Karya Pengenteg Linggih Mupuk
Yang dimaksudkan dengan karya Ngenteg Linggih Mupuk adalah, karya ngenteg linggih yang juga dilaksanakan setiap 10 sampai 15 tahun sekali, tetapi tidak mesti disertakan dengan pelaksanaan upacara Mendak Siwi melihat telah kewalunan (telah lebih dari 25 tahun belum pernah nangun karya Ngenteg Linggih). Pada pelaksanaan upacara ngenteg linggih mupuk ini dilaksanakan upacara mupuk pedagingan (Panca Datu) pada setiap bangunan suci yang ada pada suatu Parahyangan Pura atau Pemerajan.
Mengenai makna dan tujuannya tidak berbeda dengan upacara pengenteg Linggih Mamungkah, hanya dibedakan tidak dilaksanakan upacara Memendak Siwi.
Didalam Lontar Medang Kemulan diungkapkan antara lain sebagai berikut :
“ Rikalaning Sira Umawe Parahyangan Dewa, Laju Pangastiti Brahma Kerthin, Manut Risupacaraning Pemakuhan Muwah Pemelaspas Mepulang Panca Datu, Muah Anangun Karya Ngenteg Linggih Manut Nista, Madya, Motamaning Yadnya, Mendak Siwi Maring Marga Tiga Maka Uriping Parahyangan Maraga Bethara Siwa Manirmala. Ana Waneh, Yan Hana Parahyangan Kewalunan Kurang Pakertinia Sang Tinungsungan, Kang Dewa Bethara Wus Nilar Saking Parahyangan, Karangsukan Dening Bhuta Dengen, Iki Mamilara Ring Sang Tinungsungan, Wenang Nangun Karya Pengeneg Linggih Mupuk Anyegjeg Angetegaken Malih Kang Dewa Bethara, Apan Smrtinia Enteg Ikang Dewa Bethara, Enteg Juga Maring Kehuripan, Mangkana Pakertin Manusa Ring Dewa Bethara. Ana Waneh, Riaknjek Wus Sira Amelaku Penila Patian, Wenang Entegakna Ikang Dewa Bethara Ungguhakna Maring Parahyangan Kemulan, Meharan Karya Pengenteg Linggih Di Bunga Ngaran Ngenteg Linggih Lebeng. Mangkana Pekertin Sepreti Santana Ring Wang Atuwania, Yan Tan Samangkana Polahe Menadi Santana, Tan Ngemolihang Kerahayuan”.
Read More......
Jenis – Jenis Karya Pengenteg Linggih
Karya pengenteg linggih memiliki beberapa jenis dalam pelaksanaannya, yaitu :
1. Karya Pengenteg Linggih Memungkah
Yang dimaksudkan dengan Karya Pengenteg Linggih Memungkah adalah karya yang dimiliki ethika yang disertakan dengan pelaksanaan upacara “Memendak Siwi”. Karya ini dilaksanakan pada Parahyangan Pura atau Pemerajan yang baru, atau menggeser posisi Pelinggih yang lama, untuk dibuatkan pada posisi yang baru. Demikian juga bila ada Parahyangan Pura atau Pemerajan dengan pelaksanaan upacara Ngenteg Linggihnya sudah berselang terlalu kewalunan, misalnya 25 tahun ke atas, baru lagi dilaksanakan karya pengenteg linggih, perlu sekali disertakan upacara Memendak Siwi.
Yang dimaksudkan dengan Memendak Siwi adalah sebagai berikut :
Kata memendak mengandung maksud dan pengertian Ngarad (Bhs. Bali) atau Ngutpeti, sedangkan kata siwi berasal dari kata Siwa, yang artinya sumber, dan kata sumber disini adalah manifestasi Sang Hyang Widhi (Ista Dewata) yang diistanakan pada Parahyangan Pura atau Pemerajan. Tidak ubahnya seperti sumber magnit yang lama tidak digosok dan dibersihkan secara tuntas, sehingga daya tarik magnitnya makin berkurang dan seolah-olah daya tersebut hilang karena magnit tersebut seluruhnya telah tertutupi kekotoran, maka dari itu perlu dibersihkan setiap 10 – 15 tahun sekali, agar magnit memiliki daya yang tetap kuat sehingga tetap memiliki daya tarik menarik dengan magnit yang ada pada diri manusia.
