat upacara berlangsung. Jika berkembang menjadi tajen (adu ayam dengan taruhan) ini hanyalah bersifat pedomplengan yang tentu saja tidak dapat dibenarkan, karena bersifat perjudian.
Benarkah Makanan Pengaruhi Tri Guna
Manusia hidup membutuhkan makanan. Tetapi manusia hidup bukan hanya untuk makan. Makan atau makanan merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa tidak harus dipenuhi. Dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia akan makanan tidak lain untuk melangsungkan perikehidupan.
Secara biologis manusia membutuhkan berbagai rupa jenis makanan sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan fisiknya. Mulai dari apa yang disebut karbohidrat, mineral, protein, vitamin dan lain sebagainya. Kesemua unsur yang dibutuhkan oleh tubuh itu akan sangat berpengaruh bagi tumbuh-kembangnya fisik. Dan jika salah satu atau beberapa unsur tidak bisa dipenuhi tentu akan menimbulkan gangguan fisik (sakit).
Memenuhi unsur-unsur atau zat-zat yang dibutuhkan tubuh juga tidak boleh berlebihan, sebab akibatnya juga sama yaitu sakit. Karena itu, baik dari segi ilmu kesehatan ataupun ilmu gizi dan juga menurut ajaran agama Hindu dalam hal memenuhi kebutuhan hidup manusia akan makanan tetap harus berpijak pada aturan.
Dan khusus untuk ketentuan yang berisi aturan tentang jenis-jenis makanan yang bisa mempengaruhi sifat-sifat Tri Guna, di dalam kitab suci Bhagavadgita X VII.8-10 secara terperinci sudah digambarkan yaitu:
Makanan yang memberi hidup, kekuatan tenaga, kesehatan, kebahagiaan dan kesenangan, yang terasa lezat, lembut menyegarkan dan enak adalah sangat disukai satvika, makanan yang pahit, asam, asin, pedas, banyak rempah, membakar, yang menyebabkan kesusahan, kesedihan dan penyakit disukai oleh orang rajasa, dan makanan yang usang, hilang rasa, busuk, berbau, bekas sisa-sisa dan tidak bersih adalah makanan yang sangat digemari oleh yang tamasa.
Suratan Bhagavadgita cukup jelas memberi gambaran sekaligus pilihan tentang jenis makanan yang bagaimana yang jika dinikmati akan memberi pengaruh terhadap sifat-sifat Tri Guna yang ada dan bersemayam pada setiap diri kita. Apakah kita ingin menumbuh kembangkan sifat satvika yang tenang dan bijaksana, sifat rajasa yang dinamis penuh nafsu atau sifat tamasa yang pasif dan malas? Kesemua pilihan dapat kita tentukan sendiri dan tentunya dengan hati-hati sebagaimana ditegaskan di dalam kitab suci Atharwa Weda, VI. 135.1, “hendaknya menikmati makanan dengan penuh hati-hati, sehingga makanan itu memberikan manfaat untuk kekuatan badan. Dengan cara ini seseorang mampu mengendalikan petir”.
Demikianlah makanan meskipun sangat dibutuhkan tidaklah berarti kita boleh dengan seenak selera memilih sembarang makanan untuk dinikmati. Sebab hal itu tidak saja berpengaruh terhadap kesehatan fisik tetapi juga terhadap kesehatan mental-spiritual kita.
Letak dan Fungsi Palinggih Penyarikan
Dengan berpijak pada lontar Asta Dewa, Asta Kosala-Kosali dan Asta Bhumi ternyata apa yang disebut dengan palinggih Penyarikan tidak lain dari Tugu Penyarikan yang belakangan lebih popular dengan sebutan Tugu Ngerurah (Ratu Ngerurah). Bentuknya seperti tugu-tugu lainnya yang berisi sebuah ruangan (rong) beratap dan tanpa pintu. Dan posisi penempatannya adalah di arah Tenggara menghadap ke Barat. Tepatnya lagi berada di areal sanggah/merajan dengan posisi disebelah kiri Palinggih Kamulan yang merong telu.
Jika benar demikian, maka fungsi Palinggih/Tugu Penyarikan/Ngerurah ini tidak lain sebagai linggih untuk “Sang Catur Sanak” yang telah suci sebagaimana halnya Kamulan untuk palinggih roh leluhur yang telah suci. Didalam lontar Agastya Prana disebutkan sang bayi mempunyai saudara yang disebut Sang Catur Sanak. Saudara empat sang bayi itu selalu menyertai kehidupan sekalian melindunginya dari berbagai cobaan hidup dari kecil hingga kembali ke asal. Keadaan Catur Sanak akan senantiasa menyesuaikan diri dan terus mengikuti perkembangan si bayi. Setiap upacara yang bertujuan untuk meningkatkan status si bayi ada pula upacara yang diperuntukkan bagi Sang Catur Sanak. Setiap peningkatan status yang di capai oleh si bayi, Catur Sanak pun mengikuti. Begitu pun saat bayi menjadi dewasa lalu tua dan akhirnya mati, Sang Catur Sanak terus mengikuti. Itulah sebabnya bila seseorang meninggal lalu di-aben, maka Sang Catur Sanak pun ikut diberikan upacara. Setelah ngaben (sawa/asti wedana) dilanjutkan dengan upacara Atma Wedana (Mamukur) di mana Sang Catur Sanak diikutkan juga.
