Asraddha hutam dattam
tapastaptam krtam ca yat
asadityucyate pursa na
ca tat pretyaneha ca.
(Sarasamuscaya 211).
Maksudnya: Syarat yadnya yang memberikan pahala mulia dengan adanya bhakti, pemberian yang tulus ikhlas, tapa melaksanakan dharma, tetapi tanpa didasarkan dengan keyakinan yang sungguh-sungguh, maka perbuatan itu sangat hina. Tidak akan berpahala mulia di dunia ini maupun di akhirat.
Melakukan suatu kegiatan agama Hindu seperti melakukan yadnya tidak bisa terpisah-pisah. Beryadnya seharusnya dilakukan secara terpadu antara pikiran, perkataan dan perilaku. Ketiga hal itu wajib dilakukan tanpa mengistimewakan salah satunya. Kadang ada yang menyatakan bahwa yang penting pelaksanaan, bukan omongan saja. Ada juga yang menyatakan yang utama pikiran kita sudah baik. Ada juga yang menyatakan ucapan yang utama. Sesungguhnya ketiga hal itu memiliki kedudukan yang setara dan wajib terpadu. Untuk mendapatkan pahala mulia dari yadnya yang dilakukan ada beberapa syarat yang wajib diposisikan secara terpadu yaitu:
Bhakti adalah sikap hidup yang diwujudkan dengan berserah diri pada Tuhan. Berserah diri pada Tuhan itu bukanlah bermalas-malasan-- segala persoalan hidup ini diserahkan pada Tuhan. Berserah diri pada Tuhan itu adalah bekerja dengan baik, benar, tepat dan wajar. Karena ajaran Karmaphala yang diciptakan oleh Tuhan mengajarkan bahwa setiap perbuatan akan memberikan pahala sesuai dengan apa yang diperbuat. Kalau perbuatan yang dilakukan itu baik, benar, tepat dan wajar, itu pasti berpahala sesuai dengan perbuatan tersebut. Ajaran Karmaphala inilah yang wajib dipegang kuat-kuat. Mantapkan keyakinan dan tingkatkan kemampuan untuk melakukan perilaku yang baik, benar, tepat dan wajar. Kapan perilaku itu memberikan pahala itu hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas perilaku itu pasti akan berpahala seperti yang dilakukan. Hal itu tidak boleh diragukan. Ini artinya berbhakti pada Tuhan untuk meningkatkan dan menguatkan eksistensi Atman yang suci. Eksistensi Atman yang kuat akan meningkatkan keluhuran moral dan menguatkan daya tahan mental. Moral yang luhur dan mental yang kuat sebagai modal dasar untuk berperilaku baik, benar, tepat dan wajar berlandaskan dharma.
Weweh artinya memberikan. Dalam Wrehaspati Tattwa dinyatakan Daana ngarania paweweh. Artinya daana namanya perilaku memberikan. Dengan demikian Weweh itu adalah melakukan daana punia dengan baik, benar, tepat dan wajar sesuai dengan petunjuk dharma. Bhagawad Gita XVII.20 menyatakan bahwa daana punia yang diberikan atas dasar kewajiban atau Datavyam dengan tulus ikhlas berdasarkan Desa, Kala dan Patra. Dalam hal ini Patra itu adalah orang yang baik dan tepat. Sarasamuscaya 271 menyatakan: Patra ngarania Sang yogia Wehana Daana. Artinya Patra namanya adalah orang yang sepatutnya diberikan daana punia. Daana Punia yang demikian disebut Satvika Daana atau pemberian yang berkualitas tinggi. Dalam Bhagawad Gita IV.33 dinyatakan bahwa melakukan Yadnya dengan ilmu pengethauan suci atau Jnyana Yadnya jauh lebih tinggi nilainya daripada beryadnya dengan harta benda.
Tapa dalam Sarasamuscaya 260 dinyatakan: ‘’Tapa kaya sang sosana.’’ Maksudnya, tapa adalah kuat menahan gejolak hawa nafsu. Sedangkan Wrehaspati Tattwa 25 menyatakan: ‘’Tapa ngarania umati indryania.’’ Maksudnya, tapa namanya mengedalikan indriyanya. Indriya ini dalam Katha Upanisad I.3-9 diri manusia itu diumpamakan bagaikan kereta dengan kudanya. Kuda yang menarik kereta diumpamakan indriya. Sedangana badan kereta diumpamakan badan raga. Pikiran diumpamakan tali lis atau tali kendali kereta. Kusir kereta diumpamakan kesadaran budhi. Atman diumpamakan pemilik kereta. Kuda akan dapat menarik kereta dengan sempurna untuk mengantarkan pemilik kereta pada tujuannya. Artinya badan wadag ini adalah badan kereta yang ditarik oleh kuda indriya. Ini berarti Tapa itu adalah memelihara dan melatih indriya agar tetap sehat berfungsi sempurna menurut alamnya serta patuh pada pengendalian pikiran dan kesadaran budhi. Dengan Tapa itu manusia dapat mengendalikan indriya-nya yang sehat dan tidak menyimpang dari kendali pikiran dan kesadaran budhi. Dengan demikian Atman akan semakin dekat dengan Brahman. Dekatnya hubungan Atman dengan Brahman akan membuat manusia itu selalu dapat berbuat dalan jalan Dharma. Tanpa Tapa, indriya itu bisa membawa diri manusia ini terseok-seok ke jurang Adharma menuju neraka.
Ulah Dharma, artinya prilaku yang berdasarkan dharma. Melaksanakan ini bukan sekadar untuk meraih pencitraan diri di tengah-tengah masyarakat. Namun atas kesadaran bahwa hal itu wajib dilakukan oleh manusia yang hidup di bumi ini. Perilaku Dharma menurut Wrehaspati Tattwa 25 ada tujuh yaitu: Sila, Yadnya, Tapa, Daana, Prawrajya, Bhiksu dan melakukan Yoga. Misalnya, Sila disebutkan: ‘’Mangraksa acara rahayu.’’ Artinya memiliki kebiasaan hidup yang baik. Prawrajya artinya mengembara menyebarkan Dharma. Bhiksu selalu berupaya menyucikan diri melepaskan ego atau Ahamkara. Yoga artinya mengendalikan pikiran untuk bersatu dengan Tuhan.
Sraddha, artinya keyakinan atau kepercayaan yang sungguh-sungguh. Tidak boleh meragukan kebenaran ajaran tersebut. Hidup penuh keraguan sangat berbahaya Dalam Bhagawad Gita IV.40 menyatakan: ‘’Samsayaatma vinasyati’’. Artinya barang siapa yang ragu akan kebenaran tersebut akan hancur. Inilah kunci pengamalan Bhakti, Weweh, Tapa dan Ulah Dharma. Tanpa keikhlasan dan keyakinan yang sungguh-sungguh perilaku tersebut disebut perilaku Nista namanya. Melakukan Bhakti pada Tuhan hanya untuk mencitrakan diri agar dipandang sebagai orang yang religius tanpa keyakinan sungguh sangat rendah. Demikian pula melakukan Daana Punia untuk mencitrakan diri agar dipandang orang dermawan juga rendah
sumber : www.hindu-indonesia.com/
Syarat Yadnya Berpahala Mulia
Reinkarnasi Dalam Tradisi di Bali
Keadilan Tuhan dapat ditemukan dalam keseharian hidup manusia. Ada banyak hukum keadilan Tuhan yang dinikmati oleh manusia seperti;
Pertama, manusia diberikan waktu 24 jam sehari dan waktu itu berlaku bagi semua orang.