Demikianlah hakekat dari makna dan fungsi dari nangun karya pengenteg linggih di Parahyangan Pemerajan atau Pura-Pura, sehingga keseimbangan keselarasan dan keserasian antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit tetap dapat dipertahankan secara berkesinambungan, sesuai dengan konsep dasar ajaran Tri Hita Karana.
Read More......
Karya Ayu Ngenteg Linggih
Pelaksanaan upacara Dewa Yadnya di Bali yang dilaksanakan di Pura-Pura Kahyangan Jagat, Pura Panti, Pura Batur, Ibu, dan pada Pemerajan-Pemerajan memiliki puncak upacara yang disebut dengan karya Ngenteg Linggih. Karya ini dilaksanakan setiap 10 tahun sampai 15 tahun sekali, atau setiap pergantian generasi berikutnya, sesuai petunjuk dari Lontar Medang Kemulan, Lontar Dewa Tattwa, Lontar Mpulutuk Banten, Lontar Tapeni Yadnya, Lontar Bhuta Tattwa.
Makna Dan Tujuan Ngenteg Linggih
Upacara Karya Ngenteg Linggih memiliki beberapa tujuan, antara lain :
1. Untuk memohon kehadapan Hyang Widhi beserta manifestasinya agar beliau menganugrahkan kekuatan Tapa atau kepagehan (Satyam), terhadap alam semesta beserta segala isinya termasuk semua kekuatan gaib baik bersifat Dewa Bhatara, maupun yang bersifat Asuri Sampad (kekuatan Bhuta, Kala, Durga, Pisaca, Danawa dll). Demikian juga supaya Sang Hyang Widhi tetap menganugrahkan kekuatan kesucianNya terhadap manifestasi serta makhluk ciptaanNya yang ada di alam semesta ini. Disamping itu agar Beliau tetap menganugrahkan keseimbangan serta kesejahtraan (Sundharam) terhadap makhluk ciptaanNya.
2. Memberikan kesempatan kepada umatNya, untuk berkarma yang subhakarma sebagai sarana peleburan dosa.
3. Untuk dapat mengamalkan wahyu Sang Hyang Widhi, melalui tuntunan para Maha Rsi berupa pelaksanaan ajaran Agama.
4. Memberi kesempatan kepada umatNya agar dapat melaksanakan penyupatan terhadap mahkluk diluar kehidupan manusia.
5. Adalah sebagai media pendidikan (education) baik bersifat moral maupun bersifat spiritual terhadap umatNya.
6. Memberi kesempatan kepada umatNya agar bisa melaksanakan ajaran Tri Rnam yaitu membayar hutang terhadap Sang Hyang Widhi, atas diturunkannya wahyuNya berupa ajaran Weda, membayar hutang kehadapan Maha Rsi, karena Beliau telah menulis wahyu tersebut dengan esensi menjadi ajaran Agama. Demikian juga membayar hutang kehadapan leluhur, karena tanpa beliau umat kemungkinan tidak lahir menjadi manusia, itulah karena yadnyanya.
7. Memberikan kesempatan untuk beryadnya secara nyata bagi setiap generasi yang lahir sehingga karya Ngenteg Linggih dapat dilaksanakan setiap 10 sampai 15 tahun sekali.
Read More......
Upacara Piodalan Dalam Kwantitas Madya
Tata cara pelaksanaan upacara piodalan kwantitas madya baik untuk di Pemerajan maupun di Pura, boleh dilaksanakan oleh seorang Welaka atau Pemangku dengan tatanan upakaranya sebagai berikut :
1. Upakara munggah di Sanggah Surya :
a. Banten pejati asoroh
b. Banten Suci Alit asoroh
c. Canang Pesucian
2. Upakara Munggah di Pelinggih :
a. Banten pejati asoroh
b. Banten suci alit asoroh
c. Banten danan dan canang pesucian
3. Upakara ayaban piodalan :
a. Daksina gede sarwa 4
b. Banten ayaban tumpeng 21 bungkul
c. Banten Pengulapan, prayascita dan bayekawonan
d. Banten sesayut / tebasan antara lain :
- Sesayut Pembersihan
- Sesayut Sida Purna
- Sesayut Siwa Sampurna
- Sesayut Amertha Dewa
- Sesayut Puspa Dewa
- Sesayut Cakra Geni
- Sesayut Pageh Urip
- Tebasan Pemiak Kala
- Tebasan Lara Mararadan
e. Banten jerimpen Agung apasang
4. Upakara pecaruan
Pada pelaksanaan upakara piodalan pada tingkat Madya mempergunakan Banten Caru Panca Sata.
Read More......
