E-mail : pasek.trunyan@gmail.com
=

Masiwa-Ratri Menebus Dosa

Masiwa-Ratri menebus dosa

Malam Siwa Ratri atau Siwa Ratri Kalpa sebenarnya berarti “malam penghormatan Siwa” bukan malam penebusan dosa. Munculnya pendapat bahwa malam Siwa Ratri itu adalah sebagai malam penubusan dosa lebih didasarkan atas pemahaman Siwa Ratri sebagai “satua”(naratif/cerita) bahwa seorang tokoh pendosa seperti Lubdhaka yang keseharian hidupnya selalu melakukan pembunuhan (Himsa Karma) hanya dengan “tidak tidur” pada saat Siwa beryoga di malam Siwa Ratri sudah cukup menghantarkan ke sorga.

Pemahaman begini teramat dangkal untuk dijadikan pedoman bahwa dengan “begadang” saat malam Siwa Ratri seseorang akan terbebaskan dari dosa. Pemahaman yang diharapkan lahir dari perayaan hari suci Siwa Ratri itu adalah tumbuhnya penghayatan Siwa Ratri sebagai “Sattwa” (hakikat/kebenaran) bahwa malam Siwa Ratri tidaklah sekedar cerita biasa melainkan sebuah konsep “penyadaran” bagi umat yang senantiasa dalam keadaan “tidur”

Di dalam ajaran Siwaisme dinyatakan bahwa Dewa Siwa adalah Dewa tertinggi pengendali perputaran jagat raya. Menurut paham Siwais, semua umat manusia harus terus bergerak dan berputar mengikuti irama putaran bhuwana. Orang yang tidak turut larut dalam “gerakan Siwa” alias “diam” inilah yang dipandang sebagai “tidur” (aturu) karena dibelenggu oleh “raga” dan “indria” sehingga selalu “lali-lipya” (tak berkesadaran). Dan orang yang “tidak sadar” ini kemudian disebut “papa”. Untuk melenyapkan keadaan “papa” ini ajaran Siwa Ratri memberi tuntunan dengan “jagra” (tan aturu, tan mrema, atanghi atau atutur). Jadi hakikat Siwa Ratri adalah membangkitkan/menyadarkan umat manusia (Hindu) yang terlelap dalam “tidur” (Siwaratri wijneya sarwapapa paharini).

Apakah dosa bisa ditebus/dihapus? Konsep sradha Karmapala tidak mengajarkan tentang hal itu. Sesuai konsepnya, “karmaphala ngaran ika phalaning gawe hala hayu” (karmaphala itu adalah akibat dari sebab baik buruknya suatu perbuatan). Hukum karmaphala ini bersifat “rta” (hukum Tuhan) yang berjalan absolut tak terhalangi oleh apapun juga. Artinya setiap gerak/perbuatan manusia mutlak mendatangkan/menghasilkan buah – baik ataupun buruk. Yang bisa dilakukan sebagaimana disuratkan di dalam kitab Sarasamuscaya 2 hanyalah “melebur” perbuatan buruk (asubhakarma) kedalam perbuatan baik (subhakarma). Seperti halnya air garam di dalam gelas, semakin banyak kandungan garamnya maka akan kental rasa asinnya, tetapi bila kandungan airnya diperbanyak terus maka rasa asin makin berkurang sampai terasa tawar, meski kandungan garam tetap ada.

Begitulah perumpamaannya, air sebagai subhakarma dan garam/asin sebagai asubhakarma. Tinggal tugas kita, unsur mana yang ingin diperbanyak. Tak kecuali melakukan doa, sembahyang dan beryajna merupakan usaha “melebur” yang berphahala (bukan sia-sia) agar asubhakarma yang telah diperbuat dapat “larut” dalam dominasi subhakarma. Sehingga prosentase karmanya mayoritas subhakarma yang berphahala bagi kita mencapai alam-Nya.

No comments:

Post a Comment