E-mail : pasek.trunyan@gmail.com
=

Agama dan Adat

Bagi masyarakat Hindu di mana pun berada, antara agama dan adapt ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak mudah dipisahkan meski bisa dibedakan. Agama sudah pasti bersumber dari kebenaran ajaran Tuhan yang tersurat dan tersirat di dalam kitab-kitab suci. Sedangkan adat, sebagaimana arti katanya sudah jelas bersumber dari kebiasaan-kebiasaan perilaku manusia yang karena dipandang memilki nilai kebenaran walau tidak mutlak terus dipertahankan. Oleh sebab agama bersumber pada kebenaran ajaran Tuhan, maka ia bersifat sanatana dharma, kebenaran yang kekal abadi.

Perubahan yang terjadi dan mempengaruhi peradaban manusia tidak bisa mengubah kebenaran agama. Yang bisa dan cenderung mengikuti perubahan hanyalah apabila menyangkut segi-segi material yang mendukung pelaksanaan ajaran agama. Misalnya, seperti yang sudah dilaksanakan di kalangan masyarakat Hindu di Bali terutama yang berhubungan dengan peralatan upakara dan atau upacara yadnya. Contoh : penggunaan pis bolong, karena sudah semakin langka mulai diganti dengan uang kepeng tiruan atau malah dengan uang sah yang berlaku di negeri RI. Esensi benda material yang diganti dengan pengganti tetap memiliki persamaan, setidaknya berfungsi sebagai “sesari”.

Jadi terhadap esensi ajaran agama, di manapun dan kapan pun akan tetap sama atau tidak akan mengalami perubahan lantaran memiliki sumber langsung dari wahyu Tuhan. Sementara itu apa yang dinamakan adat, karena bersumber dari kebiasaan-kebiasaan berperilaku dari manusia yang dipandang mempunyai nilai kebenaran, maka perubahan, penyesuaian atau bahkan penghapusan terhadap sesuatu yang tergolong adat bukanlah tindakan yang tabu.

Dalam prakteknya memang terasa begitu sulit memisahkan mana bagian dari agama dan mana pula bagian dari adat. Ilustrasi berikut ini mungkin bisa sedikit memberi petunjuk. Disuatu wilayah di India, karena saking banyaknya jumblah tikus, maka agar pelaksanaan suatu upacara yadnya tidak terganggu, pada setiap acara keagamaan selalu disertai dengan penempatan kucing disisi sesajen yang digelar. Lama kelamaan karena jumblah tikus semakin berkurang, malah tidak lagi mengganggu upacara keagamaan, mestinya penampatan kucing tidak perlu lagi.

Tetapi boleh jadi, lantaran penampatan kucing pada setiap upacara yadnya itu sudah dipandang sebagai suatu kebiasaan yang benar maka kendatipun tidak ada seekor tikus pun mengganggu, umat setempat tetap menghadirkan kucing dalam keranjang. Sepertinya kebiasaan itu sudah dijadikan sebagai bagian dari pelaksanaan upacara keagamaan. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah “mengagamakan adat” artinya sesuatu kebiasaan yang kemudian ditempatkan sebagai bagian dari kebenaran agama. Yang benar sepatutnya dilakukan adalah “mengadatkan agama” atau mentradisikan/membiasakan kebenaran ajaran agama itu sebagai pedoman dalam keseharian hidup.

No comments:

Post a Comment