Selanjutnya setelah Atma Wedana, dilangsungkan upacara Dewa Pitara Pratista yaitu mensthanakan roh suci di Kamulan, sedangkan Sang Catur Sanak yang telah ikut di sucikan dilinggihkan di palinggih/tugu Penyarikan/Ngeruruah. Dengan telah bersthananya roh suci leluhur di Kamulan dan Sang Catur Sanak di Palinggih Panyarikan maka preti sentananya wajib untuk melakukan sembah bhakti sebagai perwujudan pelaksanaan Pitra Puja yang dilandasi oleh adanya Pitra Rna. Dengan senantiasa memuja dan atau menyembah roh suci leluhur tersebut diharapkan preti sentananya memperoleh kerahayuan, kesejahteraan dan kebahagiaan batin.
Sebaliknya bila sembah bhakti kepada leluhur dilupakan maka beginilah bunyi bhisama leluhur: “yan kita lali lipya mering Kahyanganta, moga kita amungpang laku, akweh prebedanya, hana kene hana keto, sugih gawe kurang pangan, tan wus apacengilan maring pasanakan, setata anemu rundah”. Artinya: “apabila kamu lupa dan lalai atau lengah dengan kahyanganmu (Merajan, Pura Kawitan, Padharman) mudah-mudahan tidak menentu jalan hidupmu, banyak halangannya, ada begini ada begitu, giat bekerja tetapi kurang makan, tidak henti-hentinya cekcok di dalam keluarga, selamanya merasa gundah.
Ucapan Orang Kerauhan Mutlak Benar?
Kerauhan secara sederhana berarti “kedatangan”. Apa yang datang tidak lain dari sesuatu “kekuatan” antara lain berupa roh atau kekuatan gaib/makhluk lainnya. Kekuatan yang datang dari “dunia lain” itu lalu memasuki/meminjam tubuh seseorang untuk dijadikan sebagai media untuk mengkomunikasikan sesuatu yang bersifat informasi dari dunia niskala ke dunia sekala sehingga bisa diterima maksudnya.
“Kerauhan” dalam perbendaharaan tradisi Bali sering disebut dengan istilah “tedun”, “kerangsukan”, “nyanjan”. Peristiwa “kerauhan” ini bisa terjadi karena proses yang disengaja dan tidak disengaja serta selalu berhubungan dengan dimensi ritual (keagamaan), kepercayaan (tradisi nunasang) dan mistik (sihir/hipnostis). Kerauhan yang terjadi karena perbuatan yang disengaja antara lain melalui kegiatan upacara keagamaan seperti saat Piodalan di mana ada seseorang atau bisa juga lebih karena sebagai “tapakan Bhatara” ketika upacara Piodalan berlangsung.
“Kerauhan yang disengaja juga bisa terjadi melalui proses “nunas pipis/nunas baos” pada seorang balian, misalnya untuk menanyakan roh yang numadi pada seorang bayi atau menanyakan suatu penyakit yang sedang menimpa seseorang. Termasuk “kerauhan” yang disengaja adalah melalui dunia mistik di mana seseorang yang mempunyai kemampuan supranatural bisa memasukkan roh atau kekuatan makhluk lain ke dalam tubuh seseorang sehingga yang bersangkutan bergerak, berucap seperti sosok roh yang memasukinya. Pertunjukan tari wali seperti Sanghyang Jaran, Sanghyang Bojog, Sanghyang Celeng, Sanghyang Dedari, juga tergolong “kerauhan” ini yaitu dengan menghadirkan atau memasukkan roh halus untuk menari dengan meminjam tubuh seseorang.
Selain “kerauhan” yang memang sengaja dibuat seperti disebutkan di atas, ada juga orang “kerauhan” karena tidak disengaja dan malah tidak dikehendaki tetapi terjadi juga. Misalnya orang kena “bebai”, “salahang dewa”, melanggar aturan dunia niskala yang tidak kita ketahui seperti memasuki kawasan pura yang terkenal “tenget” tanpa permisi, dan lain-lain. Yang jelas baik disengaja maupun tidak disengaja, apa yang disebut “kerauhan” tidak lain dari proses sinergi komunikasi antara dunia niskala dengan dunia sekala bahwa ada hal-hal yang perlu diinformasikan tentang sesuatu yang berasal dari dunia gaib ke dunia nyata agar diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh kita yang hidup di dunia sekala. Dan karena berhubungan dengan keimanan dan kepercayaan, tentu terpulang pada kita untuk menyikapinya. Satu hal yang justru patut diwaspadai adalah adanya fenomena orang “kerauhan” jadi-jadian yang terkadang bertindak atau berucap dengan muatan kepentingan tertentu: pribadi atau golongan.