Sila Kramaning Ngaturang Piodalan
3. Menata Upakara Ayaban yang akan dipersembahkan
Sesudah selesai ngunggahang upakara pada setiap pelinggih langsung menata upakara ayabannya pada Bale piyasan dengan penataan sesuai aturan Tri Angganing Yadnya dan Astra Karananing Yadnya sebagai berikut :
a. Sebuah banten pejati diletakkan paling hulu sebagai simbul kepala.
b. Sebuah banten gebogan diletakkan sejajar dengan pejati sebagai simbul kepala.
c. Banten jerimpen, pulogembal dan banten pengambean, diletakkan pada sor banten pejati pada bagian kiri orang yang menata dengan posisi banten berjejer dari kiri ke kanan sesuai dengan urutan banten diatas, adalah sebagai simbul bayu kiri (dada kiri).
d. Kemudian dibagian kanannya diletakkan banten berjejer dari kiri ke kanan dengan jenis banten soda, peras, bebangkit dan sebuah banten jerimpen, adalah sebagai simbul bayu kanan (dada kanan).
e. Pada sor banten tadi diletakkan banten dapetan, adalah merupakan simbul dari ulu hati (hradaya) menjadi sumber kehidupan bhuwana agung dan bhuwana alit.
f. Banten jerimpen seperti diatas tadi sesungguhnya adalah sebagai simbul kedua tangan, oleh karena itu tidak boleh membuat jerimpen hanya satu, karena memiliki makna sebagai kekuatan Surya Murti dan Chandra Murti (kekuatan akasa dan pertiwi).
g. Kemudian meletakkan banten sesayut dan tebasan di sor dari banten dapetan, merupakan simbul dari perut, yang memiliki makna sebagai kekuatan isin jagat.
h. Meletakkan banten pengulapan, prayascita, dan banten bayekawonan disebelah kanan dari Sang Pemuput / Penganteb.
i. Meletakkan banten pemuput (penuhur taksu) disebelah kiri dari Sang Pemuput / Penganteb.
j. Meletakkan banten caru dibawah ( pada halaman Pemerajan / Pura didepan pelinggih pokok ), merupakan simbul kaki memiliki makna sebagai kekuatan Sapta Ptala.
k. Kalau banten ayabannya berisi banten pulogembal, maka memerlukan banten yang diletakkan pada sanggah Panggungan yang berada pada madnyaning mandala dari Pemerajan / Pura pada pada posisi letaknya tepat didepan Kuri Pemerajan atau kuri pura, adalah merupakan simbul dari kekuatan muladara cakra, yang memiliki makna sebagai kekuatan catur loka yaitu perpaduan dari kekuatan ke empat penjuru alam baik terhadap bhuwana agung maupun terhadap bhuwana alit dengan kekuatannya disebut Sang Hyang Catur Loka Phala yaitu Bhatara Indra, Bhatara Kwera, dan sebagai puncak Maniknya adalah Sang Hyang Giripati.
l. Meletakkan banten penimpug, pada tempat penimpug yang sudah disediakan, dengan posisi tempat penimpugnya adalah kearah selatan, dan orang yang menyulut penimpugnya menghadap kearah selatan, sebagai simbul kearah Brahma Loka dengan Dewa penimpugnya adalah Dewa Utasana, memiliki makna untuk memohon pengesengan kehadapan Sang Hyang Utasana dengan kekuatan Brahmanya.
Demikianlah tatacara penataan upakaranya pada setiap meleksanakan upacara piodalan di pemerajan maupun di Pura dengan kwantitas upakarannya baik dengan ukuran besar maupun dengan ukuran kecil, seiap datang hari piodalannya.
Sila Kramaning Ngaturang Piodalan
2. Ngunggahang Upakara pada setiap Pelinggih
Setelah selesai membersihkan bangunan suci, biasanya pada hari piodalan tersebut, pada dini hari ngunggahang upakara pada setiap pelinggih menurut volume upakara yang akan di persembahkan sesuai dengan nista, Madya Utamaning Yadnya, secara bersamaan juga meletakkan air bersihnya sebagai sarana pengajuman tirthanya.
Kalau pelaksanaan upakara piodalan di Pura, disiapkan sebuah peralatan untuk penampungan tirtha (jeding) diletakkan di depan pelinggih pokok pada suatu Pura, dan telah berisi air bersih yang telah diberi aroma (meukup).
Read More......