Kedua, jumlah frekuensi nafas yang diberikan kepada manusia yang sama untuk masing-masing orang sehingga usia orang berdasarkan jumlah nafas yang mereka hembuskan dan makin sering nafas digunakan makin cepat habis dan kematian menghampiri kita. Itulah yang dikatakan para penganut Yoga Asana,
Ketiga Tuhan memberikan kita seribu langkah untuk membuka pintu gerbang svarga atau neraka, semakin sering kita menggunakan langkah tersebut, semakin cepat pula kita sampai di salah satu gerbang itu.
Ada 10 macam langkah manusia Hindu yang menghantarkan mendekati gerbang itu; 4 macam dari perkataan, 3 macam dari perbuatan dan 3 macam dari pikiran yang tertuang dalam Manawa Dharmasastra adhyaya XII 5-7. Bernafsu akan milik orang lain, berpikir pada diri seorang apa yang tidak diinginkan dan mengikuti ajaran yang salah merupakan 3 macam dosa pikiran. Mencemooh, berbohong, mengurangi kebajikan orang lain dan berkata kosong adalah 4 macam dosa dari perkataan. Mengambil apa yang belum diberikan, melukai mahkluk tanpa perintah hukum agama dan melakukan zina dengan istri orang lain dinyatakan 3 macam kejahatan dari tingkah laku badan.
Sraddha yang ketiga dalam Hindu adalah Karmaphala, setiap perbuatan akan mengakibatkan dua hal: punarbhawa (tumimbal lahir seperti kerucut spiral di satu sisi bergerak keluar dan disisi lain bergerak ke dalam) dan moksa akibat terakhir dari putaran spiral yang mengarah kedalam yaitu sang diri menunggal denganNYA.
Moksa
Moksartham jagathita ya ca iti dharma mempunyai dua aspek penting dalam tujuan mengarungi kehidupan manusia Hindu adalah kebahagiaan di dunia dan tercapainya kebebasan atau kelepasan, yakni bebasnya atma (roh) dari belengu karma dan samsara atau kelahiran kembali (Zoetmulder, 1995). Tattwa Jnana menjelaskan tentang moksah adalah “tutur ngaranya ri kalanya sthiti humideng tan polah” ketika tutur (atman) dalam keadaan tetap langgeng tidak bergerak. Apabila dikatakan bahwa setiap kematian adalah keindahan dan setiap keindahan adalah kebahagiaan, maka kita akan bahagia setelah tidak membutuhkan tubuh yang baru untuk kita kremasi kelak. Recycling tubuh (punarbhawa/ reinkarnasi) dalam Hindu merupakan suatu usaha tindakan penghindaran, meskipun dalam Swargarohanaparwa Jawa Kuno diisyaratkan bahwa moksa itu hanya bisa dicapai oleh orang yang dipandang suci (Made Titib, 2006).
Upacara Metuunang/ Meluasang Istilah metuunang/mepeluas bukan saja merupakan tradisi budaya, melainkan sebuah rangkaian peristiwa dalam sistem keagamaan Hindu di Bali yang sering dilaksanakan untuk menyambut kelahiran seorang anak, sehabis upacara besar tertentu, kena musibah/ bencana dll. Metuunang dilakukan dengan perantara Balian Pedehan yang ada di sekitar masyarakat Hindu di Bali. Didahului dengan nunas ke Betara Dalem agar bisa didatangkan roh leluhur yang dikehendaki untuk hadir pada Balian Pedehan yang dimaksud. Kesakralan dan keunikan peristiwa ini adalah dengan mendatangkan “Roh” orang yang kita undang lewat Balian Pedehan yang sedang kerawuhan/ kerasukan.
Untuk mengetahui siapa yang manumadi pada si bayi, orang tua (nenek atau kakek) akan melaksanakan upacara Metuunang, di akhir upacara ini disambut dengan kesimpulan final bahwa yang numitis ke raga si bayi adalah I pekak…, I kumpi…, I buyut…. dst, yang menariknya lagi adalah mereka yang masuk ke raga si bayi selalu masih ada hubungan keluarga vertikal dengan yang melaksanakan upacara Meluasang saat itu.
Kelahiran seseorang (otonan) mempunyai pengaruh tertentu yang bersifat baik dan buruk. Baik karena setiap hari kelahiran ada Dewatanya dan buruk karena setiap hari juga diikuti oleh Bhuta. Dalam lontar Wariga Dewasa dan lontar Weraspati Kalpa diisyaratkan bahwa hari lahir anak membawa keberuntungan dan ciri hidup yang harus dia terima selama di bumi “tingkahing wong nista madya utama wangsa, ngamet dewasa ayu, ngaran amener diawak, adius angunting, memeras wang anggen pretisantana”. Atman
Stula Sarira kehilangan keseimbangan ikatan antara komponen pembentuk yang tersisa hanyalah Sukma Sarira yang sudah tidak diikat lagi oleh Pancamayakosa. Atman yang masih diikat (dilingkupi) oleh annamayakosa dan pranamayakosa disebut dengan roh halus (soul).
Atman yang murni yang tidak tercemar oleh bentuk ilusi (maya). Atman juga mempunyai tingkatan atas bawah yang merupakan ciri berstratanya kemurnian Atman. Sapta Atma merupakan hakekat dari Sunya yang merupakan komponen utama dari atman itu sendiri. Atman dalam Tutur Gong Besi sampai yang tertinggi adalah: Atma yang tunggal1, Parahatma2, Paraatma3, Gogatma4, Antaratma5, Siwatma6 dan Sunyatma7. Ketika mencapai yang terakhir inilah disebut sebagai manunggaling kawula lan gusti.
Atman mampu keluar masuk tubuh manusia sesuai dengan kebutuhannya yang kemudian disebut Jagra dan Susupna dengan meniatkan Atma untuk keluar dari diri manusia dengan mantra “Ih kulisah metu ta sira, amarga ring telenging netra kalih, maring surya tingghal trangana, byar apadang”.
Punarbhawa
Kelahiran kembali dalam Hindu sesuatu hal yang ditunggu karena berhubungan dengan Tri Rna pertama yang harus dibayar oleh manusia yaitu hutang kepada leluhur. Akan tetapi Punarbhawa juga sekaligus harus dihindari karena dia merupakan penghambatan tujuan Hindu itu sendiri. Punarbhawa akan menjadi tujuan adalah jika mendapatkan kelahiran dalam raga sarira dan sukma sarira yang lebih baik dibandingkan ketika dalam kehidupannya sekarang sebelum meninggal (Nala, 2001). Rna yang kedua adalah hutang kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menyebabkan kita ada di dunia ini dan Rna yang ketiga hutang kepada para Rsi yang telah mendidik manusia untuk belajar kebenaran (satyam, siwam dan sundaram).
