Dengan berpijak pada lontar Asta Dewa, Asta Kosala-Kosali dan Asta Bhumi ternyata apa yang disebut dengan palinggih Penyarikan tidak lain dari Tugu Penyarikan yang belakangan lebih popular dengan sebutan Tugu Ngerurah (Ratu Ngerurah). Bentuknya seperti tugu-tugu lainnya yang berisi sebuah ruangan (rong) beratap dan tanpa pintu. Dan posisi penempatannya adalah di arah Tenggara menghadap ke Barat. Tepatnya lagi berada di areal sanggah/merajan dengan posisi disebelah kiri Palinggih Kamulan yang merong telu.
Jika benar demikian, maka fungsi Palinggih/Tugu Penyarikan/Ngerurah ini tidak lain sebagai linggih untuk “Sang Catur Sanak” yang telah suci sebagaimana halnya Kamulan untuk palinggih roh leluhur yang telah suci. Didalam lontar Agastya Prana disebutkan sang bayi mempunyai saudara yang disebut Sang Catur Sanak. Saudara empat sang bayi itu selalu menyertai kehidupan sekalian melindunginya dari berbagai cobaan hidup dari kecil hingga kembali ke asal. Keadaan Catur Sanak akan senantiasa menyesuaikan diri dan terus mengikuti perkembangan si bayi. Setiap upacara yang bertujuan untuk meningkatkan status si bayi ada pula upacara yang diperuntukkan bagi Sang Catur Sanak. Setiap peningkatan status yang di capai oleh si bayi, Catur Sanak pun mengikuti. Begitu pun saat bayi menjadi dewasa lalu tua dan akhirnya mati, Sang Catur Sanak terus mengikuti. Itulah sebabnya bila seseorang meninggal lalu di-aben, maka Sang Catur Sanak pun ikut diberikan upacara. Setelah ngaben (sawa/asti wedana) dilanjutkan dengan upacara Atma Wedana (Mamukur) di mana Sang Catur Sanak diikutkan juga.
Selanjutnya setelah Atma Wedana, dilangsungkan upacara Dewa Pitara Pratista yaitu mensthanakan roh suci di Kamulan, sedangkan Sang Catur Sanak yang telah ikut di sucikan dilinggihkan di palinggih/tugu Penyarikan/Ngeruruah. Dengan telah bersthananya roh suci leluhur di Kamulan dan Sang Catur Sanak di Palinggih Panyarikan maka preti sentananya wajib untuk melakukan sembah bhakti sebagai perwujudan pelaksanaan Pitra Puja yang dilandasi oleh adanya Pitra Rna. Dengan senantiasa memuja dan atau menyembah roh suci leluhur tersebut diharapkan preti sentananya memperoleh kerahayuan, kesejahteraan dan kebahagiaan batin.
Sebaliknya bila sembah bhakti kepada leluhur dilupakan maka beginilah bunyi bhisama leluhur: “yan kita lali lipya mering Kahyanganta, moga kita amungpang laku, akweh prebedanya, hana kene hana keto, sugih gawe kurang pangan, tan wus apacengilan maring pasanakan, setata anemu rundah”. Artinya: “apabila kamu lupa dan lalai atau lengah dengan kahyanganmu (Merajan, Pura Kawitan, Padharman) mudah-mudahan tidak menentu jalan hidupmu, banyak halangannya, ada begini ada begitu, giat bekerja tetapi kurang makan, tidak henti-hentinya cekcok di dalam keluarga, selamanya merasa gundah.
Letak dan Fungsi Palinggih Penyarikan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment