E-mail : pasek.trunyan@gmail.com
=

Keberuntungan yang Paling Menguntungkan

Oleh : Gede Prama

“ kalau keberuntungan tidak lagi berlawankan kerugian, keberuntungan bias diraih dengan mudah hanya dengan mengatakan, ya, pada kehidupan. Bukankah ini bentuk keberuntungan abadi yang paling menguntungkan “

Mengelola keberuntungan, itulah sebagian gambar-gambar kehidupan yang banyak dilukis dalam kekinian. Larisnya buku, majalah, acara televisi sekaligus radio yang membahas feng shui, tidak kecilnya honor konsultan feng shui, dan bahkan ada yang mengatakan kalau sebagian di antara mereka yang memiliki daftar panjang antrean klien, merebaknya demikian banyak sekolah bisnis dari Amerika, Eropa sampai dengan Asia yang berujung pada satu hal: membuat perusahan beruntung. Di Prancis (sebuah Negara di mana sejumblah pengetahuan berbasiskan rasionalitas dari dulu banyak lahir) bahkan pernah ditemukan data yang mengjutkan: peramal keberuntungan di pinggir jalan termasuk dalam kelompok penyetor pajak yang menentukan.

Digabung menjadi satu, keberuntungan adalah salah satu cabang kehidupan yang menguras tidak sedikit energi hidup. Ini sama dengan cerita Nasruddin yang juga termasuk salah seorang dari kelompok pemulung keberuntungan. Di suatu waktu, Nasruddin berjalan-jalan bersama istrinya. Sebagaimana biasa, begitu melihat wanita cantik, ia pun melirik. Sadar akan hal ini, istri Nasruddin protes, “itulah kerugian laki-laki, selalu merasa wanita lain lebih cantik dan istrinya.” Merasa dirinya terpojok, Nasruddin tidak mau kalah , “malah terbalik, di situlah latak keberuntungan laki-laki. Selalu sadar akan perlunya mengagumi keindahan. Bukankah keindahan adalah bahasa Tuhan?”

Entahlah, yang jelas demikianlah manusia di zaman ini dipermainkan oleh pikirannya. Cirinya sederhana, selalu mencari-cari alasan agar keinginan, hawa nafsu, dan perbuatan memperoleh kebenaran. Dan lebih hebat lagi, tatkala alasan-alasan ini ketemu, ada yang meng-claim diri obyektif, alias bebas dari kepentingan serta vasted interest, hasilnya mudah di tebak: keberuntungan bersifat datang dan pergi. Apa pun (termasuk keberuntungan) hasil produksi pikiran senantiasa bersifat datang dan pergi. Kebahagiaan di usir kesedihan, kesedihan lalu di usir kebahagiaan. Keberuntunagn digantikan kesialan, kesialan lalu diganti keberuntungan. Kekayaan ditakut-takuti kemiskinan, dan kemiskinan pun bisa diusir kekayaan.

Ia semacam perlombaan hidup yang tidak mengenal kata henti. Berganti, berganti dan terus berganti. Tidak sedikit yang sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Kemudian dikunjungi stress dan sakit-sakitan. Seorang sahabat bahkan ada yang berbisik , “dimana-mana occupancy rate (tingkat hunian) rumah sakit gila melebihi seratus persen.” Sadar akan resiko hidup yang berkejaran seperti ini, bisa memaklumi kalau ada pencinta kejernihan yang menentukan mantra sederhana: “ini pun akan berlalu.” Apa dan siapa saja yang datang, selalu disambut dengan mulut yang bergumam dengan matra ini pun akan berlalu.

Indahnya, siapa saja yang rajin bergumam dalam tentang mantra ini pun akan berlalu, mudah sekali memasuki wilayah-wilayah bushido. Seperti bunga di taman. Ia tumbuh, mekar, layu, gugur ke atas tanah dan tumbuh lagi. Dalam cahaya-cahaya bushido seperti ini, tentu mudah dipahami kalau Steve Nobel dalam Freeing the Spirit pernah mengutip sebagian Tao Te Ching: “When opposites no longer damage one another, both are benefited through the attainment of Tao”. Tatkala semua dualitas (benar-salah, baik-buruk, sukses-gagal) berhenti tarik-menarik, keduanya bermanfaat dalam mencapai kebenaran.

Entah ada sahabat yang menelusuri jalan-jalan bushido seperti ini atau tidak. Yang jelas, banyak pejalan kaki di jalan-jalan ini sering bertutur kalau kemanapun mata menoleh yang tersisa hanya satu: keindahan. Bukan karena sedang berlibur ke Bali atau ke Swiss. Bukan juga karena baru saja memenangkan lotere miliaran rupiah. Bukan juga karena baru mendapatkan pacar baru. Melainkan sudah berpelukan rapi dengan hidup dan kehidupan. Tidak ada penolakan atau pemaksaan disana. Tidak ada dorongan-dorongan disana. Yang tersisa hanya satu: seni berkata, “ya” pada kehidupan. Ini mirip dengan apa yang ditulis Pema Chodron dalam The Wisdom of No Escape: “Hell is just resintance to life.” Neraka hanya muncul ketika terjadi penolakan terhadap kehidupan. Diluar penolakan pada hidup, neraka menghilang entah kemana.

Bedanya dengan pengertian banyak orang yang mempertentangkan neraka dengan surga, dalam seni hidup yang hanya mengenal kata, ya, tidak ada lagi hal yang layak dipertentangkan atau diperlawankan. Yang ada hanya mulut yang bergumam dalam, “ini pun akan berlalu!” ada yang menyebut hidup seperti ini dengan pasrah tidak bergairah. Ada juga yang menyebutnya sebagai awal bersinarnya cahaya-cahaya kesucian di sana sini. Entahlah, yang jelas ada yang bertanya, “kalau keberuntungan tidak lagi berlawankan kerugian, keberuntungan bisa diraih dengan mudah hanya dengan mengatakan, “ya” pada kehidupan. Bukankah ini bentuk keberuntungan abadi yang paling menguntungkan?”

Tentu saja kembali siapa anda. Bila anda seorang accountant yang lagi bersemangat mencari uang, tentu jawabannya lebih dekat ke negative. Bila anda adalah seorang pencari kedamaian, bisa jadi pisitif jawabannya. Kalau anda seorang spiritual traveller yang sudah berjalan jauh, anda tidak memerlukan baik jawaban maupun pertanyaan. Bahkan judul hening pun tidak perlu lagi.

No comments:

Post a Comment