Perjalanan panjang atman menuju Siwa Lokha tentu banyak hambatan dan tantangan. Hambatan paling utama dan pertama adalah kebingungan (unconsciousness) jati diri atman dalam tubuh manusia yang terikat oleh Panca Maya Kosa. Dalam Taittiriya Upanisad disebutkan annamayakosa, pranamayakosa, manomayakosa, widnyanakosa dan anandamayakosa. Proses kosmis dalam 5 tahapan inilah yang selalu mengaburkan realitas tak terbatas yang tidak terbagi itu.
Punarbhawa bertujuan agar kita bisa memiliki raga dan sukma sarira yang lebih baik, untuk itu sebaiknya kita mampu memilih garbha (kandungan) yang baik. Menurut Pandita Mpu Nabe Daksa Samyoga (2007) ada beberapa cara untuk mencapai ini: Setelah 3 ½ hari pertama kematian kebanyakan orang belum bisa menyadari kematian dirinya. Untuk menyadari hal itu, maka si mati (?) harus berdoa dan mohon bantuan dari Keberadaan Pintu Garbha yang terbuka dan tertutup. Jika melihat orang melakukan senggama jangan tertarik dan tergoda, karena pintu Garbha bisa tertutup kembali.
Kita bisa lahir kembali dengan 4 cara melalui: kandungan seorang ibu, telur, biji-bijian, dan cara lain yang bersifat supra natural. Kalau tergesagesa dan salah memilih cara lahir, kita bisa lahir menjadi hewan atau bahkan menjadi tumbuhan.
Memilih Garbha begitu penting ketika kita ingin lahir kembali agar bisa menikmati alam dunia yang indah ini. Ada 8 tanda Gharba dengan artinya masing-masing sbb:
Danau dan angsa, sebagai pertanda kita lahir keluarga mapan dan nyaman.
Bangunan-bangunan megah, pertanda peningkatan kesadaran dan kemurnian di dunia yang akan datang.
Danau dan kuda-kuda yang berkeliaran di tepinya, kita akan memperoleh kekayaan tapi kesejahteraan yang semu.
Danau yang dikelilingi oleh hutan yang luas dengan berbagai macam binatang berkeliaran, kita dapat usia yang panjang, tetapi tidak menunjang kehidupan spiritual.
Tempat suci dan Pura yang megah, kita akan lahir dalam alam para Dewata atau lahir dalam keluarga yang religius yang sangat membantu proses kemurnian jiwa kita.
Belukar dan api yang membara, kita akan lahir dalam keluarga yang mengagungkan kekuatan dan kesaktian.
Gua-gua yang gelap atau lubanglubang yang besar yang tertutup kabut, kita akan lahir pada mereka yang masih bersifat hewani.
Bersamaan terlihat padang pasir yang luas, hutan belukar yang gelap, gua-gua yang sunyi dan lapangan tanpa habitat, kita akan lahir dalam kehidupan yang tidak berarti.
Itulah sebabnya kita harus memusatkan pikiran kita sebelum kematian menjemput agar kematian itu menjadi sesuatu yang indah yang diimpikan semua orang.
Sumber : www.mediahindu.net
Mengenang Tuhan Lewat Wayang
Sudamala, etos kerja dan namasmaranam, paling tidak itulah makna yang dapat dipetik dalam pementasan wayang kulit tradisi duta Gianyar, yang tampil di wantilan Taman Budaya, 15 Juni lalu. Sanggar Suara Murti yang menampilkan dalang I Made Juanda dari Sukawati Gianyar itu menyuguhkan lakon Katundung Hanoman.
Pertunjukan yang berdurasi sekitar 150 menit itu diawali dengan pertemuan Rama, Laksmana dan Sugriwa. Dalam pertemuan itu, Rama mengatakan bahwa Hanoman menolak hadiah sebagai balas jasa ikut memerangi Rahwana.
Dalam cerita dituturkan, seusai perang, Rama membagi-bagi hadiah kepada para pahlawan kera yang sangat berjasa dalam perang di Alengka. Hadiah itu tidak tanggung-tanggung. Masing-masing kera menerima bidadari dari kahyangan yang cantiknya mungkin melebihi para selebritis di dunia ini.
Tapi khusus untuk Hanoman, bukan bidadari yang diberi sebagaia hadiah, melainkan kalung emas Dewi Sita. Kalung itu, dari segi harga mungkin tidak mahal, tapi memiliki nilai historis yang tidak ternilai. Kalung itu adalah mas kawin Rama, saat putri dari Matili itu menikah dengan putra mahkota Ayodhya.
Sikap Hanoman yang menolak hadiah itu ternyata disalahtafsirkan oleh Sugriwa. Sebagai paman Hanoman, Sugriwa mohon maaf kepada Rama atas sikap keponakannya yang dinilai tidak hormat itu. Sugriwa tak bisa memaafkan Hanoman, dan keponakannya itu pun diusir dari komunitas kera, setelah sempat disiksa.
Hanoman yang melakukan perlawanan kepada Sugriwa segera pergi entah kemana. Dalam perjalanannya, putra Dewi Hanjani itu mengubah dirinya menjadi raksasa dengan nama Kalapetak. Secara tak sengaja ia bertemu dengan raksasa bernama Kumbapranawa. Rakasa itu hendak menyerang Rama, karena ingin membalas dendam atas kematian Kumbakarna, gurunya.
Kalapetak pun sepakat bergabung dengan Kumbapranawa. Mereka sama-sama menyerang Rama. Dalam perang itu, Kumbapranawa gugur. Tapi Kalapetak tak bisa dikalahkan oleh pasukan kera. Rama pun kemudian turun tangan. Tapi ia tidak melepaskan senjata, melainkan sarana pemunah segala kekotoran. Sarana yang dilambangkan kayonan itu bisa mengubah Kalapetak ke wujudnya semula sehingga menjadi Hanoman kembali.
Sebagai abdi yang baik, tentu saja Hanoman segera menyembah Rama. Ia segera mohon maaf dan menyatakan bahagia mendapat sarana pemunah kekotoran itu. Kemudian Hanoman menjelaskan, mengapa menolak hadiah kalung emas, tiada lain karena ia bekerja tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan balas jasa berupa harta benda yang sifatnya duniawi. Yang ia inginkan adalah, diri Rama manunggal dengan dirinya. Dengan demikian, dimanapun dan kapanpun Hanoman selalu dapat mengingat Rama yang tak lain penjelmaan Wisnu di dunia ini. Dalam bahasa Sansekerta, mengingat dan menyebut nama Tuhan berulang-ulang disebut namasmaranam. Atas permintaan itu, Rama berkenan bersemayam dalam padma hredaya (hati) Hanoman.