Setelah selesai membersihkan bangunan suci, biasanya pada hari piodalan tersebut, pada dini hari ngunggahang upakara pada setiap pelinggih menurut volume upakara yang akan di persembahkan sesuai dengan nista, Madya Utamaning Yadnya, secara bersamaan juga meletakkan air bersihnya sebagai sarana pengajuman tirthanya.
Kalau pelaksanaan upakara piodalan di Pura, disiapkan sebuah peralatan untuk penampungan tirtha (jeding) diletakkan di depan pelinggih pokok pada suatu Pura, dan telah berisi air bersih yang telah diberi aroma (meukup).
Read More......
Sila Kramaning Ngaturang Piodalan
Pada waktu melaksanakan upacara piodalan memiliki tatanan tertentu sesuai dengan ajaran Etika Agama Hindu, yaitu :
1. Penyucian Bangunan Suci secara Phisik Sebelum menghaturkan upacara Piodalan seharusnya umat Hindu melaksanakan pereresikan (pembersihan) dahulu pada bangunan Suci meliputi :
a. Membersihkan caratan comblong serta diisi air bersih karena caratan comblong tersebut merupakan niyasa bahasa Ethika kehadapan Hyang Widhi untuk memohon kesucian dan kemerthan. Caratan comblong adalah sebagai niyasa berputarnya gunung Mandharagiri di tengah lautan samudra yang di putar oleh para Dewa bersama – sama dengan para raksasa untuk mengeluarkan amertha (Adi Parwa), oleh karena itu meletakkan Caratan Comblong adalah pada posisi bertumpuk.
b. Kemudian memasang wastra lengkap pada semua bangunan suci yang akan dibuatkan upacarannya, karena wastra tersebut adalah sebagai simbul Tejan Bathara yang berstana pada masing – masing bangunan suci, oleh karena itu memasangkan wastrannya sesuaikan dengan fungsi bangunan suci itu dengan penekanan terhadap warna wastra, karena warna tersebut sebagai simbul Tejan Sang Hyang Widhi (manifestasi) dalam pengertian tidak asal memasang.
c. Setelah selesai memasang wastra, kemudian memasang lamak sampian pada masing – masing bangunan suci tersebut karena Lamak adalah merupakan simbul dari permohonan umatnya kehadapan Ida Bhatara, sehingga merupakan pertemuan antara Bhakti kelawan Sweca, hal itulah menjadi simbul dari penyatuan magnetik Bhuana Alit dengan Mega Magnetik yang bersumber dari kekuatan Sang Hyang Widhi.
d. Kemudian memasang uparengga berupa pajeng, umbul – umbul, kober, dll, kalau peralatan seperti itu dimiliki.
Read More......
1. Penyucian Bangunan Suci secara Phisik Sebelum menghaturkan upacara Piodalan seharusnya umat Hindu melaksanakan pereresikan (pembersihan) dahulu pada bangunan Suci meliputi :
a. Membersihkan caratan comblong serta diisi air bersih karena caratan comblong tersebut merupakan niyasa bahasa Ethika kehadapan Hyang Widhi untuk memohon kesucian dan kemerthan. Caratan comblong adalah sebagai niyasa berputarnya gunung Mandharagiri di tengah lautan samudra yang di putar oleh para Dewa bersama – sama dengan para raksasa untuk mengeluarkan amertha (Adi Parwa), oleh karena itu meletakkan Caratan Comblong adalah pada posisi bertumpuk.
b. Kemudian memasang wastra lengkap pada semua bangunan suci yang akan dibuatkan upacarannya, karena wastra tersebut adalah sebagai simbul Tejan Bathara yang berstana pada masing – masing bangunan suci, oleh karena itu memasangkan wastrannya sesuaikan dengan fungsi bangunan suci itu dengan penekanan terhadap warna wastra, karena warna tersebut sebagai simbul Tejan Sang Hyang Widhi (manifestasi) dalam pengertian tidak asal memasang.
c. Setelah selesai memasang wastra, kemudian memasang lamak sampian pada masing – masing bangunan suci tersebut karena Lamak adalah merupakan simbul dari permohonan umatnya kehadapan Ida Bhatara, sehingga merupakan pertemuan antara Bhakti kelawan Sweca, hal itulah menjadi simbul dari penyatuan magnetik Bhuana Alit dengan Mega Magnetik yang bersumber dari kekuatan Sang Hyang Widhi.
d. Kemudian memasang uparengga berupa pajeng, umbul – umbul, kober, dll, kalau peralatan seperti itu dimiliki.
Read More......
Subscribe to:
Posts (Atom)