E-mail : pasek.trunyan@gmail.com
=

Makna Sarad

Sarad
Sarad adalah salah satu jenis upakara besar yang hampir selalu dibuat ketika pelaksanaan yajna dalam tingkatan madya dan lebih-lebih uttama. Kebesaran yajna itu (setidaknya di lihat dari jenis dan tingkatan material) acapkali diwakili oleh keberadaan atau penampilan sarad itu sendiri. Makanya penenempatan sarad itupun akan selalu mengambil lokasi di pusat kegiatan yajna. Perihal makna sarad ini dapat di ulas dari berbagai aspek. Di antaranya aspek arti, seni dan esensi folosofinya. Dari aspek arti kata, sarad mengandung pengertian “sarat” (penuh). Karenanya sarad itu memberi gambaran kongkret tentang isi sepenuhnya dari arti dunia.

Itulah sebabnya berbagai isi alam tergambar dan atau terwakili melalui sarad ini. Dalam sarad ini, isi alam tidak digambarkan sebenarnya melainkan digambar sedemikian rupa dengan sentuhan seni tingkat tinggi dan menggunakan bahan jajan (tepung beras). Yang digambarkan adalah isi dunia baik dunia bawah, tengah dan dunia atas (bhur, bhuwah dan shah loka). Terbawah misalnya gambaran air dengan binatang dan tumbuhan yang hidup di air, lalu binatang darat, tumbuhan darat (ancak, bingin, gelagah, ambengan, kesuna, dsb). Menyusul wujud manusia yang digambarkan dalam bentuk “cili” (laki-perempuan), lalu binatang yang hidup di udara seperti burung. Juga digambarkan planet seperti matahari, bulan, bintang dll. Gambaran alam atas yang dihuni para dewa dan bidadari pun trwakili dalam wujud sarad.

Pendeknya sarad merupakan gambaran dari keseluruhan isi dunia/bhuwana ini yang kalau dikaitkan dengan aspek seni terutama dalam pewayangan lumbrah disebut “kayonan” (gunungan). Itu pula sebabnya sarad dibuat sedemikian rupa menyerupai wujud gunung besar dan tinggi. Meski sarad dibuat dibuar dari bahan jajan, tetapi kandungan filosofinya luar biasa tingginya. Sarad adalah manifestasi bhakti umat dalam mempersembahkan segenap isi dunia kehadapan Hyang Widhi. Di dalamnya juga terkandung segi “mapenauran rna” yaitu suatu kesadaran diri bahwa apa yang selama ini diambil lalu dinikmati dari alam disimboliskan dikembalikan (dipersembahkan) kembali kepada-Nya.

Kesadaran mempersembahkan kembali apa yang diambil ini merupakan refleksi dari ajaran yajna tingakat tinggi. Di mana sebagaimana ucap kitab Bhagavadgita III. 13 umat di ajarkan untuk “memberi sebelum menikmati”. Boleh jadi landasan ajaran ini pula yang menyebabkan mengapa untuk jenis upakara sarad ini tidak dikenal istilah “ngelungsur/nyurud”. Artinya, begitu sarad dipersembahkan, usai upakara biasanya dibiarkan atau dipindahkan ketempat lain untuk akhirnya hancur lebur sendiri.

Begitulah sarad memang sarat dengan makna yang pada hakikatnya menggambarkan betapa umat Hindu untuk urusan beryajna tidak akan pernah surut menjalankannya. Tentu akan bertambah bijaksana bila aspek ritual yang memang perlu biaya mahal itu dapat diaktualisasikan dalam keseharian hidup dalam bentuk perilaku yang dapat gumaweaken sukanikanang won glen.

No comments:

Post a Comment