Lakon yang disuguhkan Juanda itu, rupanya sudah diimbuhi kawidalang (karangan dalang) dari cerita sumbernya. Dalam versi India (yang dianggap sebagai sumber cerita Ramayana), Hanoman tidak pernah diceritakan diusir oleh Sugriwa akibat penolakan hadiah kalung emas itu. Hanoman diceritakan membuka dadanya dan yang masuk ke padma hredayanya adalah Rama dan Sita. Demikian pula tak pernah diceritakan, murid Kumbakarna bernama Kumbapranawa membalas dendam. Tokoh itu, rupanya hasil karangan dalang.
Kawi dalang itu sah-sah saja, karena memang tidak merusak babon cerita. Penambahan itu mungkin saja dilakukan untuk memperkaya cerita dan menambah unsur-unsur dramatis sehingga dapat memancing emosi pendengar atau penonton. Apa yang diperoleh Hanoman, rupanya itulah hadiah yang tertinggi. Tidak ada hadiah yang lebih tinggi lagi selain dapat mengenang nama Tuhan tiap hembusan nafas.
Akan tetapi untuk dapat mencapai hal yang luar biasa dan istimewa itu, diperlukan usaha spiritual (sadhana) yang luar biasa pula. Bentuk sadhana itu adalah pengabdian yang tulus ikhlas. Pengabdian yang tulus ikhlas antara lain baru bisa dilakukan setelah berhasil mengubah sifat keraksasaan menjadi sifat kemanusiaan. Sifat kemanusiaan itu juga diubah menjadi sifat kedewataan. Dengan adanya sifat kedewataan itulah, maka akan menunggal dengan dewata. Dalam istilah Jawa, sebagaimana disebutkan Dalang Juanda, manunggalaning kawula lan Gusti.
Keagungan Ramayana
Dari segi seni pertunjukan, penampilan Juanda di malam itu tentu saja ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan Juanda terlihat ketika ia melantunkan lagu untuk sesendon. Vokalnya sangat pas untuk seni pedalangan. Penguasaan Juanda tentang isi kekawin, khusus untuk kebutuhan seni pedalangan rupanya sudah cukup memadai. Bahasa Kawi-nya pun cukup lancar. Akan tetapi cara penempatan lagu sesendon kadang-kadang kurang pas, sehingga bisa merusak suasana.
Selain itu, Juanda rupanya perlu memperpanjang tarian kera. Sebab, di sinilah salah satu ciri khas wayang Ramayana. Masyarakat awam sering menerjemahkan kata "ramayana" dengan istilah "ramai". Jadi, mungkin maksudnya, wayang Ramayana itu mesti dipentaskan dalam suasana ramai. Masuk akal juga terjemahannya itu, karena kalau ada pertunjukan wayang Ramayana hanya diiringi 4 gender saja, alangkah sepinya pementasan itu.
Mengingat Sukawati (tempat kediaman Juanda) gudangnya wayang, maka Juanda sangat mungkin dapat menampilkan berbagai adegan tarian kera, sehingga akan menambah maraknya suasana. Dalang Sukawati yang lain, sering menampilkan adegan kera yang kocak-kocak, dan jika itu diulangi lagi, tidak akan terkesan basi, karena penonton PKB juga banyak yang baru.
Terlepas dari kekurangan itu, Juanda memiliki kekuatan, peluang dan kesempatan yang panjang untuk mengembangkan bakat pedalangannya. Pementasan wayang kulit di arena PKB yang mengangkat epos Ramayana, tentu saja memiliki berbagai makna yang patut dipetik. Sebab, Ramayana yang ditulis Maharsi Valmiki, adalah salah satu bagian dari Itihasa, memiliki pengaruh dan manfaat besar bagi umat manusia dalam melakukan pendakian spiritual.
Dalam Valmiki Ramayana disebutkan bahwa pahala membaca Ramayana antara lain: "Ia yang menginginkan kebahagiaan, hendaknya berkontemplasi kepada Sri Rama dan menceritakan epos Ramayana setiap hari. Ia yang ingin membaca seluruh cerita Ramayana tidak diragukan lagi akan mencapai Visnuloka. Mendengarkan, walaupun satu suku kata saja atau sebaris dari sloka Ramayana dengan penuh hormat, seseorang akan mencapai Brahmaloka dan mendapatkan penghargaan."
Ramayana karya Maharsi Valmiki disebut Mahakavya yang artinya karya puisi yang agung. Cerita itu merupakan tuntunan mulia untuk seluruh umat manusia dan dinilai sama seperti tirta amerta, sama seperti Sungai Gangga yang maha suci. Mengingat keagungan dan kesuciannya itu, Ramayana yang dijadikan lakon dalam kesenian apapun memang patut ditonton. *Wayan Supartha.
Sumber : parisada.org
Cubha dan Acubha Karma
Pada dasarnya sesuai dengan siklus rwabhineda, perbuatan itu terjadi dari dua sisi yang berbeda, yaitu perbuatan baik dan perbuatan yang tidak baik. Perbuatan baik ini disebut dengan Cubha Karma, sedangkan perbuatan yang tidak baik disebut dengan Acubha Karma. Siklus cubha dan acubhakarma ini selalu saling berhubungan satu sama lain dan tidak dipisahkan.
Demikianlah perilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga dengan kesadarannya dia harus dapat menggunakan kemampuan yang ada di dalam dirinya, yaitu kemampuan berfikir, kemampuan berkata dan kemampuan berbuat. Walaupun kemampuan yang dimiliki oleh manusia tunduk pada hukum rwabhineda, yakni cubha dan acubhakarma (baik dan buruk, benar dan salah, dan lain sebagainya), namun kemampuan itu sendiri hendaknya diarahkan pada çubhakarma (perbuatan baik). Karena bila cubhakarma yang menjadi gerak pikiran, perkataan dan perbuatan, maka kemampuan yang ada pada diri manusia akan menjelma menjadi prilaku yang baik dan benar. Sebaliknya, apabila acubhakarma yang menjadi sasaran gerak pikiran, perkataan dan perbuatan manusia, maka kemampuan itu akan berubah menjadi perilaku yang salah (buruk).
Berdasarkan hal itu, maka salah satu aspek kehidupan manusia sebagai pancaran dari kemampuan atau daya pikirnya adalah membeda-bedakan dan memilih yang baik dan benar bukan yang buruk atau salah.
Manusah sarvabhutesu
vartate vai cubhacubhe,
achubhesu samavistam
cubhesveva vakaravet. (Sarasamuccaya 2)
Dari Demikian banyaknya mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat melakukan perbuatan baik buruk itu; adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatnya jadi manusia.
