E-mail : pasek.trunyan@gmail.com
=

Peringatan Kelahiran Maharesi Penerima Wahyu

Walmiki menulis wiracarita Rayamana
Memang benar, tidak seperti agama-agama lainnya, agama Hindu tidak mengenal hari tertentu untuk memperingati saat kelahiran ataupun kematian tokoh-tokoh sucinya seperti para maharesi. Seperti diketahui, istilah rsi atau maharesi adalah sebutan untuk tokoh suci Hindu yang atas kehendak-Nya mendapat mandate untuk berperan sebagai “perantara” guna menerima dan kemudian menyiarkan, menyebarkan dan mengajarkan ajaran-ajaran-Nya bagi kesempurnaan hidup manusia.

Dalam pandangan Hindu, untuk tokoh-tokoh suci (besar) kelahiran dan kematian tidaklah bersifat fisakal. Ibarat sebatang lilin, kapan lilin itu dibuat bukanlah soal. Yang terpenting adalah sinar, cahaya atau nyala yang dipancarkan untuk memberi penerangan. Begitu menjadi sinar, cahaya atau nyala unsure fisik (materi) yang menyebabkan “terang” tidak dipersoalkan. Apakah sinar, cahaya atau nyala itu berasal dari sebatang lilin, sebuah obor, lampu tempel, neon dan sejenisnya tidak lagi dibicarakan. Begitulah konsep Hindu menempatkan tokoh-tokoh sucinya seperti maharesi. Begitu sabda Tuhan (Daiwi Wak) diterima, tugas atau misi yang wajib diteruskan adalah menerangi seluruh umat (Hindu) oleh sinar-ajaran-Nya agar tidak menjadi umat yang terbelenggu “awidya” kebodohan dan kegelapan.

Bahkan di dalam kitab Mundakopanisad III. 2.8 dengan jelas disuratkan : “Bagaimana sungai-sungai mengalir kelautan luas, akan hilang, lenyap nama dan bentuk, demikian pula orang yang telah mencapai pencerahan, terbebas dari nama dan wujud, manunggal dengan Yang Maha Agung.

Begitulah, bagi seorang maharesi, fisik materi hanyalah media/sarana dan namapun hanya sebatas sebutan untuk membedakan diri dari yang lain. Bagaikan aliran sungai dengan bentuk dan penamaan yang berbeda-beda semua akan sirna begitu bermuara dilautan lepas, samudra luas. Semua yang berbeda fisik, berlainan nama menjadi satu sebagai bagian dari lautan atau samudra itu sendiri. Dalam contoh pembanding yang lebih dekat, di dalam dunia karya sastra Hindu dapat dijumpai betapa para pengarang, penyair, pengubah atau pencipta karya seni (sastra) nyaris tidak ada yang mencantumkan sosok diri dan namanya secara tegas. Semuanya membuat gambaran diri dan atau nama dengan memakai “sebutan berkulit” yang harus dikaji dengan cermat untuk mengetahui sosok sang pencipta yang sebenarnya.

Kesemua itu dilakukan semata-mata sebagai sebuah bentuk “bhakti” yang bersangkutan kepada Tuhan yang selanjutnya di abdikan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Tidak ada kamus “menurut” hak cipta bagi mereka. Baginya karyanya adalah karya kita, karya bersama yang dipersembahkan untuk manusia atau Tuhan itu sendiri. Itulah sebabnya, apa yang disebut sebagai hari peringatan kelahiran atau kematian bagi tokoh-tokoh suci Hindu memang tidak lazim. Sebab seorang maharesi ataupun pengarang besar adalah milik-Nya yang karya-karyanya adalah milik kita bersama untuk menerangi “kegelapan hidup”.

No comments:

Post a Comment