Untuk memberikan batasan tentang manakah yang disebut tingkah laku baik atau buruk, benar atau salah, tidaklah mudah untuk menentukan secara tegas mengenai klasifikasi dari pada baik dan buruk itu adalah sangat sulit. Sebab baik dan buruk seseorang belum tentu baik atau bauruk bagi orng lain. Hal ini tergantung tingkat kemampuan dan kepercayaan serta pandangan hidup seseorang itu sendiri. Akan tetapi menurut agama Hindu disebutkan secara umum bahwa perbuatan yang baik yang disebut Cubhakarma itu adalah segala bentuk tingkah laku yang dibenarkan oleh ajaran agama yang dapat menuntun manusia itu ke dalam hidup yang sempurna, bahagia lahir bathin dan menuju kepada persatuan Atman dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan perbuatan yang buruk (acubhakarma) adalah segala bentuk tingkah laku yang menyimpang dan bertentangan dengan hal-hal tersebut di atas.
Untuk lebih jelasnya, manakah bentuk-bentuk perbuatan baik (cubhakarma) dan bentuk-bentuk perbuatan yang tidak baik (Acubhakarma) menurut ajaran agama Hindu sebagaimana disjelaskan berikut ini:
Çubhakarma (Perbuatan Baik)
1. Tri Kaya Parisudha
Tri kaya Parisudha artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berfikir yang bersih dan suci (manacika), berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika). Jadi dari pikiran yang bersih akan timbul perkataan yang baik dan perbuatan yang jujur. Dari Tri Kaya Parisudha ini timbul adanya sepuluh pengendalian diri yaitu 3 macam berdasarkan pikiran, 4 macam berdasarkan perkataan dan 3 macam lagi berdasarkan perbuatan. Tiga macam yang berdasarkan pikiran adalah tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berpikiran buruk terhadap mahkluk lain dan tidak mengingkari adanya hukum karmaphala. Sedangkan empat macam yang berdasarkan atas perkataan adalah tidak suka mencaci maki, tidak berkata kasar kepada makhluk lain, tidak memfitnah dan tidak ingkar pada janji atau ucapan. Selanjutnya tiga macam pengendalian yang berdasarkan atas perbuatan adalah tidak menyiksa atau membunuh makhluk lain, tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda dan tidak berjina.
2. Catur Paramita
Catur Paramita adalah empat bentuk budi luhur, yaitu Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa. Maitri artinya lemah lembut, yang merupakan bagian budi luhur yang berusaha untuk kebahagiaan segala makhluk. Karuna adalah belas kasian atau kasih sayang, yang merupakan bagian dari budi luhur, yang menghendaki terhapusnya pendertiaan segala makhluk. Mudita artinya sifat dan sikap menyenangkan orang lain. Upeksa artinya sifat dan sikap suka menghargai orang lain. Catur Paramita ini adalah tuntunan susila yang membawa masunisa kearah kemuliaan.
3. Panca Yama Bratha
Panca Yama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam hubungannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian bathin. Panca Yama Bratha ini terdiri dari lima bagian yaitu Ahimsa artinya tidak menyiksa dan membunuh makhluk lain dengan sewenang-wenang, Brahmacari artinya tidak melakukan hubungan kelamin selama menuntut ilmu, dan berarti juga pengendalian terhadap nafsu seks, Satya artinya benar, setia, jujur yang menyebabkan senangnya orang lain. Awyawahara atau Awyawaharita artinya melakukan usaha yang selalu bersumber kedamaian dan ketulusan, dan Asteya atau Astenya artinya tidak mencuri atau menggelapkan harta benda milik orang lain.
4. Panca Nyama Bratha
Panca Nyama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, adapun bagian-bagian dari Panca Nyama Bratha ini adalah Akrodha artinya tidak marah, Guru Susrusa artinya hormat, taat dan tekun melaksanakan ajaran dan nasehat-nasehat guru, Aharalaghawa artinya pengaturan makan dan minum, dan Apramada artinya taat tanpa ketakaburan melakukan kewajiban dan mengamalkan ajaran-ajaran suci.
5.Sad Paramita
Sad Paramita adalah enam jalan keutamaan untuk menuju keluhuran. Sad Paramita ini meliputi: Dana Paramita artinya memberi dana atau sedekah baik berupa materiil maupun spirituil; Sila Paramita artinya berfikir, berkata, berbuat yang baik, suci dan luhur; Ksanti Paramita artinya pikiran tenang, tahan terhadap penghinaan dan segala penyebab penyakit, terhadap orang dengki atau perbuatan tak benar dan kata-kata yang tidak baik; Wirya Paramita artinya pikiran, kata-kata dan perbuatan yang teguh, tetap dan tidak berobah, tidak mengeluh terhadap apa yang dihadapi. Jadi yang termasuk Wirya Paramita ini adalah keteguhan pikiran (hati), kata-kata dan perbuatan untuk membela dan melaksanakan kebenaran; Dhyana Paramita artinya niat mempersatukan pikiran untuk menelaah dan mencari jawaban atas kebenaran. Juga berarti pemusatan pikiran terutama kepada Hyang Widhi dan cita-cita luhur untuk keselamatan; Pradnya Paramita artinyaa kebijaksanaan dalam menimbang-nimbang suatu kebenaran.
6.Catur Aiswarya
Catur Aiswarya adalah suatu kerohanian yang memberikan kebahagiaan hidup lahir dan batin terhadap makhluk. Catur Aiswarya terdiri dari Dharma, Jnana, Wairagya dan Aiswawarya. Dharma adalah segala perbuatan yang selalu didasari atas kebenaran; Jnana artinya pengetahuan atau kebijaksanaan lahir batin yang berguna demi kehidupan seluruh umat manusia. Wairagya artinya tidak ingin terhadap kemegahan duniawi, misalnya tidak berharap-harap menjadi pemimpin, jadi hartawan, gila hormat dan sebagainya; Aiswarya artinya kebahagiaan dan kesejahteraan yang didapatkan dengan cara (jalan) yang baik atau halal sesuai dengan hukum atau ketentuan agama serta hukum yang berlaku di dalam masyarakat dan negara.
7.Asta Siddhi
Asta Siddhi adalah delapan ajaran kerohanian yang memberi tuntunan kepada manusia untuk mencapai taraf hidup yang sempurna dan bahagia lahir batin. Asta Siddhi meliputi: Dana artinya senang melakukan amal dan derma; Adnyana artinya rajin memperdalam ajaran kerohanian (ketuhanan); Sabda artinya dapat mendengar wahyu karena intuisinya yang telah mekar; Tarka artinya dapat merasakan kebahagiaan dan ketntraman dalam semadhi; Adyatmika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam gangguan pikiran yang tidak baik; Adidewika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam penyakit (kesusahan yang berasal dari hal-hal yang gaib), seperti kesurupan, ayan, gila, dan sebagainya. Adi Boktika artinya dapat mengatasi kesusahan yang berasal dari roh-roh halus, racun dan orang-orang sakti; dan Saurdha adalah kemampuan yang setingkat dengan yogiswara yang telah mencapai kelepasan.
8 Nawa Sanga
Nawa Sanga terdiri dari: Sadhuniragraha artinya setia terhadap keluarga dan rumah tangga; Andrayuga artinya mahir dalam ilmu dan dharma; Guna bhiksama artinya jujur terhadap harta majikan; Widagahaprasana artinya mempunyai batin yang tenang dan sabar; Wirotasadarana artinya berani bertindak berdasarkan hukum; Kratarajhita artinya mahir dalam ilmu pemerintahan; Tiagaprassana artinya tidak pernah menolak perintah; Curalaksana artinya bertindak cepat, tepat dan tangkas; dan Curapratyayana artinya perwira dalam perang.
9. Dasa Yama Bratha
Dasa Yama Bratha adalah sepuluh macam pengendalian diri, yaitu Anresangsya atau Arimbhawa artinya tidak mementingkan diri sendiri; Ksama artinya suka mengampuni dan dan tahan uji dalam kehidupan; Satya artinya setia kepada ucapan sehingga menyenangkan setiap orang; Ahimsa artinya tidak membunuh atau menyakiti makhluk lain; Dama artinya menasehati diri sendiri; Arjawa artinya jujur dan mempertahankan kebenaran; Priti artinya cinta kasih sayang terhadap sesama mahluk; Prasada artinya berfikir dan berhati suci dan tanpa pamerih; Madurya artinya ramah tamah, lemah lembut dan sopan santun; dan Mardhawa artinya rendah hati; tidak sombong dan berfikir halus.
10. Dasa Nyama Bratha
Dasa Nyama Bratha terdiri dari: Dhana artinya suka berderma, beramal saleh tanpa pamerih; Ijya artinya pemujaan dan sujud kehadapan Hyang Widhi dan leluhur; Tapa artinya melatih diri untuk daya tahan dari emosi yang buruk agar dapat mencapai ketenangan batin; Dhyana artinya tekun memusatkan pikiran terhadap Hyang Widhi; Upasthanigraha artinya mengendalikan hawa nafsu birahi (seksual); Swadhyaya artinya tekun mempelajari ajaran-ajaran suci khususnya, juga pengetahuan umum; Bratha artinya taat akan sumpah atau janji; Upawasa artinya berpuasa atau berpantang trhadap sesuatu makanan atau minuman yang dilarang oleh agama; Mona artinya membatasi perkataan; dan Sanana artinya tekun melakukan penyician diri pada tiap-tiap hari dengan cara mandi dan sembahyang.
11.Dasa Dharma
Yang disebut Dasa Dharma menurut Wreti Sasana, yaitu Sauca artinya murni rohani dan jasmani; Indriyanigraha artinya mengekang indriya atau nafsu; Hrih artinya tahu dengan rasa malu; Widya artinya bersifat bijaksana; Satya artinya jujur dan setia terhadap kebenaran; Akrodha artinya sabar atau mengekang kemarahan; Drti artinya murni dalam bathin; Ksama artinya suka mengampuni; Dama artinya kuat mengendalikan pikiran; dan Asteya artinya tidak melakukan kecurangan.
12. Dasa Paramartha
Dasa Paramartha ialah sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat dipakai penuntun dalam tingkah laku yang baik serta untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Moksa). Dasa Paramartha ini terdiri dari: Tapa artinya pengendalian diri lahir dan bathin; Bratha artinya mengekang hawa nafsu; Samadhi artinya konsentrasi pikiran kepada Tuhan; Santa artinya selalu senang dan jujur; Sanmata artinya tetap bercita-cita dan bertujuan terhadap kebaikan; Karuna artinya kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup; Karuni artinya belas kasihan terhadap tumbuh-tumbuhan, barang dan sebagainya; Upeksa artinya dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk; Mudhita artinya selalu berusaha untuk dapat menyenangkan hati oranglain; dan Maitri artinya suka mencari persahabatan atas dasar saling hormat menghormati.
Açubhakarma (Perbuatan Tidak Baik)
Acubhakarma adlah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dengan Cubhakarma (perbuatan baik). Acubhakarma (perbuatan tidak baik) ini, merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu segala bentuk perbuatan yang selalu bertentangan dengan susila atau dharma dan selalu cenderung mengarah kepada kejahatan. Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma ini merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini. Karena semua bentuk perbuatan acubhakarma ini menyebabkan manusia berdosa dan hidup menderita. menurut agama Hindu, bentuk-bentuk acubhakarma yang harus dihindari di dalam hidup ini adalah:
1. Tri Mala
Tri Mala adalah tiga bentuk prilaku manusia yang sangat kotor, yaitu Kasmala ialah perbuatan yang hina dan kotor, Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor, dan Moha adalah pikiran, perasaan yang curang dan angkuh.
2. Catur Pataka
Catur Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan jenis karma yang menjadi sumbernya yang dilakukan oleh manusia yaitu Pataka yang terdiri dari Brunaha (menggugurkan bayi dalam kandungan); Purusaghna (Menyakiti orang), Kaniya Cora (mencuri perempuan pingitan), Agrayajaka (bersuami isteri melewati kakak), dan Ajnatasamwatsarika (bercocok tanam tanpa masanya); Upa Pataka terdiri dariGowadha (membunuh sapi), Juwatiwadha (membunuh gadis), Balawadha (membunuh anak), Agaradaha (membakar rumah/merampok); Maha Pataka terdiri dari Brahmanawadha (membunuh orang suci/pendeta), Surapana (meminum alkohol/mabuk), Swarnastya (mencuri emas), Kanyawighna (memperkosa gadis), dan Guruwadha (membunuh guru); Ati Pataka terdiri dari Swaputribhajana (memperkosa saudara perempuan); Matrabhajana (memperkosa ibu), dan Lingagrahana (merusak tempat suci).
3. Panca Bahya Tusti
Adalah lima kemegahan (kepuasan) yang bersifat duniawi dan lahiriah semata-mata, yaitu Aryana artinya senang mengumpulkan harta kekayaan tanpa menghitung baik buruk dan dosa yang ditempuhnya; Raksasa artinya melindungi harta dengan jalan segala macam upaya; Ksaya artinya takut akan berkurangnya harta benda dan kesenangannya sehingga sifatnya seing menjadi kikir; Sangga artinya doyan mencari kekasih dan melakukan hubungan seksuil; dan Hingsa artinya doyan membunuh dan menyakiti hati makhluk lain.
4. Panca Wiparyaya
Adalah lima macam kesalahan yang sering dilakukan manusia tanpa disadari, sehingga akibatnya menimbulkan kesengsaraan, yaitu: Tamah artinya selalu mengharap-harapkan mendapatkan kenikmatan lahiriah; Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat kekuasaan dan kesaktian bathiniah; Maha Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat menguasai kenikmatan seperti yang tersebut dalam tamah dan moha; Tamisra artinya selelu berharap ingin mendapatkan kesenangan akhirat; dan Anda Tamisra artinya sangat berduka dengan sesuatu yang telah hilang.
5. Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yaitu Kama artinya sifat penuh nafsu indriya; Lobha artinya sifat loba dan serakah; Krodha artinya sifat kejam dan pemarah; Mada adalah sifat mabuk dan kegila-gilaan; Moha adalah sifat bingung dan angkuh; dan Matsarya adalah sifat dengki dan irihati.
6.Sad Atatayi
Adalah enam macam pembunuhan kejam, yaitu Agnida artinya membakar milik orang lain; Wisada artinya meracun orang lain; Atharwa artinya melakukan ilmu hitam; Sastraghna artinya mengamuk (merampok); Dratikrama artinya memperkosa kehormatan orang lain; Rajapisuna adalah suka memfitnah.
7. Sapta Timira
Sapta Timira adalah tujuh macam kegelapan pikiran yaitu: Surupa artinya gelap atau mabuk karena ketampanan; Dhana artinya gelap atau mabuk karena kekayaan; Guna artinya gelap atau mabuk karena kepandaian; Kulina artinya gelap atau mabuk karena keturunan; Yowana artinya gelap atau mabuk karena keremajaan; Kasuran artinya gelap atau mabuk karena kemenangan; dan Sura artinya mabuk karena minuman keras.
8. Dasa Mala
Artinya adalah sepuluh macam sifat yang kotor. Sifat-sifat ini terdiri dari Tandri adalah orang sakit-sakitan; Kleda adalah orang yang berputus asa; Leja adalah orang yang tamak dan lekat cinta; Kuhaka adalah orang yang pemarah, congkak dan sombong; Metraya adalah orang yang pandai berolok-olok supaya dapat mempengaruhi teman (seseorang); Megata adalah orang yang bersifat lain di mulut dan lain di hati; Ragastri adalah orang yang bermata keranjang; Kutila adalah orang penipu dan plintat-plintut; Bhaksa Bhuwana adalah orang yang suka menyiksa dan menyakiti sesama makhluk; dan Kimburu adalah orang pendengki dan iri hati.
Sumber : parisada.org
Jenis - Jenis Karya Pengenteg Linggih
Yang dimaksudkan dengan karya Ngenteg Linggih Mupuk adalah, karya ngenteg linggih yang juga dilaksanakan setiap 10 sampai 15 tahun sekali, tetapi tidak mesti disertakan dengan pelaksanaan upacara Mendak Siwi melihat telah kewalunan (telah lebih dari 25 tahun belum pernah nangun karya Ngenteg Linggih). Pada pelaksanaan upacara ngenteg linggih mupuk ini dilaksanakan upacara mupuk pedagingan (Panca Datu) pada setiap bangunan suci yang ada pada suatu Parahyangan Pura atau Pemerajan.
Mengenai makna dan tujuannya tidak berbeda dengan upacara pengenteg Linggih Mamungkah, hanya dibedakan tidak dilaksanakan upacara Memendak Siwi.
Didalam Lontar Medang Kemulan diungkapkan antara lain sebagai berikut :
“ Rikalaning Sira Umawe Parahyangan Dewa, Laju Pangastiti Brahma Kerthin, Manut Risupacaraning Pemakuhan Muwah Pemelaspas Mepulang Panca Datu, Muah Anangun Karya Ngenteg Linggih Manut Nista, Madya, Motamaning Yadnya, Mendak Siwi Maring Marga Tiga Maka Uriping Parahyangan Maraga Bethara Siwa Manirmala. Ana Waneh, Yan Hana Parahyangan Kewalunan Kurang Pakertinia Sang Tinungsungan, Kang Dewa Bethara Wus Nilar Saking Parahyangan, Karangsukan Dening Bhuta Dengen, Iki Mamilara Ring Sang Tinungsungan, Wenang Nangun Karya Pengeneg Linggih Mupuk Anyegjeg Angetegaken Malih Kang Dewa Bethara, Apan Smrtinia Enteg Ikang Dewa Bethara, Enteg Juga Maring Kehuripan, Mangkana Pakertin Manusa Ring Dewa Bethara. Ana Waneh, Riaknjek Wus Sira Amelaku Penila Patian, Wenang Entegakna Ikang Dewa Bethara Ungguhakna Maring Parahyangan Kemulan, Meharan Karya Pengenteg Linggih Di Bunga Ngaran Ngenteg Linggih Lebeng. Mangkana Pekertin Sepreti Santana Ring Wang Atuwania, Yan Tan Samangkana Polahe Menadi Santana, Tan Ngemolihang Kerahayuan”.
Read More......
Jenis – Jenis Karya Pengenteg Linggih
Karya pengenteg linggih memiliki beberapa jenis dalam pelaksanaannya, yaitu :
1. Karya Pengenteg Linggih Memungkah
Yang dimaksudkan dengan Karya Pengenteg Linggih Memungkah adalah karya yang dimiliki ethika yang disertakan dengan pelaksanaan upacara “Memendak Siwi”. Karya ini dilaksanakan pada Parahyangan Pura atau Pemerajan yang baru, atau menggeser posisi Pelinggih yang lama, untuk dibuatkan pada posisi yang baru. Demikian juga bila ada Parahyangan Pura atau Pemerajan dengan pelaksanaan upacara Ngenteg Linggihnya sudah berselang terlalu kewalunan, misalnya 25 tahun ke atas, baru lagi dilaksanakan karya pengenteg linggih, perlu sekali disertakan upacara Memendak Siwi.
Yang dimaksudkan dengan Memendak Siwi adalah sebagai berikut :
Kata memendak mengandung maksud dan pengertian Ngarad (Bhs. Bali) atau Ngutpeti, sedangkan kata siwi berasal dari kata Siwa, yang artinya sumber, dan kata sumber disini adalah manifestasi Sang Hyang Widhi (Ista Dewata) yang diistanakan pada Parahyangan Pura atau Pemerajan. Tidak ubahnya seperti sumber magnit yang lama tidak digosok dan dibersihkan secara tuntas, sehingga daya tarik magnitnya makin berkurang dan seolah-olah daya tersebut hilang karena magnit tersebut seluruhnya telah tertutupi kekotoran, maka dari itu perlu dibersihkan setiap 10 – 15 tahun sekali, agar magnit memiliki daya yang tetap kuat sehingga tetap memiliki daya tarik menarik dengan magnit yang ada pada diri manusia.
Demikianlah hakekat dari makna dan fungsi dari nangun karya pengenteg linggih di Parahyangan Pemerajan atau Pura-Pura, sehingga keseimbangan keselarasan dan keserasian antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit tetap dapat dipertahankan secara berkesinambungan, sesuai dengan konsep dasar ajaran Tri Hita Karana.
Read More......
Karya Ayu Ngenteg Linggih
Pelaksanaan upacara Dewa Yadnya di Bali yang dilaksanakan di Pura-Pura Kahyangan Jagat, Pura Panti, Pura Batur, Ibu, dan pada Pemerajan-Pemerajan memiliki puncak upacara yang disebut dengan karya Ngenteg Linggih. Karya ini dilaksanakan setiap 10 tahun sampai 15 tahun sekali, atau setiap pergantian generasi berikutnya, sesuai petunjuk dari Lontar Medang Kemulan, Lontar Dewa Tattwa, Lontar Mpulutuk Banten, Lontar Tapeni Yadnya, Lontar Bhuta Tattwa.
Makna Dan Tujuan Ngenteg Linggih
Upacara Karya Ngenteg Linggih memiliki beberapa tujuan, antara lain :
1. Untuk memohon kehadapan Hyang Widhi beserta manifestasinya agar beliau menganugrahkan kekuatan Tapa atau kepagehan (Satyam), terhadap alam semesta beserta segala isinya termasuk semua kekuatan gaib baik bersifat Dewa Bhatara, maupun yang bersifat Asuri Sampad (kekuatan Bhuta, Kala, Durga, Pisaca, Danawa dll). Demikian juga supaya Sang Hyang Widhi tetap menganugrahkan kekuatan kesucianNya terhadap manifestasi serta makhluk ciptaanNya yang ada di alam semesta ini. Disamping itu agar Beliau tetap menganugrahkan keseimbangan serta kesejahtraan (Sundharam) terhadap makhluk ciptaanNya.
2. Memberikan kesempatan kepada umatNya, untuk berkarma yang subhakarma sebagai sarana peleburan dosa.
3. Untuk dapat mengamalkan wahyu Sang Hyang Widhi, melalui tuntunan para Maha Rsi berupa pelaksanaan ajaran Agama.
4. Memberi kesempatan kepada umatNya agar dapat melaksanakan penyupatan terhadap mahkluk diluar kehidupan manusia.
5. Adalah sebagai media pendidikan (education) baik bersifat moral maupun bersifat spiritual terhadap umatNya.
6. Memberi kesempatan kepada umatNya agar bisa melaksanakan ajaran Tri Rnam yaitu membayar hutang terhadap Sang Hyang Widhi, atas diturunkannya wahyuNya berupa ajaran Weda, membayar hutang kehadapan Maha Rsi, karena Beliau telah menulis wahyu tersebut dengan esensi menjadi ajaran Agama. Demikian juga membayar hutang kehadapan leluhur, karena tanpa beliau umat kemungkinan tidak lahir menjadi manusia, itulah karena yadnyanya.
7. Memberikan kesempatan untuk beryadnya secara nyata bagi setiap generasi yang lahir sehingga karya Ngenteg Linggih dapat dilaksanakan setiap 10 sampai 15 tahun sekali.
Read More......
Upacara Piodalan Dalam Kwantitas Madya
Tata cara pelaksanaan upacara piodalan kwantitas madya baik untuk di Pemerajan maupun di Pura, boleh dilaksanakan oleh seorang Welaka atau Pemangku dengan tatanan upakaranya sebagai berikut :
1. Upakara munggah di Sanggah Surya :
a. Banten pejati asoroh
b. Banten Suci Alit asoroh
c. Canang Pesucian
2. Upakara Munggah di Pelinggih :
a. Banten pejati asoroh
b. Banten suci alit asoroh
c. Banten danan dan canang pesucian
3. Upakara ayaban piodalan :
a. Daksina gede sarwa 4
b. Banten ayaban tumpeng 21 bungkul
c. Banten Pengulapan, prayascita dan bayekawonan
d. Banten sesayut / tebasan antara lain :
- Sesayut Pembersihan
- Sesayut Sida Purna
- Sesayut Siwa Sampurna
- Sesayut Amertha Dewa
- Sesayut Puspa Dewa
- Sesayut Cakra Geni
- Sesayut Pageh Urip
- Tebasan Pemiak Kala
- Tebasan Lara Mararadan
e. Banten jerimpen Agung apasang
4. Upakara pecaruan
Pada pelaksanaan upakara piodalan pada tingkat Madya mempergunakan Banten Caru Panca Sata.
Read More......
Sila Kramaning Ngaturang Piodalan
3. Menata Upakara Ayaban yang akan dipersembahkan
Sesudah selesai ngunggahang upakara pada setiap pelinggih langsung menata upakara ayabannya pada Bale piyasan dengan penataan sesuai aturan Tri Angganing Yadnya dan Astra Karananing Yadnya sebagai berikut :
a. Sebuah banten pejati diletakkan paling hulu sebagai simbul kepala.
b. Sebuah banten gebogan diletakkan sejajar dengan pejati sebagai simbul kepala.
c. Banten jerimpen, pulogembal dan banten pengambean, diletakkan pada sor banten pejati pada bagian kiri orang yang menata dengan posisi banten berjejer dari kiri ke kanan sesuai dengan urutan banten diatas, adalah sebagai simbul bayu kiri (dada kiri).
d. Kemudian dibagian kanannya diletakkan banten berjejer dari kiri ke kanan dengan jenis banten soda, peras, bebangkit dan sebuah banten jerimpen, adalah sebagai simbul bayu kanan (dada kanan).
e. Pada sor banten tadi diletakkan banten dapetan, adalah merupakan simbul dari ulu hati (hradaya) menjadi sumber kehidupan bhuwana agung dan bhuwana alit.
f. Banten jerimpen seperti diatas tadi sesungguhnya adalah sebagai simbul kedua tangan, oleh karena itu tidak boleh membuat jerimpen hanya satu, karena memiliki makna sebagai kekuatan Surya Murti dan Chandra Murti (kekuatan akasa dan pertiwi).
g. Kemudian meletakkan banten sesayut dan tebasan di sor dari banten dapetan, merupakan simbul dari perut, yang memiliki makna sebagai kekuatan isin jagat.
h. Meletakkan banten pengulapan, prayascita, dan banten bayekawonan disebelah kanan dari Sang Pemuput / Penganteb.
i. Meletakkan banten pemuput (penuhur taksu) disebelah kiri dari Sang Pemuput / Penganteb.
j. Meletakkan banten caru dibawah ( pada halaman Pemerajan / Pura didepan pelinggih pokok ), merupakan simbul kaki memiliki makna sebagai kekuatan Sapta Ptala.
k. Kalau banten ayabannya berisi banten pulogembal, maka memerlukan banten yang diletakkan pada sanggah Panggungan yang berada pada madnyaning mandala dari Pemerajan / Pura pada pada posisi letaknya tepat didepan Kuri Pemerajan atau kuri pura, adalah merupakan simbul dari kekuatan muladara cakra, yang memiliki makna sebagai kekuatan catur loka yaitu perpaduan dari kekuatan ke empat penjuru alam baik terhadap bhuwana agung maupun terhadap bhuwana alit dengan kekuatannya disebut Sang Hyang Catur Loka Phala yaitu Bhatara Indra, Bhatara Kwera, dan sebagai puncak Maniknya adalah Sang Hyang Giripati.
l. Meletakkan banten penimpug, pada tempat penimpug yang sudah disediakan, dengan posisi tempat penimpugnya adalah kearah selatan, dan orang yang menyulut penimpugnya menghadap kearah selatan, sebagai simbul kearah Brahma Loka dengan Dewa penimpugnya adalah Dewa Utasana, memiliki makna untuk memohon pengesengan kehadapan Sang Hyang Utasana dengan kekuatan Brahmanya.
Demikianlah tatacara penataan upakaranya pada setiap meleksanakan upacara piodalan di pemerajan maupun di Pura dengan kwantitas upakarannya baik dengan ukuran besar maupun dengan ukuran kecil, seiap datang hari piodalannya.